SUKAR rasanya kita melakukan pemilahan, mengenali semangat generasi milenial bila dari kiprah pendidikan saja yang menjadi patokan. Generasi milenial memang tidak sekedar mereka yang diidentifikasi kelahiran akhir tahun 1990-an atau awal 2000-an. Lebih dari itu, yang perlu ditakar dari mereka ialah spirit. Bagaimana generasi baby boomers dan gen-X ini mengembangkan rasa ingin tahunya.Â
Selain itu, milenial yang penggunaan istilahnya menggantikan generasi-Y ini ternyata kehadirannya ditandai dengan proses akselerasi teknologi yang serba resiko.
Kemudian tibalah kita sampai pada generasi hibrida. Yaitu generasi yang lahir atas hasil persilangan dari dua atau lebih populasi. Kebanyakan dari generasi ini bermental gado-gado, karakter hitam-putih dipadukan. Kehadirannya memang langsung dihadapkan pada keterbukaan informasi, segala proses pencarian pengetahuan mudah diakses.Â
Alhasil, generasi ini cukup menjadi generasi instan. Kadang tanpa memfilter informasi, generasi hibrida yang punya 'kemampuan ganda' langsung membagikannya ke pihak lain.
Terutama di media sosial, tanpa saring langsung disharing. Tidak segan-segan mereka memposting berita yang berbau hoax, abal-abal dan provokatif. Generasi ini senang dengan pola-pola duplikasi informasi atau pengetahuan, jarang dari mereka menghargai proses belajar.Â
Meski tidak semua, atas kecerobohan dan kedunguan juga oknum generasi milenial sering membuat gaduh di dunia virtual. Kepintaran mereka di media sosial dengan di dunia nyata sering tidak berbanding lurus.
Tampilan meraka sering seperti buzzer dan tentara medsos yang kadang secara brutal menyerang personal orang-orang tertentu. Dalam situasi tersebut, bukan berarti yang mau menyampaikan pesan pada pembaca bahwa segala hal yag berbau milenial adalah malapetaka.Â
Bukan seperti itu adanya. Mereka juga merupakan generasi produktif yang perannya strategis. Akselerasi pengetahuan mereka bahkan kalau diseriusi fokus belajarnya, malah lebih luas dibanding generasi-generasi sebelumnya.Â
Sering jika mereka terseret pada rasa ingin mencoba-coba, dan terjerat pada budaya hedoni. Tantangan demokrasi kita kedepan ialah bagaimana membuat publik mengerti tentang visi besar Demokrasi Pancasila yang hendak memajukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Peluang generasi produktif memang perlu terus dikawal. Kontrol terhadap semangat yang konstruktif wajib perlu kita perhatikan serius. Generasi milenial memerlukan mentor di eranya, tak bisa dibiarkan belajar otodidak terus. Generasi milenial punya relasi dan gen yang rupanya sama dengan potret generasi hibrida.Â
Kekayaan pengetahuan, budaya, dan pengalaman yang mereka sasar untuk dijadikan 'gaya hidup' kadang menggeser kearifan lokal. Bahkan, sampai mereka nyaris dianggap telah kehilangan identitas sebagai generasi yang tercerahkan, harapan Indonesia masa depan.