Karena pertumbuhan LS, malah mereduksi mengesampingkan kesadaran publik. Proses elektoral relatif banyak diganggu dengan opini-opini yang gencar dibenturkan dan dikonstruksi LS. Demokrasi kita akhirnya bergeser dari demokrasi substansial. Menjadi demokrasi yang kian pragmatis dan liberal dalam prakteknya. Jika kita benar-benar memikirkan, mau menyiapkan masa depan demokrasi yang baik. Maka kehadiran LS harus diwaspadai.
Perlu ada pembatasan. Harus transparan LS mengabdi dan bekerja secara politik ke kandidat siapa saja. Jangan ada yang ditutup-tutupi, lalu muncul seolah-olah sebagai pengontrol dan instrumen penyedia kebenaran satu-satunya di republik Indonesia ini.
Kalau mau demokrasi tumbuh sehat, maka LS sejatinya dievaluasi kerja-kerjanya. Bukan malah menjadi fasilitas bagi kelompok tertentu untuk melahirkan propaganda. Karena kerja dan publikasi LS yang fulgar, dan ugal-ugalan seperti dalam Pilpres 2024 akan membawa dampak melahirkan konflik di tengah-tengah masyarakat. Bagaimana tidak, LS sudah menciptakan klaim kebenaran.
Lalu tidak transparan dan tidak masif memberikan edukasi kepada publik tentang apa saja yang menjadi kerja-kerja mereka. Seharusnya LS untuk menguatkan demokrasi kita, membuat demokrasi semakin berkualitas. Bukan melahirkan disintegrasi. Pemerintah kedepannya seyogyanya dapat mengintervensi kerja LS ini. Karena dampak yang dihasilkan bersifat ganda.
Bisa positif, dan bisa pula negatif. Sehingga negara harus hadir mengatur LS. Jangan karena hasil rilis dan pernyataan pers yang sporadis dipublikasikan ke media massa, memicu kontroversi di tengah masyarakat. Hasilnya, lahir buliran keresahan yang mengkristal dan membuahkan konflik. Saran saya, LS perlu diatur ulang. Jangan terlalu diberikan kebebasan, karena mulai beringas.
Dan masyarakat mesti berani menolak wawancara kuisioner. Melakukan gerakan resistensi secara terang-terangan agar pihak LS juga tau diri. LS yang partisan yang marak saat ini, diduga kuat terafiliasi dengan salah satu Paslon Capres. Mereka melakukan kerja-kerja tim sukses, menjadi konsultan, bersikap standar ganda. Mereka melahirkan kontraksi sosial.
Membuat masyarakat berebut klaim kemenangan atau keunggulan elektabilitas. Yang akhirnya persatuan masyarakat terganggu. Ini membahayakan, itu sebabnya LS juga disisi lain perlu diaudit keuangannya. Pengawasan terhadap LS perlu diperketat dan dikuatkan. Jangan biarkan mereka sesuka hati memproduksi hasil survei yang tidak merepresentasikan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Bayangkan saja, sesuai data. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 sebanyak 204.807.222 pemilih. Kemudian, yang masuk dalam survei LS kurang lebih 1500 orang, tidak lebih dari 5000 responden. Artinya, disparitasnya sangat jauh. Jangan pula menuhankan Lembaga Survei, karena dalam sejarahnya di Indonesia prediksi dan kerja mereka kerapkali salah. Tidak akurat.
Di lain pihak, eskalasi politik yang meningkat jelang Pilpres 2024 (14 Februari 2024) jangan sampai menenggelamkan akal sehat kita semua. LS yang hanya melakukan pembodohan politik akan memberi akibat fatal pada demokrasi. Itu sebabnya, LS adalah candu yang harus segera dilawan. Berhentilah percaya pada agitasi Lembaga Survei yang kerap melahirkan keresahan publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H