Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Literasi progresif

Pegiat Literasi dan penikmat buku politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hegemoni, Publik Vs Lembaga Survei

4 Januari 2024   09:16 Diperbarui: 4 November 2024   10:56 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ganjar, Prabowo, dan Anies (Dok. CNBC)


Pilpres (Pemilihan Presiden) tahun 2024 melahirkan sejumlah segregasi. Ada disparitas yang menonjol, rakyat sensitif dan rapuh terlebih yang tercermin dalam hasil Survei. Dimana ada impresi Lembaga Survei dimonopoli, "diorder" satu kubu politik tertentu.

Pengkondisian dilakukan masif. Dalam hal komposisi dukungan elektoral di lapangan, jauh jaraknya dengan opini yang diciptakan. Rakyat disuguhi dengan keterbelahan yang serius, tercipta kubu-kubuan karena politik. Antara realitas dan frame opini di pasar isu sangat berbeda.

Tentu hal itu mengusik pikiran dan nurani kita sebagai makhluk yang berakal. Imbasnya, lahirnya faksi pemilih pasangan Capres (Calon Presiden), mudah lahirnya gejolak politik. Adu kuat Capres versi pilihan rakyat versus (Vs) pilihan Lembaga Survei. Framing satu putaran dilakukan. Kebelet memimpin. Pertarungan opini melalui media massa hingga media sosial dilakukan gila-gilaan.

Distingsi demokrasi terjadi karena perilaku elit politik. Itu harus diakui. Dimana segelintir pemodal, yang merasa punya kuasa finansial ikut bermain dalam investasi politik. Tujuannya menangkan Pilpres. Kteika elit politik bertengkar, dan conflict of interest terjadi terwujud, rakyat pasti jadi tumbalnya.

Benturan kepentingan dan keretakan ini tercipta dari atas. Tidak sedikit andil Lembaga Survei mendorong rakyat dalam ruang kecemasan. Alhasil, sebelum pencoblosan suara dilakukan rakyat dikondisikan dalam pembingkaian informasi yang ''menyesatkan''.

Belum ada penghitungan suara real, Lembaga  Survei telah merilis hasil kerjanya. Telah dibuat simulasi yang seolah-olah itu benar adanya. Padahal, kerja Lembaga Survei untuk mencari keutungan. Metodologi ilmiah mau ataupun tidak akhirnya menjadi dalil, sekaligus alibi untuk dipergunakan.

Menjadi alat legitimasi Lembaga Survei dalam meyakinkan rakyat. Sepertinya ini mendesak, untuk dihentikan kerja-kerja Lembaga Survei yang tertutup, masif terstruktur dalam mendistribusi informasi ''data'' ke publik secara membabi-buta. Perlu ada pengaturan kedepannya.
 
Karena boleh jadi, faktor kerja Lembaga Survei ini dapat memicu konflik di tengah rakyat. Selain diminta transparan, Lembaga Survei juga perlu diatur waktu atau jadwal pelaksanaan Surveinya dalam jumlah tertentu. Kemudian siapa yang mengorder mereka, perlu dibuka ke publik.

Biar motif dan tabirnya diketahui masyarakat luas. Janganlah terkesan bersikap licik, berlindung dibalik metodologi ilmiah. Namun, ternyata kerjanya untuk kepentingan politik memenangkan kandidat Capres tertentu. Ini tentu akan membahayakan keutuhan rakyat Indonesia.

Tidak sekadar bimbang rakyat kita. Melainkan, akan sensitif lalu rawan disulut emosinya untuk melahirkan disintegrasi bangsa. Tentu kita semua menolak, tidak mau ada kekacauan hanya karena politik. Itu sebabnya, masifnya rilis-rilis Lembaga Survei rasanya perlu dihentikan pemerintah saat ini.

Kahadiran Lembaga Survei yang dominan menguasai pemberitaan media massa maupun media sosial hanya akan mempercepat, memantik lahirnya salah paham di tengah rakyat. Kalau embrio-embrio konflik didiamkan, ini sama artinya kita men-delay konflik sosial. Suatu kelak berpotensi meletus konflik horisontal.

Praktek berpolitik dengan memanfaatkan semua fasilitas mudah melahirkan noise atau kebisingan, kegaduhan. Bahkan indikasi penyalahgunaan kewenangan juga perlu terus-menerus kita ingatkan agar tidak terjadi. TNI, Polri, Kejaksaan, KPK, MK, Penyelenggara Pemilu dan instansi pemerintah lainnya kita minta untuk wajib bersikap netral.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun