demokrasi, politisi harus mengalami peningkatan kualitas. Baik dari kemampuan intelektual, etika, emosional, maupun spiritual idealnya mengalami kemajuan.Â
POLITISI harus menjadi frontliner bagi rakyat. Mereka juga adalah cermin, bagian depan, wajah dan miniatur bagi sebuah bangsa. Dari pergerakannyaUntuk start menuju hajatan seleksi kepemimpinan nasional rakyat perlu diberikan bekal yang memadai. Meyongsong tahun politik 2024 komposisi politisi seperti mulai saling berbenturan. Politisi yang bersaing memperebutkan hati rakyat malah sering terjerat pencitraan.
Bahkan, lebih dari itu menjadi munafik. Disatu sisi berlagak menghormati, memuliakan, menempatkan rakyat sebagai bagian penting. Namun, dibagian lainnya menurunkan derajat rakyat dengan politik tipu-tipu. Berkata lain, tapi dalam waktu yang hampir bersamaan bertindak lain. Saling kontradiktif.
Mentalitas politisi kita akhirnya mendapat efek ikut-ikutan (bandwagon effect) dalam membohongi rakyat. Berjanji, namun tidak ditepati. Kepekaan politik (political sensibility) menjadi redup, dan hilang. Dalam konteks persaingan Pilpres 2024 tantangan ini akan dihadapi rakyat. Akan ada politisi yang berwatak jadi-jadian alias palsu.
Di hadapan kita telah disuguhi menu tentang bakal calon Presiden. Media massa, dan Lembaga Survei, yang juga diikuti media sosial membingkai ada tiga nama calon Presiden yang mencuat. Ada nama Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Rasyid Baswedan. Politik kerap bersifat ''unpredictable''.
Atas ketidakmungkinan dan ketidaktentuan dalam politik mengharuskan elit partai politik melakukan rekalkulasi. Sudah berkoalisi, tiba-tiba merubah haluan koalisi. Mengingkari kesepatan, menciptakan alasan, mencari momentum untuk sebuah alasan kenapa elit partai politik tertentu harus ke luar koalisi.
Pun sebaliknya. Dalil untuk menguatkan dukungan dan pilihan terhadap bakal calon Presiden tertentu juga diajukan. Agar publik tau, bahwa yang mereka pilih benar-benar merepresentasikan kemauan, serta pilihan rakyat. Bukan kamuflase. Bukan pula karena kepentingan politik sesaat yang menguntungkan parpol.
Tidak sedikit politisi yang memilih karena sesuatu yang bersifat sementara dan semu. Para politisi telah terfragmentit dalam rebutan kepentingan mengharuskan rakyat juga ikut terbawa skema tersebut. Kalau membaca data langit (sky data), per hari ini rasanya semua kandidat merasa mendapat petunjuk.
Data bumi juga begitu. Bersifat relatif dan bergantung kepentingan Lembaga tertentu. Bahwa tidak semua Lembaga Survei, hasil survei yang dipercaya publik itu benar. Artinya, rakyat telah teredukasi. Mereka belajar dari rentang kendali pelajaran politik yang panjang dari Pemilu ke Pemilu.
Dimana tidak semua prediksi, hasil survei itu melahirkan hasil yang akurat atau persis sama. Ada bakal calon Presiden, bakal calon Wakil Presiden hari-hari ini juga aktif bicara soal perintah langit (mitologi atau mistisisme). Merasa kalau kehadirannya di panggung politik telah terlegitimasi sang khalik.
Lalu yang lainnya, lawan-lawan politiknya berada pada posisi yang tidak menguntungkan dalam perspektif yang dimaksud tersebut. Pada bagian yang lain, kita semua sebagai manusia Indonesia yang memiliki akal sehat sedang giat memerangi praktek feodal dalam politik. Kita tidak mau demokrasi memperkuat oligarki dan politik dinasti.