Beriar Politik
Hadirnya para politisi yang kritis pada kebijakan pemerintah, hal itu tidak boleh dipersepsikan sebagai pihak yang anti perubahan. Fitrahnya para wakil rakyat termasuk adalah berbicara "menggonggong". Mereka adalah replika politik oposan, pikiran-pikirannya anti dengan pemerintah. Dan itu wajar, tidak perlu dimusuhi pemerintah.
Kerja mereka memang untuk berbicara dan memberi kritik pada pemerintah. Problem kita di negara ini yakni melihat rakyat, atau entitas yang memiliki pandangan berbeda dianggapnya sebagai musuh. Mereka distigma macam-macam, ini keliru. Akhirnya dilahirkan beriar politik, bukan pintu dan jembatan.
Kalaupun tak ada gempa elektoral, maka yang lahir adalah koalisi Ganjar-Sandi/Erick Thohir, Prabowo -- Muhaimin Iskandar/Airlangga Hartarto, dan Anies -- AHY/Khofifah Indar Parawansa, probabilitasnya lebih terbuka. Tugas elit politik bukan hanya sekedar menang Pemilu, melainkan menyolidkan rakyat dalam Pemilu.
Jangan membuat pertentangan di tengah-tengah rakyat dengan politik propaganda, dan politik polarisasi. Dalam konteks verbatim, maupun secara verbal yang disampaikan para elit partai politik di republik ini yaitu bagaimana kubu mereka yang menang. Mereka yang terus berkuasa.
Rasanya tidak elok, dan bersifat jangka pendek semata. Mereka sekedar mementingkan diri, pentingkan gerbongnya sendiri. Rencana politik mereka yang beropsesi menenggelamkan kepentingan lawan dianggap sebagai sesuatu hal yang telah ''established''. Rupanya mereka lupa dalam politik tidak sesempit itu.
Lalu lintas politik tidak serupa yang dibayangkan dan diatur satu dua orang saja. Ada banyak kepentingan yang tembuh, bertabur, dan berkeliaran. Itu sulit dikanalisasi dalam satu kepentingan tunggal. Malah bariar politik itu dibuat para elit politik sendiri.
Rakyat akhirnya diposisikan sebagai penonton. Kondisi nyata, situasi yang kita khawatirkan akan mengancam demokrasi harus kita carikan solusinya.Tidak boleh ada tembok dalam politik. Di atas pentas politik semua manusia setara, diperlakukan hormat dan egaliter.
Tidak ada dominasi satu manusia pada manusia yang lain. Begitu juga dalam pentas politik. Namun, faktanya masih saja ada kelas dalam ruang praktek politik di Indonesia. Contohnya saja, ketika elit politik bersekutu dan memutuskan sesuatu yang lainnya hanya bisa mengikuti itu. Tak boleh membantah.
Belum lagi demokrasi kita telah paten dalam mengumpulkan, mewadahi, dan mengakomodir seluruh kontestan yang diajukan partai politik. Tidak ada Capres dan Cawapres yang keluar dari rakyat langsung. Melainkan, harus melalui atau melewati dapur partai politik.
 Turbulensi Politik