“Siapa bilang cinta itu buta? Siapa bilang cinta tak perlu logika? Logika tak akan hilang meski cinta mendominasi rasa. Hanya saja kita sering menutup mata hati rapat-rapat hingga tak bisa melihat mana yang benar, mana yang salah.. Mana yang pantas dan mana yang tak pantas.”
Kiera melirik ke samping kanan. Memperhatikan perempuan paruh baya yang duduk di sebelahnya. Perempuan setengah waras – sebenarnya Kiera tak tahu pasti, sih! Hanya saja beberapa hari ini Kiera melihat perempuan itu hanya berkeliaran saja di koridor stasiun kota. Kadang duduk di bangku seberang Kiera, kadang duduk di bangku panjang yang ada di kanan kiri bangku Kiera. Atau hanya mondar mandir di sekitarnya. Sibuk dengan dirinya sendiri. Tak memperdulikan sekelilingnya. Tenggelam dalam lamunan dan dunianya yang tak terjamah.
Seperti senja ini, perempuan itu duduk sebangku dengan Kiera, duduk di sebelah kanannya. Perempuan itu bahkan sudah berada di bangku nomer empat sebelum Kiera datang. Bergumam sendirian. Tak memperdulikan keberadaan Kiera ataupun lalu lalang orang di sepanjang koridor tunggu stasiun Kota.
Awalnya Kiera memang tak memperdulikannya. Membiarkan perempuan itu berada dalam dunianya. Mengabaikan gumamannya yang tak jelas. Hingga suara perempuan itu menelusup ke dalam telinganya. Mengusik relungnya yang tengah berkelana. Membuahkan tanya. Membuat rasa ingin tahunya memuncak.
“Pernahkah kau bertanya dengan mata hati terbuka? Atau setidaknya dengan mengesampingkan rasa sejenak. Apakah benar yang ada di antara kalian itu cinta? Atau hanya nafsu semata? Benarkah lelaki itu mencintaimu? Atau jangan-jangan kau hanya dijadikan sebagai hiburan semata? Sebagai selingan di antara kejenuhan rutinitas?”
Kiera bergerak gelisah. Dia tahu perempuan itu tak sedang mengajaknya berbicara atau bahkan sedang bertanya padanya. Karena sedari tadi posisi duduk perempuan itu tak berubah. Duduk bersandar dengan kedua tangan di atas pangkuan. Dengan raut muka penuh beban. Dengan mata muram menerawang. Bahkan suara perempuan itupun masih berupa gumaman pelan. Banyak kata yang tak tertangkap telinga Kiera. Hingga Kiera harus beringsut mendekat agar bisa mendengar suara si perempuan.
“Jangan percaya kata cinta yang keluar dari mulut lelaki beristri. Waktu telah memberi banyak pengalaman bagi mereka bagaimana cara menaklukkan hati perempuan. Janji manis dan kata-kata cinta selalu mereka jadikan senjata untuk merayu perempuan. Dua senjata itu pula yang digunakan lelaki setiap kali para istri mencium perselingkuhan mereka.
“Jangan bodoh! Tak ada lelaki beristri yang benar-benar mencintai perempuan lain. Tak ada! Semua perempuan yang dipacarinya hanya dijadikan selingan dalam kebosanan. Hanya sebuah permainan ego semata. Cinta, kasih sayang dan hidup para lelaki beristri itu tetap untuk keluarganya. Tetap untuk istri dan anak-anaknya.
“Jangan terlalu naif! Kau pikir apa yang dikatakan lelaki itu semuanya benar? Kau pikir dia benar-benar tak bahagia dengan istrinya? Jangan bodoh! Semua lelaki selalu memakai alasan itu untuk memikat perempuan. Mereka selalu bercerita hal-hal jelek tentang istrinya. Mereka selalu berkeluh kesah tentang perangai perempuan yang dinikahinya. Mereka bahkan menipu kalian dengan mengatakan bahwa pernikahan mereka tak bahagia. Tapi benarkah itu yang terjadi?
“Tentu saja tidak! Pernikahan lelaki itu baik-baik saja! Buktinya mereka toh masih mempertahankan rumah tangga itu. Mereka bahkan masih menyembunyikanmu agar keutuhan keluarganya tak terganggu. Atau kau masih tak percaya? Kenapa kau tak mencoba menantangnya? Tantang lelaki itu untuk meninggalkan istrinya! Tuntut lelaki itu untuk menikahimu secepatnya! Dan kau akan tahu bahwa apa yang kukatakan benar. Lelaki itu akan terus mencari beribu alasan untuk menunda. Mereka akan menggunakan nama anak-anak untuk berkilah. Mereka akan beralasan bahwa tak tega meninggalkan buah hati tanpa figur seorang ayah. Bahwa masa depan anak-anak akan berantakan jika terjadi perceraian. Halah! Bullshit itu semua!
“Lelaki itu sosok paling egois di dunia. Jika dia memang sudah benar-benar tak nyaman dengan istrinya, maka dia tak mungkin mengorbankan hari-harinya hanya demi anak-anak. Jika para istri memang seburuk apa yang suami katakan, tentu lelaki-lelaki itu sudah pergi sejak lama. Sejak sebelum bertemu kamu! Tak perlu menunggu sampai bertemu denganmu!
“Kenapa kau begitu bodoh mempercayai kata-katanya? Apakah tak pernah terpikir olehmu kenapa kau selama ini disembunyikan? Kenapa hubungan kalian harus menjadi rahasia? Bahkan dia tak pernah bosan mengingatkanmu untuk tak bercerita pada siapa-siapa. Bukankah kau juga dilarang menceritakannya pada sahabatmu sendiri? Sahabat yang bahkan tak mengenal lelaki itu sama sekali. Sebodoh itukah kamu hingga tak bisa melihat apa yang sebenarnya lelaki itu inginkan?
“Lelaki itu tak ingin keberadaanmu diketahui istrinya. Karena jika istrinya tahu maka ketenangan rumah tangganya akan terkoyak. Dia akan kehilangan istri dan anak-anak. Lelaki itu terus menyembunyikanmu karena tak ingin istrinya marah dan menuntut perceraian. Dan tidak tahukah kau apa itu artinya? Itu berarti dia masih mencintai istrinya! Masih ingin mempertahankan pernikahannya! Dan kau! Kau bukan siapa-siapa baginya. Kau hanyalah selingan bagi rutinitasnya yang membosankan. Yang akan segera dia campakkan setelah merasa kau mulai mengganggu ketenangannya. Lihat saja! Hanya tinggal menunggu waktu maka dia akan mencampakkanmu begitu saja tanpa beban.
“Bodoh! Sebodoh itukah kamu hingga tak bisa melihat?”
Hanya sekejap. Hanya dalam satu detak mata perempuan disebelahnya seolah melirik tajam pada Kiera. Menusuk dada Kiera dengan kilat kebencian. Membuat nafas Kiera berhenti sesaat. Membuat jantung Kiera berloncatan. Membuat Kiera lekat memperhatikan perempuan paruh baya di sebelahnya.
Perempuan itu masih dalam posisi sama. Duduk bersandar di bangku panjang dengan kedua telapak di atas pangkuan. Wajah perempuan itu juga masih menghadap ke depan. Bahkan mata perempuan itu masih muram menarawang. Tanpa kilat kebencian seperti yang beberapa detik lalu menikam matanya.
Halusinasi! Mungkin hanya dalam bayangannya saja. Mungkin karena kata-kata perempuan itu terasa menamparnya. Menusuk hatinya. Seolah tertuju padanya.
“Jadi jangan sombong jika kau berhasil memikat lelaki beristri. Jangan belagu! Perlu kau tahu, tak ada lelaki yang rela meninggalkan keluarganya demi selingkuhan. Tak ada lelaki yang rela melepas pernikahannya demi perempuan gula-gula. Perempuan yang hanya dijadikan teman di saat bosan. Perempuan selingan! Perempuan yang belum teruji kesetiaannya menghadapi segala susah senang menempuh mahligai pernikahan.”
“What? Perempuan gula-gula?”
Kiera menggeram pelan. Kemarahan itu bergejolak dalam diam. Tak mampu diledakkan. Karena akan tampak aneh jika dia marah-marah pada perempuan tak waras.
“Tapi menyamakan dengan gula-gula? Oh God!”
Baiklah! Memang perempuan itu tak sedang bicara dengannya. Tak sedang mengatainya. Tapi menyamakan semua perempuan yang memiliki kekasih pria beristri dengan gula-gula juga sudah keterlaluan!
Perempuan di sebelahnya ini mungkin tak pernah mendengar tentang cinta yang datang di waktu yang salah. Seperti cintanya dan Byan. Sebuah cinta tulus yang datang di saat yang tak tepat. Yang butuh pengorbanan besar dari kedua belah pihak. Yang membuat mereka harus menahan rasa. Berusaha keras menahan keinginan untuk bersama. Menunggu dengan sabar hingga semesta merestui cinta mereka.
Kiera menarik nafas dalam. Menenangkan kekesalannya. Melirik jam di pergelangan kirinya. Tinggal dua menit lagi kereta listrik Byan akan memasuki stasiun di mana mereka biasa berjumpa. Kiera menoleh ke arah jalur kedatangan dengan tak sabar. Berharap kereta itu secepatnya muncul dari sana. Menurunkan lelaki yang tengah membawa rindu Kiera dalam genggamannya. Menyatukan cinta mereka untuk sesaat. Yah! Meski sesaat, namun cukup bagi mereka untuk merenda kerinduan yang terpenggal.
“Kenapa harus marah jika aku menyebutmu perempuan selingan? Kau toh memang hanya selingan baginya. Hanya dijadikan pemanis bagi rutinitasnya yang membosankan. Coba saja beri dia sesekali rasa pahit dalam hubungan kalian. Maka tak perlu menunggu lama, lelaki itu akan menjauhimu pelan-pelan agar kau tak berulah. Agar kau tak membuka kisah kalian di depan istri sahnya. Dan akhirnya akan tiba waktunya kau benar-benar dicampakkan!
“Jadi jangan senang dulu jika lelaki itu menjanjikanmu ini itu. Semua itu hanya omong besar. Selama kau tetap disembunyikan, maka statusmu tetap sebagai selingan semata. Tak akan lebih!
“Selama kau tetap disembunyikan, itu berarti semua omong kosong ketakbahagiaannya bullshit semata. Dia menyembunyikanmu karena dia tahu, rumah tangganya akan hancur jika sampai istrinya tahu. Dan itu berarti dia lebih memilih istrinya dibanding kamu! Sesederhana itu!
“Dan masihkah kau akan terus melakukan kebodohan dalam hidupmu? Masih banyak lelaki di luar sana yang menunggumu. Lelaki bebas. Lelaki yang mencintaimu dengan tulus. Yang bisa menghargai dan memperlakukanmu lebih baik. Yang bisa kau miliki tanpa merebut milik orang lain.”
Suara perempuan itu masih terdengar di telinganya. Sesekali masih mempengaruhi perasaannya. Sesekali masih membuatnya kesal. Tapi Kiera berusaha keras mengabaikan, berusaha menepis segala rasa yang mengganggu kesenangannya, meyakinkan dirinya bahwa Byan tak sama dengan yang lainnya. Bahwa Byan mencintainya. Dan lagi, perempuan paruh baya itu toh tak tahu tentangnya. Tak tahu betapa selama ini Kiera-lah yang berusaha menahan Byan untuk tak menceraikan istrinya. Menguatkan Byan saat istrinya kembali menyakiti perasaan dengan sikap buruknya. Menyemangati Byan untuk bertahan demi anak-anak. Ya! Anak-anak Byan masih balita, masih butuh kasih sayang dari kedua orang tua kandungnya. Apalagi anak-anak itu begitu dekat dengan Byan, akan sulit bagi mereka menerima perceraian orang tuanya. Seperti yang selalu Byan ceritakan pada Kiera, betapa Byan juga tak bisa terpisah dari anak-anak. Jadi tak ada yang bisa dilakukan Byan selain bertahan. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain menanti waktu berpihak pada mereka. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain berharap semesta segera merestui cinta mereka.
Ya! Tak perlu menantang Byan seperti saran perempuan paruh baya di sebelahnya. Tanpa ditantangpun Byan sudah berulang kali menyuarakan keinginannya untuk keluar dari rumah. Jadi tak perlu pura-pura menyuruh Byan memilih antara Kiera atau istrinya. Tanpa bertanyapun, dia yakin bahwa Byan akan lebih memilih Kiera!
Kiera tersenyum dalam lamunannya. Suara kereta mulai samar terdengar. Mereka masih duduk di bangku panjang untuk beberapa saat. Kiera dengan bibir terus menyunggingkan senyum bahagianya. Dan perempuan paruh baya di sebelahnya yang masih sibuk dengan gumamannya yang semakin tak terdengar. Tertelan riuhnya lalu lalang orang di sekeliling mereka. Gumaman yang sama sekali lenyap saat kereta listrik Byan mulai memasuki jalur kedatangan.
Kiera berdiri dari duduknya. Berbalik untuk melihat kereta itu berhenti dengan suara mendesing yang keras. Matanya terpaku pada gerbong-gerbong yang berjajar. Sibuk mencari sosok Byan dengan matanya. Mengabaikan perempuan paruh baya yang duduk di sebelahnya.
Tak perlu kemana-mana. Tak perlu mengirim pesan ke messenger Byan seperti yang biasa Kiera lakukan di awal-awal hubungan mereka. Karena kini Byan sudah hafal di mana Kiera biasa menantinya setiap senja. Di bangku ini!
Bangku panjang yang membelakangi jalur kereta, nomer empat dari kanan!
***
Byan berjalan cepat menyusuri koridor stasiun Kota. Berkelit dan menghindari tubuh-tubuh yang bergegas seperti dirinya. Mengejar waktu. Menyongsong rindu yang tengah menunggu.
Senja ini, seperti senja sebelumnya selama tiga purnama, Kiera akan menunggunya dengan setia. Berdiri dengan tak sabar. Tapi dengan raut muka bercahaya. Dengan tatapan mengundang dan dengan senyum yang menggoda.
Seperti sekarang, Byan sudah bisa melihat sosok Kiera yang sedang berdiri di dekat bangku nomer empat. Tubuh moleknya yang dibalut setelan kerja tampak memikat. Bergerak-gerak gelisah seolah tak mampu lagi menahan hasrat. Membuat Byan mempercepat langkah. Memperpendek jarak yang membentang. Mengunci tatapan Kiera hanya pada sorot matanya. Mengirimkan signal-signal yang menggetarkan rasa. Tak perduli hilir mudik orang-orang dalam lintasan jarak. Mereka terus bertatapan dengan gairah yang semakin membara. Saling tersenyum mesra. Mengikat rasa. Bercinta dalam tatapan mata.
Hingga saat jarak semakin dekat, tiba-tiba satu sosok perempuan memutus kontak mata mereka. Menghalangi pandangan Byan pada senyum Kiera. Membuat Byan mengalihkan tatap dan tersentak! Sosok perempuan yang sedang berjalan mendekat itu tersenyum riang padanya. Tak menyadari bahwa kehadirannya membuat Byan ketakutan. Tak pernah menyadari bahwa sedetik lalu Byan hampir saja menghancurkan hatinya.
Byan berdiri dengan gelisah. Berusaha bersikap biasa. Berusaha menyembunyikan kegugupan melihat sosok istrinya berada di depannya. Tersenyum tanpa prasangka. Merengkuh Byan tanpa menyadari tubuh Byan tengah gemetar penuh kekhawatiran. Tak pernah tahu bahwa saat Byan mengecup dahinya, terlontar doa dalam diam. Berharap Kiera menyadari apa yang tengah terjadi di antara mereka. Berharap kali ini Kiera tak membuat ulah. Merapalkan doa agar Kiera tak mendekat. Tak membongkar perselingkuhan mereka. Tak menyakiti hati istri yang dicintainya. Tak berbuat bodoh menghancurkan rumah tangga Byan!
Dengan bergegas, Byan menghela bahu istrinya, berjalan menjauhi koridor tunggu stasiun Kota, meninggalkan Kiera yang masih ternganga, tak mengerti apa yang dilihatnya. Mengabaikan Kiera dengan kebingungannya. Membiarkan Kiera memahami sendiri kenapa Byan merengkuh bahu perempuan setengah waras yang tadi duduk di sebelahnya!
***
Goresan Cerita Bungailalang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H