Bukan Persija, Persib, Persebaya, Arema, PSIS, PSM atau PSMS yang pertama mencantumkan namanya di pasar bursa. Namun yang pertama kali Initial Public Offering (IPO) justru bukan klub tradisional yang memiliki nama besar dan fans fanatic. Justru klub yang tergolong anyar yang pertama sekali listing di bursa efek Indonesia. Klub tersebut adalah Bali United F.C yang mencatat sejarah sebagai klub pertama di ASEAN go public. Bali United F.C juga tercatat sebagai klub sepakbola kedua Asia yang "merumput' di pasar bursa.
Tentu ini menjadi kabar gembira bagi masa depan industri sepakbola tanah air setelah dirundung persoalan yang berkepanjangan. Setelah sebelumnya konflik dualisme kompetisi kemudian kasus yang terbaru skandal pengaturan skor. Bahkan orang nomor satu di Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) menjadi tersangka dalam kasus pengaturan skor. Hingga hari ini pihak kepolisian terus bekerja menuntaskan kasus pengaturan skor tersebut.Â
Wajah buram dunia sepakbola tanah air tak lepas dari sikap  supporter yang berperilaku tak terpuji. Aksi tawuran, merusak fasilitas stadion dan aset publik lainnya menjadi pemandangan yang sering kita temui ketika laga antar klub sepakbola tanah air berlangsung.
Persoalan-persoalan teknis maupun non teknis tadi mengurungkan minat banyak investor untuk menaruh uangnya di industri sepakbola. Bahkan banyak yang menilai masuk di bisnis sepakbola sama saja dengan burning moneny. Tidak sedikit pengusaha berpandangan investasi di sektor industri sepakbola tanah air tidak menjajikan karena sulit menghitung returnnya.Â
Umumnya mereka berpandangan burning ratenya tinggi, revenue belum tentu bisa menutupi pengeluaran dan pada saat yang bersamaan valuasinya belum tentu naik. Sebaliknya ada jenis bisnis  dengan burning rate tinggi, revenue tidak bisa menutupi  tapi valuasi perusahaannya terus naik dan orang antri untuk investasi.
Manajemen Bali United F.C paham betul jika mengubah persepsi publik soal dunia sepakbola tidak mudah. Apalagi ketika hal itu menyangkut aspek investasi. Banyak pihak yang memilih sektor investasi yang selama ini bisa memberikan keuntungan yang lebih menjanjikan.Â
Pengusaha banyak yang mempertimbangkan faktor non ekonomis yang bisa merusak catatan keuangan perusahaan sepakbola. Sebut saja biaya denda yang harus ditanggung oleh klub sepakbola akibat ulah tidak disiplin supporter dan pemain. Biaya sanksi ini tidak sedikit. Bisa menguras kas perusahaan.Â
Namun pengusaha Pieter Tanuri melihat sisi lain dari sepakbola nasional yang menjadi peluang dan masa depan bisnis ini. Pieter Tanuri mengatakan antusias fans dan publik merupakan kekuatan bisnis sepak bola. Pencita liga nasional sangat besar, Â baik yang menyaksikan lewat televisi maupun langsung hadir ke stadion menonton pertandingan. Sebelumnya sudah ada klub sepakbola yang menangkap peluang ini hingga klub tersebut sukses dan bertahan menjaga likuiditas klub.
Melihat potensi yang besar ini, pada tahun 2015 Pieter Tanuri dengan bendera PT. Bali Bintang Sejahtera mengakuisisi klub asal Kalimantan Timur Persisam Putra Samarinda. Setelah sebelumnya Persisam Putra Samarinda terancam kolep karena kegagalan menjaga kesehatan keuangan klub. Setelah diakuisisi oleh PT. Bali Bintang Sejahtera, Persisam Putra Samarinda berubah nama menjadi Bali United F.C dengan menjadikan pulau dewata Bali sebagai kandang.
Hanya butuh empat tahun bagi Pieter Tanuri menjadikan Bali United F.C sebagai perusahaan sepakbola dengan status Terbuka (Tbk). Boleh dibilang waktu yang sangat singkat dan cepat untuk sebuah perusahaan dengan core bisnisnya sepakbola. Â
Tepat pada 17 Juni 2019, Bali United F.C menjadi klub sepakbola yang memiliki saham go public dengan melepas 2 miliar unit saham atau melepas  33,33% kepemilikan. Pada pelepasan perdana harga saham Bola,  kode Bali United F.C di pasar bursa, melambung hingga 69,14%. Ketika pertama kali melantai di pasar bursa, Bola dilepas dengan harga Rp 175 per lembar saham. Dengan antusias market pada saham klub sepakbola pertama ini, harga Bola menyentuh level Rp.296 per saham.