Lupakan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Lagi pula sangat riskan jika tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa itu hanya dibebankan pada dunia pendidikan. Dari awal pendidikan sudah punya sejumlah masalah sejak pendidikan kolonial menggeser model pendidikan pribumi. Apatah lagi saat ini pendidikan sedang keropos-keroposnya menghadapi arus deras kemajuan teknologi informasi. Dunia pendidikan saat ini sedang memasuki babak baru; Digitalisasi ---merujuk pada wacana Digitalisasi Sekolah Kemendikbud. Abad 21 adalah eranya teknologi digital. Dunia pendidikan dan semua sektor tengah menjalani kehidupan dalam habitus baru; Disrupsi digital.
Dalam konteks teknologi, yang dimaksud disrupsi adalah digitalisasi itu sendiri. Disrupsi merupakan perubahan sistem lama ke dalam cara baru. Disrupsi itu berupa transformasi tatanan kehidupan di segala lini yang dimulai dengan implementasi teknologi digital ke dalam kehidupan manusia. Francis Fukuyama dalam bukunya The Great Distruption mengisyaratkan bahwa penyebab terjadinya disrupsi adalah kebutuhan akan alat produksi baru. Revolusi Industri yang meletus di Inggris pada akhir abad 18 mengakibatkan munculnya kekuatan mesin dan mekanisasi yang menciptakan industri-industri baru. Kebutuhan akan alat produksi baru ini pada gilirannya mengilhami lahirnya revolusi industri generasi ke-4; Revolusi Industri 4.0.
Sedangkan digitalisasi adalah peralihan media dan data dalam bentuk arsip digital. Tujuannya, agar data dan dokumen dapat diakses dengan mudah. Dengan koneksi internet, data tersebut dapat diakses kapan saja dan di mana saja. Banyak perusahaan saat ini mulai mengadaptasi skema digital ke dalam sistem perusahaannya. Bahkan, beberapa perusahaan telah terdigitalisasi sejak awal berdirinya. Uniknya, perusahaan tersebut tak memiliki infrastruktur dan gedung megah; Skype, Netflix dan Uber.
Oleh karenanya, disrupsi digital tak sekedar mengganti alat produksi lama dengan alat produksi baru, tetapi lebih besar dari itu; digitalisasi telah mendisrupsi segalanya. Digitalisasi mengganti tatanan kehidupan di berbagai aspek dengan sistem digital. Segala bentuk aktivitas manusia telah beranjak dari dunia nyata (reality) ke dalam dunia maya (cyberspace) kemudian mulai dipermanenkan ke dalam sistem serba digital. Banyak jasa dan layanan publik telah berbasis elektronik. Ada e-goverment, e-money, e-commerce, e-learning dan lain-lain. Belanja pakaian cukup bertransaksi menggunakan aplikasi Bukalapak. Konsultasi kesehatan bisa melalui Alodokter tanpa harus ke Rumah Sakit. Sampai anda lapar, cukup memesannya lewat GoFood.Â
Dalam dunia pendidikan, digitalisasi itu tengah berlangsung. Perubahan cara mengajar telah tergantikan. Proses pembelajaran yang dulunya dari kelas, kini bergeser ke ruang virtual. Guru dan siswa memberi-berkirim tugas melalui gawai smartphone. Pada akhir  tahun 2020, Mendikbud mewacanakan Digitalisasi Sekolah yang rencananya akan diterapkan di tahun 2021. Wacana ini mendapatkan respon yang beragam. Respon penolakan terutama datang dari kalangan tenaga pendidik. Digitalisasi Sekolah ini akan sukar diterapkan di bangku Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Proses pembelajaran jarak jauh, belajar dari rumah, belajar daring, jelas akan sangat tidak efektif. Peserta didik akan kesulitan memahami materi dan isi pelajaran. Â
Kesan belajar tatap muka dan belajar daring tentu sangat berbeda. Proses pembelajaran tatap muka dapat memberikan pemahaman yang jelas dan memberikan dampak langsung kepada siswa. Sementara pembelajaran daring, jika menggunakan Grup Whatsapp, maka substansi pembelajaran akan sukar terpahami dengan baik oleh peserta didik. Beberapa materi pelajaran membutuhkan pemaparan langsung guru kepada siswanya. Namun, barangkali hasilnya akan berbeda jika proses pembelajaran itu dilakukan via aplikasi yang menyediakan fitur interaktif sebagai misal Zoom Meeting atau Google Meet.
Sistem pendidikan yang sebentar lagi akan terdigitalisasi adalah tantangan tersendiri. Wacana Digitalisasi Sekolah akan menjadi rangkaian gelombang disrupsi digital yang harus dihadapi dunia pendidikan kita. Kehadiran Covid-19 hanya mempercepat penetrasi digital masuk ke dalam dunia pendidikan. Di masa pandemi, sistem pembelajaran berbasis online merupakan sebuah tren. Bahkan telah menjadi sistem pembelajaran populis hampir di seluruh dunia. Pun, wacana Digitalisasi Sekolah Mendikbud harus diterima sebagai pilihan rasional.
Sistem belajar online saat ini adalah model pembelajaran yang tidak pernah ada sebelumnya. Pembelajaran ini adalah jenis pembelajaran abad 21. Model ini akan sangat ideal menemani peserta didik yang saat ini banyak diisi oleh Generasi Z. Pembelajaran virtual akan mengajarkan banyak hal kepada Generasi Z. Peserta didik yang kebanyakan dari Generazi Z yang sedang bertumbuh ini justru akan lebih ramah terhadap sistem pembelajaran secara virtual. David Stillman mengungkapkan sebuah fakta, bahwa Generasi Z adalah generasi yang lahir ekuivalen dengan teknologi digital. Virtualisasi adalah realitas mereka.
Dalam pengertian, peserta didik yang datangnya dari generasi ini tumbuh dan berkembang di era digital. Mereka harus dididik sesuai zaman di mana mereka hidup. Cara-cara mendidik generasi mesti melihat masanya. Gaya mendidik harus sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Sebab, dapat dipastikan mereka tidak hanya melek teknologi, tapi mampu menciptakan teknologi. Justru akan sangat ironis, jika sistem pendidikan yang diberikan adalah sistem pendidikan generasi pendahulu mereka yang berbeda secara strategi dan zaman. Â Â
Dunia digital adalah ruang bagi Generasi Z dalam mengkreasi dirinya. Digitalisasi merupakan stimulus yang dapat membantu mereka menemukan potensi diri dan pada saat yang bersamaan kecerdasan mereka dapat tumbuh dengan sendirinya. Kecerdasan yang didapatkan muncul akibat dari kebiasaan yang mereka lakukan sehari-hari. Howard Gardner memetakan kecerdasan menjadi sembilan (multiple intelligences) dan tak terbatas hanya pada satu (intellectual quotient) atau tiga kecerdasan (spiritual quotient). Kecerdasan menurutnya adalah kebiasaan yang selalu diulang-ulangi.