Mohon tunggu...
Haniva Az Zahra
Haniva Az Zahra Mohon Tunggu... mahasiswa -

a psychologist to be. \r\n\r\njangan pernah takut belajar untuk menjadi lebih baik. karena itu salah satu hal yang tidak akan pernah selesai untuk dipelajari, juga tak akan pernah ada kata terlambat. jadi, mulailah, mulailah bersinar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menyikapi Kelemahan Pemimpin Perempuan

28 April 2011   12:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:17 1297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Memperingati hari Kartini pada 21 April 2011 mengingatkan kita tentang perjuangan emansipasi wanita. Betapa pada zaman yang sudah canggih dan bebas ini, perempuan berhak tampil dan menyuarakan aspirasi. Hak untuk bebas tetapi tetap bertanggung jawab menjadikan perempuan berhak maju sebagai pemimpin, perempuan pun berhak memegang kendali dan berada pada pucuk kepemimpinan. Sayangnya, masih banyak streotipe negatif terhadap perempuan. Perempuan dinilai lemah, emosional dan seringkali tidak rasional.

Mencuatnya wacana kepemimpinan perempuan di Indonesia dimulai pada penghujung tahun 1998. Masa ini terjadi perdebatan tentang gender seorang pemimpin. Selalu ada pihak pro dan kontra yang menghiasi perdebatan, walau perlu diakui (pada akhirnya) tidak ada peraturan tertulis yang melarang perempuan menjadi seorang pemimpin. Misalnya pada Tap MPR No. II/1973 menyatakan bahwa baik perempuan ataupun laki-laki selama memenuhi karakteristik seorang pemimpin negara diperbolehkan untuk maju dan dipilih masyarakat sebagai seorang presiden.

Di balik semua kesempatan yang ada. Perlu diakui, perempuan pun memiliki kelemahan jika menjadi seorang pemimpin. Pertama, perempuan memiliki keterbatasan fisik dan ruang lingkup gerak. Laki-laki diciptakan dengan kondisi fisik yang memang lebih kuat dan wanita setingkat di bawahnya, hal ini membuat penyikapan terhadap seorang pemimpin perempuan akan berbeda dengan pemimpin laki-laki. Begitu juga dengan ruang lingkup gerak. Banyak perempuan yang belum mampu untuk menunjukkan potensi di bidang ekstrim. Maka dari itu ada profesi profesi yang jarang ditekuni oleh seorang perempuan, misalnya saja supir truk. Tetapi jika hal ini secara objektif dilihat lebih dalam, kekurangan ini adalah fitrah penciptaan manusia. Begitu pun dengan profesi tertentu yang juga jarang ditekuni oleh laki laki, misalnya saja guru TK. Hal ini sebenarnya tidak menjadi hambatan utama bagi perempuan untuk maju menjadi seorang pemimpin, karena toh pada akhirnya pemimpin tidak akan berjuang sendirian.

Kekurangan pemimpin perempuan selanjutnya adalah tanggung jawab nya sebagai seorang perempuan: seorang istri dan juga ibu yang sebenarnya sudah cukup berat untuk dilakukan. Pemimpin memiliki tanggung jawab yang cukup berat di setiap rumah mereka. Kedua tanggung jawab untuk melakukan peran yang tidak boleh ditinggalkan. Karena apabila perempuan melupakan perannya sebagai seorang istri dan seorang ibu maka dunia ini justru akan dekat dengan ambang kehancuran. Maka, zaman ini untuk membentuk peradaban baru yang lebih baik, kita bisa mulai revolusi dari kepemimpinan perempuan. Ada satu kunci, dengan kemampuan multitasking bagi seorang perempuan, maka harusnya potensi itu ada untuk menjadi seorang pemimpin di luar rumah dan juga pemimpin kedua di dalam rumah tangga.

Mirisnya, tetapi jika perempuan menyerah dan malah menghindari dunia kepemimpinan. Maka perubahan besar tidak akan mampu terjadi. Kita butuh keseimbangan, kita butuh kelebihan dan kekurangan dari seorang pemimpin perempuan. Pada akhirnya segala kekurangan yang ada bukanlah hambatan untuk membangun peradaban yang lebih baik. Walaupun tugas seorang perempuan menjadi sangat berat, tetapi semua itu sebenarnya mampu perempuan hadapi dengan kekuatan mereka yang tidak tersangka-sangka.

Banyak negara maju yang sekarang pun sudah mulai menggalakkan kampanye emansipasi wanita. Zaman ini memang sudah waktunya bagi perempuan untuk juga berkarya, untuk juga tampil di depan semua kalangan. Berusaha untuk menjadi solusi, aksi konkret membawa perubahan dalam pembangunan dan penjagaan bangsa yang lebih baik. Perempuan punya potensi, juga punya kekurangan. Tetapi bukankah itulah yang membuat perempuan menjadi manusia biasa? Bukankah manusia biasa membutuhkan bantuan pihak lain?

Haniva Az Zahra

Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun