Harus kita akui, suka atau tidak, bahwa akhir-akhir ini isu politik menjadi pemicu maraknya konfrontasi di media sosial seperti hate speech, saling hujat, dan lain sebagainya di Tanah Air. Ekspresi politik, saling hujat, saling bela pilihan politik dan merendahkan pilihan lain yang awalnya di dunia nyata, kini bergeser ke dunia maya. Tidak heran kemudian intensitas fake news (berita palsu) dan atau berita-berita hoax di media sosial begitu viral di media sosial. Para aktor dan korban penyebar hoax tidak lagi tunggal, melainkan lebih kompleks. Aktor penyebar hoax pun tidak hanya disebarkan pelaku kriminal, banyak juga dilakukan oleh mereka yang sekadar iseng, menyerang bermuatan politik, menyuarakan hatinya, atau hanya sekedar mencari sensasi.
      Namun tak dipungkiri bahwa peran media sosial dapat diibaratkan seperti pedang bermata dua, satu sisi dia bisa digunakan untuk kegiatan positif, disisi lain media sosial bisa digunakan untuk hal-hal yang negatif dan merugikan masyarakat. Berita-berita Hoax (berita palsu) dan Hate Speech (ujaran kebencian) atau Cyber-Bullying (perundungan siber) kini banyak kita jumpai di media sosial dengan berbagai bentuk dan tampilan gaya bahasa yang provokatif. Dalam sebuah artikel di portal berita detik.com, Menko Polhukam Wiranto memaparkan sejumlah kasus serangan siber yang terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2018.
Ada 324 kasus ujaran kebencian (hate speech), namun 152 kasus yang baru bisa diselesaikan. Sedangkan untuk Hoax ada 53 kasus, dimana 30 kasus diantaranya sudah ditangani. Apalagi dalam kasus pilpres 2019, tak jarang korban Hoax dan Hate Speech pun menyasar ke masing-masing calon presiden dan calon wakil presiden yang akan bertarung di pesta demokrasi lima tahunan itu, baik dari kubu Joko Widodo-Ma'ruf Amin maupun kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. (Purnamasari, 2018)
      Dalam hal ini, ujaran kebencian adalah tindak pidana yang berbentuk penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan penyebaran berita bohong. Semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial. Aspeknya meliputi suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan dan kepercayaan, ras, antargolongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel, dan orientasi seksual. Ujaran kebencian dapat melalui media kegiatan kampanye, spanduk atau banner, jejaring media sosial, penyampaian pendapat di muka umum atau demonstrasi, ceramah keagamaan, media massa cetak maupun elektronik, dan pamflet.
      Bertemunya berbagai individu atau kelompok-kelompok masyarakat di ruang publik seperti di warung kopi, mal, kafe atau berbagai tempat nongkrong anak-anak muda, bahkan di dunia maya dengan kehadiran berbagai media sosial yang sangat massif, menjadi penanda penting bagi kehidupan masyarakat modern. Filsuf Jerman Jurgen Habermas menunjukkan bahwa ruang publik pada masyarakat modern memiliki peran yang cukup berarti dalam proses berdemokrasi.
Pusaran Ruang Publik Media Sosial
      Media sosial yang menjadi ruang pertarungan atau "ring tinju" yang menggeser wajah media sosial yang ketika kali pertama muncul sebatas sebagai media curhat dan ajang berinteraksi sosial menjadi ruang yang menghadirkan berbagai pertarungan dari banyak pemain dari banyak latar belakang yang bereda. Kompleksitas aktor-aktor yang terlibat di media sosial tersebut semakin tinggi ketika berhadapan dengan situasi atau momentum politik, karena aktor yang terlibat tidak hanya rakyat biasa, tetapi juga berbagai kelompok-kelompok kepentingan; partai politik, elite politik, ormas, pelaku bisnis dan lain sebagainya.
      Ruang publik merupakan wahana beradunya berbagai wacana dan opini-opini masyarakat. Melalui ruang publik inilah warga masyarakat diuji kematangan dan kedewasaannya dalam berdemokrasi. Bila ruang publik digunakan sebagai tempat untuk memojokkan kelompok kelompok tertentu demi kepentingan diri atau kelompoknya, maka sudah pasti adanya reaksi-reaksi keras akan bermunculan dari masyarakat. (Aprillia, 2016)
      Berdasarkan teorinya, Ruang publik menurut Habermas (1993), adalah arena yang berada di dalam komunitas ekonomi dan negara. Di ruang itu, publik bisa menjalankan diskusi rasional, membentuk opini, serta melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Dari konsep tersebut tersirat adanya pengawasan publik melalui sebuah ruang publik, seperti media massa dan forum diskusi, yang relatif berada di luar jangkauan intervensi pemerintah ataupun penetrasi kepentingan ekonomi pasar. Media harus memainkan peran sentral dalam membawa perubahan sosial.4 Habermas berfokus pada upaya penafsiran modernitas terhadap dominasi ideologis dan dominasi rasio instrumental. Menurut filsuf ini modernitas yang kita alami ini terdistorsi. Dalam artian ada konsep "normative" yang terkandung dalam dunia kehidupan (life world) dan tradisi yang karena tendensi historis dan ideologis tertentu diselewengkan. Habermas juga ingin mempertahankan isi normative modernitas, yaitu rasionalisasi kebudayaan, masyarakat, dan kepribadian dengan rasio komunikatif sebagai motornya.
      Dalam mengkaji Ruang Publik Habermas membaginya kedalam dua gelombang. Gelombang pertama dijelaskannya dalam buku The Structural Transformation of Public Sphere (1989), sementara gelombang kedua dijelaskannya lewat buku lewat buku Between Facts and Norms(1992). Dalam karya pertamanya yang berjudul The Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquiry into a Category of Bourgeois Society (1989) terdapat dua pokok tema, pertama, analisis mengenai asal mula ruang publik borjuis. Bahasan yang kedua mengenai perubahan struktural ruang publik di zaman modern yang ditandai oleh bangkitnya kapitalisme, industri kebudayaan, dan makin kuatnya organisasi-organisasi yang bergerak dalam ekonomi serta kelompok bisnis besar dalam kehidupan publik. Dalam karya ini Habermas menentukan batas yang disebut ruang publik borjuis. Didalam buku pertamanya pula, Habermas menyebutkan terdapat 3 kriteria yang harus dimiliki ruang publik yaitu, Liberte, Egalite, Fraternite atau Kebebasan, Persamaan, Persaudaraan. (Prasetyo, 2012)
      Sementara dalam buku keduanya Between Facts and Norms, Habermas mengelaborasikan Ruang Publik dengan konteksnya kepada hukum dan demokrasi. Demokrasi yang dihadirkan ialah demokrasi yang deliberatif yang mana dalam menghadirkan hukum yang legitimasinya berasal dari pertimbangan secara mendalam (deliberasi) dengan mengikutsertakan lembaga politik formal dan partisipasi politik informal (masyarakat) dalam pembuatan dan pengambilan keputusan.  Habermas, melalui Facts and Norms ini, mendefinisikan ruang publik sebagai arena bagi setiap orang untuk berpartisipasi dalam upaya deliberasi. Karenanya di tahapan ini ruang publik tidak lagi dipandang secara konkret, historis, dan partikular sebagaimana dalam buku pertama, The Structural Transformation of Public Sphere. (Prasetyo, 2012)