Kita hidup di zaman dimana kemana-mana kafe solusinya. Mau hangout, ketemuan sama doi, belajar, kerja kelompok, caf jawabannya. Budaya nongkrong di kafe ternyata paling banyak dialamin di usia 17 tahun keatas atau ketika berada di fase-fase mahasiswa.Â
Mahasiswa adalah kaum-kaum remaja yang sedang melakukan masa transisi ke fase atau jenjang yang lebih dewasa. Di fase ini, beberapa mahasiswa memang terkadang masih sangat labil dan ambigu ketika dihadapkan dengan sebuah perkara, apa-apa ngikut temennya, apa-apa gengsi dulu. Hal ini juga yang tanpa sadar membuat mahasiswa newbie lupa arah tujuan sehingga lebih memprioritaskan dolan atau nongkrong ketimbang belajar. Hal ini dibuktikan dengan minimnya minat dan keinginan memiliki buku mata kuliah yang diampu.Â
Dengan berlindung dibalik alasan "aduh bukunya mahal" "lagi nggak ada uang", tapi ketika di ajak temannya untuk nongkrong selalu "gas terus". Memang ada benarnya kita sudah hidup di era dimana semua serba digital, segala hal ada di internet. Tapi bukankah memiliki buku adalah suatu kewajiban bagi seorang pelajar? Ibaratnya apabila sedang bertempur, buku adalah tameng sekaligus senjata kita, menang atau tidaknya kita tergantung senjata apa yang kita gunakan dan tameng seperti apa yang melindung kita. Sama halnya dengan buku, semakin banyak buku yang kita baca, maka semakin banyak ilmu yang kita dapat.Â
Meskipun ada buku digital, namun buku digital sendiri masih banyak kurangnya dan dapat terkendala jaringan. Above all, perlu diingat kembali apa tujuan utama yang sedang kita tekuni, jangan sampai hal-hal yang tidak seharusnya terlintas membuat kita terkecoh dan terdistraksi sehingga melupakan alasan utama yang kamu miliki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H