Gambar:
[caption id="attachment_327182" align="alignleft" width="300" caption=""][/caption]
Baskoro mengamati orang orang yang berlalu lalang di depannya. Nampaknya cukup ramai juga pengunjung toko buku ini. Ada yang sekedar membaca secara gratis, ada juga yang sekedar liat liat dan dibaca sebentar kalau isinya menarik baru dibeli. Tujuan Baskoro ke toko buku ini memang pengin beli nopel. Sudah lama juga rencana itu ada tapi beru terlaksana sekarang. Maklum sebagai mahasiswa perantauan yang kost mesti berhitung dengan pemasukan dan pengeluaran. Dengan langkah pasti dan mantap Baskoro menuju rak penjualan komik dan novel. Segera saja ia mencari novel yang ia inginkan. Agak lama juga Baskoro mengubek ubek tapi apa yang ia cari belum juga ditemukan. Minggu kemarin ia datang kesini dan masih ada beberapa biji. Baskoro menggaruk garuk rambutnya yang gondrong sebahu. Apa sudah habis dibeli orang, begitulah pikiran yang berkecamuk dibenaknya. Dicarinya lagi siapa tahu terselip diantara novel novel keluaran terbaru. Dan untunglah Baskoro melihat apa yang ia cari. Segara saja tangannya yang kekar dan sedikit berbulu itu terulur menggapai benda yang ia maksud. Tepat ketika tangannya memegang novel tersebut, sebuah tangan yang mungil, halus dan putih juga memegang benda itu. Sejenak Baskoro tertegun. Ia tidak begitu memperhatikan keadan disekelilingnya karena asyik mencari cari apa yang ia cari. Dilihatnya seorang gadis bertubuh mungil, berkulit putih dengan potongan rambut pendek tapi sesuai dengan bentuk wajahnya. Gadis itu sama seperti dirinya, sama sama memegang novel yang ada di rak. "Maaf, aku yang duluan," Kata Baskoro tanpa basa basi. "Kok bisa begitu," gadis itu tidak mau kalah. "Lha iya lah. Tangan aku yang duluan megang baru tangan kamu. Artinya novel ini hak aku." Baskoro tetap ngotot. "Tapi kamu khan bisa cari yang lain. Yang ini biar untuk ku saja." "Enak saja kalau ngomong. Dengar ya non, aku udah dari tadi ngubek ngubek dan baru saja ketemu. Asal tau aja ini cuma tinggal satu satunya aja lagi." Baskoro segera menyentak novel tersebut hingga pegangan gadis itu terlepas. Mata gadis itu nampak berkaca kaca, tak menyangka ada orang sekasar itu. Tapi wajarlah, potongannya saja seperti preman. Tubuh tinggi besar, rambut gondrong awut awujan, rahang kekar, mata menyorot tajam dengan senyuman dingin. Belum lagi tangannya yang berbulu itu. Gadis itu bergidik ngeri. Tampa sadar ia mundur dua langkah. Tapi yang ia heran kok bacaannya novel percintaan. Melihat gadis mungil itu nampak seperti ketakutan melihatnya dan hampir menangis, Baskoro jadi tak tega. "Kamu sendirian saja," Baskoro mencoba bersikap ramah. Mendengar pertanyaan seperti itu, gadis itu nampak semakin ketakutan. Ia nampak celengak celinguk memperhatikan keadaan sekitarnya. Dan sialnya ditempat itu hanya cuma ada mereka berdua. Gadis itu semakin ketakutan, itu terlihat dari kakinya yang gemetar. Menyadari gadis itu semakin ketakutan, timbul rasa kasihan di hati Baskoro. "Adik manis jangan takut seperti itu dong, memangnya tampangku ini tampang kriminal." "Maaf ya kalau aku agak kasar tadi. Tapi sebenarnya aku tidak bermaksud demikian kok." "Sebagai permintaan maafku biarlah novel ini kamu saja yang memilikinya." Baskoro menjulurkan novel yang ada ditangannya kepada gadis itu. Gadis mungil itu tidak bergerak dari posisinya, tidak juga menyambut novel yang ada didepannya. Rupanya ia masih shock. Tapi akhirnya disambut juga novel itu dan tanpa ada kata kata yang keluar dari mulutnya langsung saja gadis itu berlalu dari hadapannya. Sepeninggal gadis itu, Baskoro merutuki dirinya. Kenapa sikapnya sekasar itu pada wanita. Jangankan wanita, laki laki saja kalau dipololoti seperti itu pasti nyalinya mengkerut juga, dikira mau dipalak. Dasar nasib bertampang preman. Baskoro terus saja meratapi diri. Padahal seandainya tadi ia bisa bersikap manis bisa saja berkenalan dan tahu namanya. Walaupun imut gadis itu nampak cantik dan lucu. Tapi sudahlah toh semua sudah terjadi lagi pula ia tidak bermaksud kasar kepada gadis itu. Cuma sekedar agar novel itu menjadi miliknya. Kemudian Baskoro melihat lihat komic dan novel yang ada di rak itu. Tak berapa lama kemudian ditinggalkannya toko buku itu tanpa membeli apapaun. ***** Maya tergesa gesa memarkirkan mobilnya. Semoga tidak terlambat pikirnya. Dengan langkah cepat dan setengah berlari diseberanginya areal parkir tempat kuliahnya. Maya terus saja berjalan dengan cepat, disebuah tikungan hampir saja ia bertabrakan dengan seseorang. "Hei kalau jalan jangan meleng," dengus orang itu. Mata mereka bertubrukan. Maya tergagap. "Maaf." cuma itu yang keluar dari mulut Maya. Dengan cepat diteruskan langkahnya menuju ruang kuliahnya. Untung saja dosennya belum masuk. Sepanjang perkuliahan Maya tidak konsentrasi. Ingatannya tertuju pada orang yang hampir ditabraknya tadi. Kok orang itu ada disini, apakah orang itu juga kuliah disini. Kalau memang ia kuliah disini pasti ia seniorku. Tapi kenapa waktu oreantasi kemarin orang itu tidak kelihatan. Tapi kenapa orang itu seperti tidak kenal lagi sama aku, padahal kejadiannya kan baru seminggu yang lalu. Atau memang cuma kebetulan mirip saja. Berbagai macam pertanyaan berkecamuk dalam pikiran Maya. Penjelasan dari dosen pengajar cuma numpang lewat dikepalanya. Kepalanya lebih banyak terisi tentang orang itu. Kejadian di toko buku minggu kemaren masih melintas dibenaknya. Waktu itu ia mencari novel yang direkomendasikan oleh temannya. Tak disangka ia malah berebutan dengan orang itu. Tangan mereka sama sama memegang itu novel di sebuah rak. Salahnya juga tidak memperhatikan keadaan disekitarnya sehingga tidak melihat sosok raksasa di depannya. Yang lebih menyakitkan lagi sikapnya kasar dan tidak menghargai wanita. Langsung main bentak saja. Tidak ada sopan sopannya. Walaupun pada akhirnya mau juga mengalah dan memberikan novel itu kepadanya. Orang itu sebenarnya menarik juga, apalagi kalau lagi tersenyum. Pesona maskulinnya terpancar. Tinggi besar, dada bidang, kulit coklat, rambutnya itu walau panjang dan awut awutan malah menambah kemaskulinannya. Lengannya yang kekar saja berbulu apa lagi dada bidangnya itu pastilah bulunya lebih lebat. Hmm membayangkan rebahan di dada yang berbulu itu pasti menyenangkan. Tanpa sadar Maya tersenyum senyum sendiri. Untung saja orang orang yang ada dalam ruang perkuliahan itu tidak memperhatikan tingkah laku maya. Tapi aku suka juga kok dengan laki laki agak kasar. Maya tersenyum lagi. Aku harus mencari tahu apakah orang itu memang ia. (Bersambung)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI