- (Critane Rakyat)
" yang jelas, beri aku waktu 2 hari cit" balasku melalui WA person.
"Oh gitu ya mas.?Oke.. berarti selasa bs ya?? Skalian smpyn hadir dan melatih Karena anak-anak latihannya selasa dan kamis. Mksh sbelumnya".
" ok ...!"
Dengan ditemani si pianis GKI Kebonagung-yuyus, aku mencoba menyampaikan konsep lagu VG yg akan dinyanyikan KPR GKI Kebonagung. konsep lagu VG yg didramatisir dngan gerakan. butuh stamina ekstra memang, karena perpaduan antara power vokal dan gerakan anggota tubuh untuk mengekspresikan lagu. tanpaknya sang maestro manggut manggut. sebenarnya, tanpa banyak ceritapun, yuyus sudah paham. bahkan salah satu hasil arasemennya pernah dibawakan paduan suara dr GPIB dan meraih juara 1.
Sambil menyampaikan konsep, aku menyulut rokok alami, rokok yang bukan biasanya aku hisap. tapi karena kere, yah, cari yg terjangkau. artinya warunge cedhak tur iso utang. Maunya sih ke kali bolu, ke tokonya yanik sekalian ngopi gratis tapi takut kalo dia ke gereja, malah gak ketemu.
Sesekali aku menyruput kopi dingin-itupun harus rebutan dengan teman tidurku-Niasti. sedangkan yuyus asyik dengan camilan biskuit yang harus berbagi dengan semut merah. Tak ada komentar dari sang maestro tentang biskuitnya. cuma aku saja yg kuatir, jika nanti sampai rumah lambe maestro jedir karena disun semut. Aku diam, karena seingatku aku kemarin beli gula 1/4 kg, tapi mengapa mbok seh gak membuatkan kopi atau air putih untuk maestro? yah..., tak palah. belum tentu yuyus mau minum kopi atau air putih. Ya, karna sepengetahuanku dia pecinta berat ekstra joss. Pagi, siang, sore, malam, bahkan dini haripun minumnya sama. selama bergaul denganya, belum pernah aku lihat seteguk air putih lewat dikerongkonganya.
Apakah karna malu ato bagaimana, yuyus diam dan tdk menyinggung masalah minum. salahe meneng ae, batinku, karna aku juga gak brani tanya mbok seh, jangan-jangan gulane entek. kadong towo, setheng ae duwek gak nyekel. bah wes yus. ngelek,o idu ae wes.
Mesake kancaku.
Beberapa saat kemudian, Giusti,-anaku yang katanya lebih ganteng dibanding anak perempuanku, keluar membawa mangkok berisi mendol, tempe kacang, sawi putih direbus dan bumbu pecel sak mangkok cilik, encer pisan.
"Kak, makan dulu kak....".
“O, nggak usah wes. Aku baru makan kok”. Jawab yuyus
Wah …, gak mungkin. Hla wong yuyus pulang dari gereja kok. Kapan sarapane. Aku agak ketawa, “hla lek sampek keselek, Blaen ta. Banyu poteh ae ganok “.
Dari belakang mbok Seh sambil teriak sedikit memaksa yuyus untuk makan.tapi sekali lai yuyus menolak untuk makan. Aku hanya diam dan berkata dalam hati “opo doyan yuyus karo mendol”.
Beberapa saat kemudian yuyus pamit untuk pulang. Dan janji ketemu hari selasa siang untuk mendengarkan hasil arransemenya.
Kembali aku meneruskan mengutak atik lagu Betapa Kita Tidak Bersyukur, mencoba memadukan antara arrasemen lagu dan membayangkan vocal serta gerakan. Akhirnya tidak sampai sore hasil rekayasa sudah selesai dan aku mencoba untuk memindahkan ke Sibelius untuk mendengarkan ketukan lagu dan temponya.
Jam 20.30 semua sudah beres. Hanya satu pekerjaan yang harus aku selesaikan. Memindahkan kembali menjadi not angka dan memasukkan syair. Dan hari selasa sore sudah bisa dipakai untuk latihan. Aku berharap teman-teman KPR tidak kesulitan untuk menyanyikannya.
Waktu istirahat sudah menanti. Aku beranjak dari kursi dan menuju motorku Honda Revo 2009 warna biru – warna kebanggaan Aremania Aremanita - yang masih terpakir seharian di luar. Karena kondisi dan tempat di kontrakanku terbatas, aku gunakan motorku untuk menjemur kasur. Kegiatan menjemur kasur yang harus sering aku lakukan, mengingat kondisi kasurnya yang sudah tipis. Aku tidak bisa membayangkan jika ada teman atau tamu yang datang dan menginap di tempatku. esok paginya aku harus memanggil Bu Endang atau Bu Endah (kakak ipar Sugianto Roth – Ketua MJ GKI Kebonagung) untuk memijatnya. Saking tipisnya, sampai-sampai galar amben-pun terasa dipunggung (galar = bambu yg dibilah menjadi beberapa bagian dan digunakan untuk alas kasur). Itu belum ditambah menghiruo kapok yang semburat jika sprei penutupnya terbuka. Wah …! Sungguh mesake tamuku. Aku berharap, mudah-mudahan tidak ada orang yang sudi menginap di tempatku. Jika ada dan terpaksa, aku akan menyampaikan ke Panitia Pembangunan Grha Eklesia untuk mengupayakan Guest House.
Mondar-mandir aku mencari kontak sepeda motorku. Sudah semua sudut aku ubek nggak ketemu juga. Sambil menahan kesal, aku duduk mengambil rokok alami dan menyulutnya. Dan yang semakin membuatku kesal tatkala aku mengambil rokok dan mengisapnya, ternyata malah yang ada apinya yang aku masukkan ke mulut. Dengan menahan panas dan kaget, aku banting rokok itu dan aku mengumpat sambil menunjuk-nunjuk rokok yang sudah mencelat kemana. Tak beberapa lama, aku beranjak menuju dapur dan membuat kopi godhok. Air, gula, dan kopi sidomukti dijadikan satu dan direbus sambil diaduk agar tidak mombol. Karena pengalaman membuat kopi serupa aku tinggal sebentar, tak ksampai ½ menit aku kembali yang kudapat hanya lethek yang tersisa. Airnya sudah berkeliaran nutupi pinggiran kompor.
Selesai aku membuat kopi, sambil menunggu agak dingin, kembali aku mencari kontak sepeda motorku. Semua tas, celana dan baju yang sabtu siang aku pakai, semua aku buka. Hasilnya, tetap nihil. Akhirnya aku putus asa, aku tutup pintu dan lampu depan aku matikan.
Aku mencoba membuka FB, aku lihat di situ Pak Malik masih on line. Wah, ono kopi panas. Masio ora iso ngrasakno pokok,e aku kudu iso berbagi kopi karo dolor siji iki. Dengan Kamera HP Cross A8T, aku menjepret secangkir kopi godhok dan sebutir biscuit yang masih dirobong beberapa semut merah lalu mengirimnya ke Pak Malik. Tak lama kemudian, akupun tertidur.
Pagi harinya, belum jam 6 mantan pacarku sudah bersiap berangkat ke sekolah. Akupun masih sibuk mencari kontak yang tak tahu dimana rimbanya. Akhirnya, dengan sedikit kesal mbok seh berangkat ke sekolah naik angkot.
Karena waktu yang semakin siang, aku mengirim SMS ke kepala sekolahku dan menyampaikan bahwa jika sampai jam 7 saya nggak nyampai sekolah, berarti saya absen. Sebenarnya tanpa motorpun aku naik mikrolet AMG pun sudah sampai tetapi bisa-bisa jam 8 atau lebih aku baru sampai ke sekolah Bhakti Luhur. jika ingin cepat aku harus naik GA turun di invalid dan oper AMG. Itupun jika AMG langsung ada. Dengan hanya mengantongi uang Rp 4.500,00, selembar 2 ribuan lungset, selembar seribuan agak lungset, dua keeping 5 ratusan, sekeping dua ratusan logam dan 3 keping seratusan logam, Aku tidak bisa berbuat banyak. Apalagi aku harus nggendong hening atau jika dia nangis minta jajan. Sulit aku membayangkan. Hanya satu yang terpikirkan olehku saat itu, bisa berangkat dan sampai di sekolah sambil membawa anakku hening. Kalau pulang gak masalah, Aku bisa jalan ke Kebonagung.
Beberapa saat kemudian ada telpon dari Kantor SMP Bhakti Luhur, Ibu Ninik Kepala Sekolah SMP menngharapkan aku segera hadir di sekolah. Karena ada permasalahan yang harus diselesaikan. Aku kembali menyampaikan alasan saya kepada beliau, dan bu Ninik mengatakan masalah ongkos nanti akan diganti.
Wah, rupanya memang disekolah ada permasalahan yang harus diselesaikan. Sampai-samoai Bu Ninik masih belum paham dengan kondisi saya. Beberapa saat kemudian, Pak ponco menelepon aku dan memberitahukan bahwa saya harus segera ke sekolah karena ada permasalahan siswa yang menyangkut saya. Dan kondisi anak sekarang masuk Rumah Sakit.
Dengan pikiran yang galau, dengan tergesa-gesa aku mengirim pesan ke tanto (sementara ini masih berpacaran dengan anin, putri bu Endang teraphys) dan dia membalas berada dirumah Yanik kali bolu. Tanpa menjawab pesan lagi, aku memakai tas punggung untuk kerjaku dan mengambil tas kecil hening, memasukkan baju ganti, susu, dan botol kedalamnya. Pintu rumah aku tutup dari dalam dan aku keluar lewat jendela. Karena kunci rumah jadi satu gantungan dengan kontak yang melarikan diri dari tempatnya. Dengan menggendong hening, bergegas aku ke rumah Yanik tempat tanto menyelesaikan pekerjaannya.
“Tan, koen repot,a …?”. Padahal aku melihat kalo dia repot dan bayak kerjaan.
“opo,o pak ..?”, jawabnya.
“Aku njalok totong terno aku nang sekolaan”.
“Sak iki,a pak ..?”
“ Gak, tanggal 30 februari ae”.
“oyi, pak. Tak jaketan”.
Tanpa menunggu lama, tanto mengeluarkan motor dan membonceng aku. Dalam perjalanan aku menceritakan pada tanto mengapa aku minta tolong dia. Dengan manggut-manggut dia memahami kondisiku.
Sesampai di perempatan Mergan – langsep, ada pesan masuk. Aku membacanya. Ternyata dari mbak Eli admin SMP Bhakti Luhur. Aku semakin tidak tenang, apa yang terjadi. Aku mencoba mengingat-ingat kalau mungkin aku pernah berbuat salah terhadap sekolah atau murid-murid. Sampai jauh aku tidak mendapatkan kesalahan itu.
“Tan, aku ngkok siliono ojir seket, yo..?”.
“Beres, pak ..”.
Sesampai didepan sekolah aku minta tanto langsung masuk ke dalam. Sambil menurunkan aku dan Hening, tanto mengeluarkan uang RP. 50.000,00 dan diserahkan padaku. Dengan hanya mengucapkan trimakasih tanpa cipika-cipiki, tanto lansung meninggalkan aku.
Aku bergegas setengah berlari menuju kantor sambil menggendong Hening. Tampak beberapa musid kelas VII dan kelas VIII memanggil-manggil namaku. Aku membalas dengan senyuman, melambaikan tangan seperti selebriti yang berjumpa dengan fansnya dan ditaburi dengan kembang. Ternyata yang jatuh di mukaku daun nangka yang sudah busuk yang jatuh dari genteng karena tertiup angin. Aku memasuki kantor. Beberapa saat kemudian bu Ninik menghampiri saya dan menyampaikan beberapa hal. Bahwa di kantor Saya sudah ditunggu oleh wali murid dan betul-betul mengharapkan bertemu dengan saya. Tapi anaknya tidak ikut karena masih di Rumah sakit. Bu Ninik juga pesan agar aku mendengarkan dulu sampai tuntas apa yang ingin disampaikan oleh wali murid.
Tanpa menunggu lama aku langsung masuk ruang Kepala Sekolah. Disitu sudah ada suster ajul dan seorang ibu yang menunggu kedatangan saya. Berbeda dengan saat datang dan murid-murid memanggil nama saya tadi. Suasana agak tegang, seperti pipa paralon yang dipanasi kemudian dibiarkan lama-lama mulai mengeras dan menegang dan tidak pulih seperti sediakala.
“Ibu ….”. aku mulai menyapanya.
“Sugeng siang …., kula Pak asa. Wonten wigatos bu ….”, dengan nada yang sangat miyayeni saya memperkenalkan diri. Walaupun sebenarnya saya orang keturunan kraton memang, kraton gerohe maksud,e (baca : katon berohe}.
Dengan nada yang agak sedikit tidak begitu keras dia menjawab “ apakah bapak yang bernama pak Asa ..?”.
Aku agak mengerutkan kening. Hlo …, aku maeng koyok,e yo wes memperkenalkan diri. Apa memang beliau ini terpesona dengan gaya bahasa pengucapan dan kesopananku …? Kok sekarang tanya lagi.
“Injeh bu …”. Kembali aku menjawab dan semakin menghaluskan gaya bahasaku ke tingkat yang lebih tinggi.
Kemudian ibu tadi menceritakan tentang kondisi anaknya yang sakit dan menceritakan kondisi luka pada lengan tangan kiri anaknya.
“Sudah saya tanya pak, anaknya bungkam nggak mau ngomong. Bahkan bapaknya dan dokter yang bertanyapun tidak dijawab. Saya jadi bingung”. Saya hanya berguman dalam hati, kalo bingung pegangan saya saja bu. Apa perlu saya memeluk dan mengelus rambut ibu. Biar tenang.
“Akhirnya beberapa hari kemudian dia mau ngomong pak. Katanya luka yang ada dilenganya itu di conyok rokok oleh gurunya”.
Wik ..!!! saya kaget bukan kepalang.
“Dan itu kejadiannya di sekolah pada jam istirahat. Dan langsung saja to the poin ya pak, bahwa yang melakukan itu adalah pak Asa”.
Waduh …!!! (bukan wik lagi). Bukan lagi kaget kalau yang sekarang. Tapi bagaikan ditampar sehelai benang sutra sekeras-kerasnya.
“Kejadiannya kapan bu, tepatnya kapan ….”, saya mengulang lagi penjelasannya.
“Tanggal 9 februari pak. Sekarang begini saja pak, bapak melakukan apa tidak. Karena dengan perlakuan bapak seperti itu, anak saya sekarang tidak mau dan trauma masuk sekolah karena takut di conyok rokok lagi”.
“Saya harap bapak mau mengakui secara jujur, ya atau tidak. Kalau memang melakukan bilang saja ya, jika tidak melakukan, saya akan mengambil langkah hukum”.
Saya jadi bingung jadinya. Kalau melakukan disuruh bilang ya, kalau tidak melakukan mau dilaporkan ke Perlindungan Anak. Tanpa control yang jelas, saya balik bertanya. “Berarti ibu sudah merencanakan semua ini …?”.
“Saya tidak merencanakan pak, tinggal bapak mengakuinya saja”, tegasnya.
Tidak beberapa lama kemudian, suster ajul kembali duduk dan mendekati ibu tadi sambil membawa presensi kelas.
“Menurut pengakuan anak ibu, kejadiannya tanggal 9 hari senin saat istirahat ke-2. Memang hari senin pak Asa mengajar, tetapi hari senin tersebut si anak ibu tidak masuk sekolah. Dan ditambah lagi selama bulan februari anak ibu setiap senin tidak masuk sekolah. Dan pak Asa hanya masuk setiap hari senin dan kamis. Hari kamis itupun pak asa mengajar siang jam 11. Bagaimana mungkin pak Asa yang melakukan ..?.
“Ya pokoknya, kalu tidak hari senin ya hari selasa begitu suster. Antara tanggal itulah …”, kembali ibu ngotot.
“Pak Asa hari selasa dan rabu tidak disini”, kembali suster Ajul menegaskan kepada kepada si ibu.
Aku lebih banyak mendengarkan apa yang terjadi saat itu, karena bebarengan dengan itu Hening menangis tidak mau diam dan minta kluar dari ruangan.
“tapi saya akan tetap melaporkan hal ini dan memprosesnya secara hukum”, lanjutnya.
“Kalau memang begitu, saya akan lepor balik bu. Saya akan melaporkan bahwa ibu mencemarkan nama baik saya”. Jawabku. Dalam hati aku berkata, wah.., memang belum tahu tahu ibu ini sebaik apa nama lengkap saya.
Akhirnya, dengan bukti-bukti yang sudah disampaikan, akhirnya si ibu meminta alamat dan nmr HP saya. Dengan tujuan mau berkunjung ke rumah saya. Saya juga menyampaikan, jika mau ke rumah untuk telpon dulu. Karena saya nggak punya rumah, saya masih kontrak. Dan saya berharap untuk tidak menginap karena nantinya saya harus keluar uang untuk mijet. Ya kalo satu yang datang, dia bilang mau membawa anak, suami dan saudaranya juga. Berapa ongkos yang harus aku keluarkan. Mudah-mudahan Guest House Eklesia cepat selesai.
Setelah semuanya tidak terbukti, si ibu pamit pulang.
Beberapa guru yang hadir saat itu berkumpul dan membahas lagi hal yang tidak masuk akal tersebut. Dan memang banyak kejanggalan-kejanggalan dengan keterangan si anak kepada ibunya maupun keterangan teman-teman tentang si anak tersebut.
Setelah semuanya mulai reda, bu Ninik meminta mbak eli ntuk mengajak saya ke kantor yayasan di belakang. Setelah sampai disana, saya dan mbak eli dibantu Paula membawa beberapa bungkusan kesek hitam dan dibawa ke kantor SMP.
Karena sudah jam satu, saya berpamitan kepada Bu ninik untuk pulang. Seraya mmbalas pamitan saya, bu Ninik menyuruh saya untuk membawa satu bungkusan itu untuk dibawa pulang.
Jam 15.30 saya sampai di rumah, dan kemudian membuka bingkisan yang saya terima tadi. Ternyata …………….
- 1 kg gula pasir
- 2 bks biskuit
- 5 kaleng sarden
- 1 liter minyak goreng
- 10 bungkus indomie
Sebuah proses yang cukup melelehkan dan menegangkan dan satu baris kalimat yang bisa aku tuliskan.
“ Kere ketiban Bale kecipratan Gule”
Matursembah bekti Gusti Yesus. Sampun pinaring berkat damel sakluarga.
Amin
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI