Untuk kesekian kalinya penulis memberi pertolongan kepada seorang anggota TNI yang minta tumpangan di sebuah pintu Tol.Kali ini kebetulan perjalanan si prajurit TNI ini sama dengan penulis yakni ke Bojonegoro. Prajurit TNI ini berpangkat Sersan Mayor dari sebuah kesatuan yang ada di Surabaya. Sebut saja namanya Sersan Mayor Sugito. Bapak Sugito ini perkiraan penulis beruimur sekitar 45 tahun dan menurut pengakuannya ia mempunyai 2 orang anak dari seorang istrinya.Setiap hari ia mesti pulang pergi Bojonegoro-Surabaya demi tugas kedinasan dan sekaligus menghidupi keluarganya.Karena alasan tertentu keluarganya berkeberatan jika mereka tinggal di Surabaya.
Selama perjalanan kami berdua berceritera “ngalor ngidul” tentang banyak hal. Tak terkecuali kami berdua terlibat percakapan sedikit serius tentang pelaksanaan Pilpres kali ini yang “makin lama makin panas”.
Yang menarik dari percakapan kami berdua adalah tentang ungkapan rasa gundahnya sebagai prajurit aktif yang merasa kecewa dengan sikap para seniornya yang jadi Tim Sukses pada masing-masing kubu pasangan capres/cawapres yang tidak menunjukkan jiwa kebersamaan dan saling menghargai satu sama lain. Yang ada diantara mereka saling menjatuhkan dan menghinakan. Seolah-olah diantara mereka sudah seperti musuh yang harus diperangi dengan berbagai cara. Dia begitu kecewa dengan sikap beberapa seniornya tersebut yang begitu gampang dan teganya mengumbar kejelekan dan keburukan capres dari kubu lainnya yang juga berlatar belakang militer di forum-forum terbuka dan kalangan media massa. Apalagi sampai mencap Psikopat atau gila. Lantas kalau memang yang bersangkutan psikopat atau gila kenapa dulu TNI bisa menerima dia sebagai taruna hingga yang bersangkutan bisa jadi jendral? Menurut Serma Sugito di lingkungan TNI selalu ditanamkan kekompakan dan kebersamaan dan juga untuk tidak membuka aib atau rahasia di lingkungan TNI sendiri. Apalagi hal yang diungkapkan tersebut belum tentu kebenarannya.Sebagai prajurit bawahan Serma Sugito merasa para senior tersebut-walaupun para senior tersebut sudah pensiun-sudah memberikan contoh yang tidak baik kepada para yuniornya dan dapat merusak moral para prajurit yang masih aktif seperti dirinya.
Serma Sugito hanya bisa bernafas panjang dan geleng-geleng kepala.
Penulis yang sipil saja muak dan geram dengan tingkah polah mereka, jadi penulis dapat maklumi sikap Serma Sugito tersebut.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H