Eforia menjelang Pemilihan Presiden atau yang lebih dikenal dengan pilpres 2014 telah dirasakan oleh hampir seluruh tataran masyarakat, baik yang memang sudah sejak lama mengenal politik pun bagi sebagian yang baru melek politik. Panggung besar pilpres 2014 tentu mengundang banyak sekali aktor, pelaku, dan tentu para penonton itu sendiri. Tim sukses, simpatisan, para pengamat, akademisi, lembaga survey, media dan para aktor dadakan lainnya yang secara terus menerus datang silih berganti untuk ikut terjun dan menikmati kontestasi besar pesta demokrasi lima tahunan ini. Memang menarik ketika panggung politik saat ini memperlihatkan bermacam karakter, topeng dan lakon sandiwara yang terkadang bagi sebagian orang sedikit mual untuk menyaksikan, namun bagi sebagian lagi semakin terpancing dan reaktif atau bahkan menjadi agresif yang malah meninggalkan rasionalitas menuju fanatisme buta, dari prilaku etis menjadi picik. Penulis melihat karena begitu dahsyatnya panggung politik pilpres 2014, kita dibuat alpa dan terbuai bahwa sebenarnya bangsa ini sedang bertarung untuk mencari pemimpin yang benar-benar mampu membawa perbaikan bagi Indonesia dan membenahi kekurangannya.
Penulis sangat gelisah terhadap apa yang telah terjadi belakangan ini. Jika diikuti secara jeli, maka terlihat nuansa pertarungan pilpres 2014 semakin tidak terkendali, mendidih, tajam, saling caci-maki, dan adu klaim jelas terlihat. Tidak hanya itu, isu – isu yang berorientasi terhadap fitnah yang tanpa dasar, barangkali sudah menjadi lumrah jika meilihat trend kampanye saat ini. Dalam hal ini, barangkali tidak salah ketika penulis berpikir bahwa media adalah aktor yang punya peran penting. Seakan tak mau ketinggalan, media yang seharusnya dipergunakan sebagai alat penyebaran informasi dan pencerdasan seakan berubah drastis menjadi kapal kampanye besar, bahkan hal ini disinyalir oleh para pengamat bahwa media telah melakukan propaganda hingga kampanye hitam untuk membentuk opini publik yang sesat terhadap salah satu calon dan juga calon lainnya. Ditambah lagi dengan hadirnya aktor–aktor dadakan seperti lembaga survey “kemarin sore”yang punya hobi baru yaitu merilis hasil sruvey untuk mempengaruhi atau menggiring opini publik, tak peduli menggunakan metode survey seperti apa. Tidak ketinggalan, agar lebih menarik, ditaburkan pula para pengamat dan kaum akademisi yang sudah tergadai objektifitasnya sebagai bumbu-bumbu penyedap sebuah survey ataupun talk show politik.
Trend Kampanye Politik dan Kemunculan “Simpatisan Kaget”
Upaya mencari simpati publik oleh para capres saat ini semakin gencar, seperti saling klaim tokoh atau organisasi pendukung. Belakangan ini banyak sekali ormas, LSM, dan aliansi – aliansi karbitan yang bahkan belum pernah didengar sebelumnya tiba – tiba bermunculan untuk mendukung pasang capres tertentu. Yang menarik lagi, ormas, LSM, dan aliansi tersebut kerap kali mengatasnamakan kalangan rakyat tertindas hingga publik figur seperti tukang becak, petani, nelayan, buruh, pedagang pasar, hingga artis dan penyanyi. Barangkali label “Simpatisan Kaget” bisa menjadi opsi tepat bagi golongan-golongan ini. Namun dibalik itu semua hal-hal seperti ini dilakukan tentu bertujuan untuk menggiring opini publik yang dapat menyentuh seluruh tatanan masyarakat dari bawah hingga atas.
Jika dilihat secara historis, penulis merasa bahwa pilpres saat ini cukup berbeda dari pilpres sebelumnya. Hal ini terlihat dari atmosfir dan antusiasme yang amat besar bagi setiap pendukung para kandidat. Seperti yang sudah dijelaskan didepan bahwa banyak sekali aktor-aktor yang mengisi panggung politik nasional kali ini. Namun seorang aktor tak akan ada artinya tanpa adanya kamera yang merekam dan menampilkan (record and play scenario) yang mana dalam hal ini media diibaratkan sebagai sebuah kamera yang siap merekam dan menampilkan setiap aksi yang terjadi diatas panggung politik nasional.
Memang peran vital media sebagai alat kampanye ini sangat efektif, itu terlihat sejak suksesnya John F Kennedy memanfaatkan media televisi dan radio dalam mengkampanyekan dirinya saat pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 1960. Sedang ramainya pendukung yang memanfaatkan media sosial tidak lepas dari kesuksesan Barack Obama yang memanfaatkan web jejaring tersebut sebagai alat kampanye dirinya saat pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2008.
Hal ini pun semakin dipertegas oleh data statistik yang ada, berdasarkan dari data Internet World Stats dan Global web index wave, perkembangan pemakai internet di Indonesia pada tahun 2014 mencapai 24% atau sekitar 62.191.873 pengguna dari total populasi 251.160.124 Orang. Hal itu pun diikuti oleh meningkatnya pemakai media sosial yang persentasinya sama dengan pengguna internet di Indonesia, yakni 24% atau kurang lebih 60.000.000 pengguna.
Perang antar sesama pendukung pun tidak kalah serunya di arena media sosial. Facebook dan twitter adalah salah satu dari sekian banyak jejaring sosial yang dijadikan tempat para pendukung bertemu. Namun yang disayangkan adalah, ketika kampanye-kampanye yang ada menjadi fitnah, memanipulasi informasi, bahkan membawa isu SARA serta berbalas argumen dengan caci-maki dengan menggunakan bahasa yang kasar. Selain itu, penulis melihan bahwa maraknya black campaign yang beterbangan di media sosial sesungguhnya justru menjadi bumerang bagi penyebarnya. Entah ada keterkaitan atau tidak dengan para kandidiat yang ada, upaya untuk menjatuhkan lawan dengan mengorek keburuhkan lawan adalah tindakan yang tidak bijaksana. Tentu saja karena hal ini, tujuan kampanye yang seharusnya mencerdaskan, drastis berubah menjadi membodohkan karena informasi yang disajikan adalah berorientasi terhadap hal-hal negatif. Hal ini sebenarnya menganggu stabilitas perpolitikan nasional dan juga masyarakat secara umum, karena masyarakat akan kesulitan dalam menyaring informasi antara yang benar dan yang sesat. Selain itu agenda-agenda black campaign akan sangat membahayakan masyarakat awam karena cukup mudah tersulut karena adanya friksi perbedaan pandangan dan pilihan.
Sesungguhnya jika dilihat secara riil, munculnya kampanye hitam dan kampanye negatif adalah refleksi dari budaya kehidupan politik liberal yang dengan rapih dibingkai ke dalam sebuah koridor aturan main sistem politik demokrasi yang sarat dengan permainan politik uang untuk meraih kekuasaan. Salah satu indikator terkait hal ini bisa dilihat dari banyaknya praktek money politics pada pileg yang lalu dengan sistem pemilu proporsional terbuka dan banyak partai.
Cerdas dan Kritis Adalah Suatu Keharusan
Saat ini, informasi apapun yang berhubungan dengan capres saat ini sangat sulit ditelusuri kebenarannya, informasi yang tersaji membutuhkan informasi-informasi pembanding sebagai pegangan untuk memilih kandidat mana yang terbaik. Sebagaimana hipotesis Mutz & Reeves (2005), gambaran politik pada media berkewajiban menyederhanakan informasi yang disajikan agar masyarakat yang menikmatinya dapat menangkap informasi tersebut dengan mudah, media pun wajib menyajikan informasi politik yang berimbang agar masyarakat tidak melihat informasi tersebut hanya dari satu sisi saja. Dalam situasi saat ini, sudah barang tentu masyarakat dituntut untuk cerdas dalam menangkap informasi yang telah tersedia, membandingkan dan menelusuri kebenaran informasi adalah sebuah kewajiban sebelum menyebarkan atau ikut mengomentari informasi tersebut dalam media sosial.
Selain itu, menurut penulis yang juga mahasiswa, para kaum muda dan intelektual haruslah berperan aktif dalam agenda pencerdasan pemilu kali ini, dan juga seterusnya. Hal-hal sederhana seperti kampanye anti golput, aksi tolak politik uang, aksi tolak kampanye hitam hingga agenda-agenda pencerdasan seperti diskusi-diskusi rutin bertemakan pemilu, bedah visi misi capres dan rekam jejak capres adalah merupakan upaya-upaya yang tanpa henti harus dilakukan para kaum intelektual yang tidak lain dan tidak bukan adalah mahasiswa. Menurut penulis, agenda seperti ini dapat memberikan dampak positif bagi mahasiswa lain dan masyarakat umum. Penulis juga melihat bahwa daya tawar dan keberpehikan mahasiswa lebih tinggi dan dipercaya daripada segelintir simpatisan ataupun narasumber-narasumber yang memang sudah berpihak kepada salah satu calon atau kandidat.
Kita semua harus terus berharap bahwa proses kampanye pilpres kali ini tidak menimbulkan kekacauan sosial dan optimis bahwa sesungguhnya proses demokrasi di Indonesia berada dijalan yang baik dan benar, tentu dengan pengawalan tanpa henti bagi seluruh elemen bangsa. Apapun perbedaan pandangan dan pilihan yang terjadi di masyarkat harus bisa diterima secara bijaksana karena perbedaan adalah keniscayaan. Siapapun yang terpilih mudah-mudahan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh rakyat Indonesia, yaitu pemimpin yang amanah, yang mampu menjalankan cita-cita bangsa Indonesia sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H