Prologue : Mall Sebagai Ruang Publik
Modern Shopping Mall atau yang disingkat dengan Mall merupakan bangunan tertutup multilantai yang diisi oleh ragam jenis unit retail dalam satu kesatuan struktur yang kompak (bangunan), dengna tujuan untuk memudahkan akses pengunjung (pembeli) dari satu unit ke unit retail yang lain. Dan untuk alasan sustainability, maka sebuah Mall biasanya mempunyai satu keharusan sebagai penghuni utama yang disebut Anchor Stores atau toko serba ada dan pusat jajanan makanan (food court).
Konsep untuk ruang publik sebenarnya telah ada sejak dahulu dan banyak teori muncul untuk mencoba menganalisis hal apa yang membuat ruang publik semakin baik. Telah banyak ide dan pikiran yang berkembang terkait ruang publik seperti upaya-upaya untuk mengurangi intrik rasisme, strata sosial, ataupun gender. Pertanyaannya, apakah Mall merupakan salah satu jawaban dari konsep ruang publik yang baik?
Jika dilihat sekilas Mall terlihat sangat multifungsi, dengan banyaknya toko-toko dan restoran sebenarnya menjadikan Mall menjadi monofungsi yang memisahkan berbagai macam aktifitas sosial dengan sekat-sekat kios dan restoran. Hal ini membuat kemampuan untuk komunikasi publik menjadi hilang.
Sebuah tempat di mana orang dapat dengan bebas mengumpulkan dan mengkomunikasikan berbagai macam hal seperti ide-ide atau informasi, dengan ruang yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan atau fungsi adalah ruang publik sesungguhnya. Ruang publik sejatinya menjamin bahwa semua orang berhak untuk berkomunikasi dan bertukar pikiran tanpa ada sekat strata baik strata ekonomi atau strata sosial apalagi strata pendidikan. Dalam konteks ini penulis berpendapat bahwa esensi Mall adalah bukan sebagai ruang publik tetapi sebagai bangunan untuk berkonsumsi ria.
Jika diperhatikan kebanyakan fasade dari Mall yang ada didesain seperti penjara dengan ragam kios dan toko didalamnya (Voyce, 2006). Walaupun sebuah Mall tidak membatasi secara langsung siapa yang diperbolehkan “berkunjung” tetapi sebenarnya desain sebuah Mall sangat diperuntukkan untuk tujuan konsumtif. Dampaknya adalah hanya orang yang mempunyai kemampuan konsumtif (finansial) yang tinggi yang dipersilakan untuk berbelanja dan berkunjung ke Mall, sebaliknya orang yang tidak mempunyai kemampuan konsumtif (finansial) menjadi ragu untuk paling tidak berkunjung ke Mall yang penulis anggap sebagai ruang publik “berbayar”.
Penulis juga memperhatikan beberapa fakta yang cukup menarik bahwa keseluruhan desain Mall sebenarnya didesain untuk tujuan konsumtif. Misalnya sarana atraksi dan hiburan seperti ice skating, roller coaster, atau ragam wahana lain lokasinya selalu berdekatan dengan kios makanan atau restauran yang dimaksudkan agar ketika pengunjung merasa lelah pengunjung dapat melakukan kegiatan konsumtif lainnya yaitu membeli snack atau singgah di restaurant-restaurant dengan pajak yang tinggi.
Secara keseluruhan bukti-bukti yang ada mengerucutkan pada persepsi bahwa Mall merupakan sebuah bangunan yang didesain untuk orientasi ekonomi dan bisnis, bukan sebagai ruang publik. Seperti yang penulis jelaskan diatas bahwa ruang publik sejatinya tidak pernah mengdikotomikan “publik” itu sendiri. Sedangkan Mall mempunyai batasan kelas (kemampuan finansial), ras dan kultur (remaja dan kaum hedonis), dan bahkan batasan waktu (jam malam). Oleh karena pembatasan ini, Mall tidak dapat dianggap sebagai ruang publik karena tidak mempunyai daya dukung terhadap interaksi sosial yang disebabkan pemisahan unsur-unsur tertentu dari masyarakat.
Mall Sebagai Kebutuhan Nyata Masyarakat?
Sistem perekonomian indonesia menjadi neoliberalis sejak awal 1970-an yang menjadikan indonesia sebagai tuan rumah yang sangat ramah dengan investasi asing. Pada masa ini, investor diberikan keleluasaan besar untuk mengakuisisi lahan perkotaan yang strategis dan menjadikan lahan industri ekonomi baru dengan apa yang disebut real estate atau yang sekarang telah berkembang dan lebih dikenal dengan nama superblock.
Bagi masyarakat perkotaan indonesia, keberadaan Mall dianggap sebagai pilihan kebutuhan masyarakat atas ruang publik untuk kegiatan rekreatif maupun kegiatan sosial, sebagai bagian dari gaya hidup kaum perkotaan. Akibat terbatasnya ruang publik yang ada di sebuah kota atau daerah, maka wajar Mall menjadi pilihan yang logis untuk beberapa alasan seperti kenyamanan (udara panas dan hujan), praktis dan efisien, keamanan, serta kepastian (praktek penipuan produk seperti di pasar tradisional) (Atmawidjaja, 2009).
Paradigma lain adalah kebanyakan kepala daerah di Indonesia berlomba-lomba melegalkan ruang diatas pangkuan amanahnya untuk dijadikan Mall karena dianggap sebagai simbol representatif dari kemajuan wilayah dan keberhasilan dari mandat elektoralnya. Keberadaan Mall sebagai kompleks retail memang dianggap membantu pertumbuhan sektor ekonomi riil paska krisis ekonomi 1998.
Menurut penulis, terdapat beberapa kritik terhadap pembangunan Mall yang sangat massive pada dekade ini yakni, pertama, Mall merupakan ruang publik artifisial yang bersifat ekslusif. Kedua, para pedagang kecil sulit untuk mampu bersaing dengan pedagang menengah ke atas dalam membeli/menyewa unit retail di dalam Mall (indoor unit) seperti kios/ toko dan lain lain. Mall cenderung mematikan pedagang ritel kelas kecil atau menengah karena tidak mampu bersaing dengan pedagang ritel kelas besar. Ketersediaan modal (capital) berulangkali menjadi hambatan pedagang kecil untuk mampu bersaing dengan pedagang besar. Ketiga, keberadaan Mall semakin menyuburkan nalar konsumerisme karena masyarakat akan dimanjakan dengan berbagai kemudahan dan fasilitas berbelanja yang mudah dan nyaman. Fasilitas kredit atau potongan harga (diskon) semakin menjadikan masyarakat berperilaku konsumtif. Berbelanja ke Mall pada akhirnya menjadi tuntutan gaya hidup (lifestyle) masyarakat modern. Kritik keempat adalah penyeragaman terhadap bentuk arsitektur kota-kota Indonesia, dimana Mall di beberapa saat ini telah menjelma menjadi landmark kota yang baru dan benderang, sementara kawasan kota tua dibiarkan redup. Penyeragaman bentuk arsitektur kota tentunya sangat bertolak belakang dengan keragaman budaya yang dimiliki Indonesia. Kritik terakhir berkaitan dengan pemborosan energi yang dilepaskan dari pendingin udara, penerangan gedung dan seringkali kemacetan yang ditimbulkan di sekitar Mall. Keberadaan banyak Mall merupakan ciri-ciri kota ”sakit”, karena sebagai ruang publik ia tidak memenuhi tujuan sosial dan lingkungan.
Epilogue : Kota Indonesia Dengan Jati Diri ke-Indonesia-an
Suasana kota-kota di Indonesia pada dekade terakhir ini terlihat kurang manusiawi serta tidak nyaman sebagai tempat tinggal dan bekerja bagi warganya. Saat ini sebagian besar para penguasa dan pengelola kota hanya mencurahkan perhatiannya kepada aspek fisik serta pergulatan untuk memenuhi peningkatan pendapatan kota. Kebutuhan sosial bagi masyarakat sangat tidak diperhatikan.
Jika dikaitkan dengan efek dari pembangunan Mall tentu sedikit demi sedikit muncul sifat dikotomi kehidupan masyarakat di kota-kota di Indonesia yang kurang dipahami dan dilupakan oleh para perancang dan pengambil kebijakan kota. Dikotomi kehidupan masyarakat ini meliputi antara lain aspek individu dan kelompok, tradisional dan modern, formal dan informal, miskin dan kaya, serta antara masyarakat populis dan elitis. Dikotomi masyarakat yang yang ada di kota-kota di Indonesia seharusnya menjadi referensi bagi perancang dan pengelola kota dalam mengkaji dan memahami masalah-masalah yang timbul sebagai upaya untuk mengambil kebijakan publik dan penataan kota yang serasi, selaras, setara, seimbang, dan nyaman dalam melayani kebutuhan masyarakat banyak (Heryanto, 2011).
Kota-kota di Indonesia semakin hari semakin memiliki kecenderungan kehilangan identitas serta kearifan lokal aslinya. Secara tidak sadar, identitas asli kota semakin kabur dan perlahan lenyap. Lahan-lahan strategis di kota dilelang kepada para pemegang saham dengan embel-embel modernisasi dan peningkatan pendapatan perkotaan. Seakan-akan komersialisasi adalah satu-satunya cara untuk mewujudkan hal tersebut. Padahal tidak seperti itu. Warga kota dibuat bangga dengan label atau cap yang mengacu pada kota-kota di belahan barat sana, seperti istilah superblock, town square, city centre, grande, town house dan istilah asing lainnya. Masyarakat secara tidak sadar dibius secara perlahan agar benar-benar kebal dan tidak sadar bahwa sebenarnya kapitalisme merupakan sebuah fatamorgana yang amat nikmat untuk dirasakan, padahal merupakan sebuah ancaman yang sangat serius dan berbahaya.
“Think globally, act locally” konsep berpikir secara global tetapi bertindak secara lokal mungkin masih relevan untuk dikaji dan diterapkan dalam proses perencanaan dan perancangan kota saat ini. Sehingga dengan memadukan aspek global dan kearifan lokal serta berpijak pada nilai-nilai etika dan moral maka perencanaan maupun peraturan serta kebijakan kota yang dibuat akan berguna bagi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakatan banyak dan tidak sebaliknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H