Pada Jumat pagi tanggal 17 Juli 2015 sekelompok massa telah menyerang umat islam yang sedang melaksanakan shalat Idul Fitri 1436 H di Distrik Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua. Di tengah kekhusyuan dan kegembiraan umat islam Tolikara menyambut hari raya para penyerang tersebut menyerang, membakar masjid, kios-kios, dan rumah-rumah milik warga muslim.
Sebelumnya telah beredar Surat Badan Pekerja Wilayah Toli (BPWT) Gereja Injil Di Indonesia (GIDI) tertanggal 11 Juli 2015 kepada umat Islam se-Kabupaten Tolikara. Surat itu ditandatangani oleh Pendeta Nayus Wenda sebagai ketua dan Pendeta Marhen Jingga sebagai Sekretaris. Surat tersebut ditembuskan kepada Bupati, Ketua DPRD, Kapolres, dan Dandim Kabupaten Tolikara. Isinya adalah larangan atas umat islam di sana untuk melaksanakan shalat Idul Fitri, bahkan tertulis juga larangan bagi para muslimah untuk mengenakan jilbab.
Tragedi Tolikara itu menunjukkan bahwa toleransi yang sudah begitu rupa diberikan oleh umat Islam kepada umat non Islam di negeri ini telah secara berulang dibalas dengan intoleransi yang sangat menyakitkan, khususnya di wilayah-wilayah mayoritas non muslim. Meski demikian, tetap saja tidak ada perlakuan yang sebanding jika yang jadi korban adalah umat Islam. Bila yang melakukan hal serupa itu umat Islam, pastilah langsung disebut tidak toleran, bahkan di cap teroris dan diburu. Sebaliknya, terhadap apa yang telah terjadi di Tolikara yang dilakukan oleh kelompok Kristen itu, kecaman sebagai sikap intoleran saja nyaris tidak terdengar.
Staf Ahli BNPT Wawan Purwanto mengatakan ada unsur perencanaan yang diatur sedemikian rupa sebelum terjadinya insiden Tolikara (http://www.voaindonesia.com/content/ada-indikasi-keterlibatan-asing-dalam-insiden-tolikara/2872912.html). Selain ada dugaan kelompok pro kemerdekaan, juga ada peran kekuatan asing yang bermain di Tolikara. Ada juga unsur perencanaan yang diatur sedemikian rupa sebelum insiden terjadi, dimana sejumlah saksi menyebut para penyerang itu mayoritas berasal dari luar wilayah Tolikara.
Tokoh-tokoh GIDI sudah lama dikenal mensponsori aktivitas separatisme di Papua. Dalam situs tabloiddjubi.com bulan Januari 2014, Pendeta Dorman Wandikbo dengan tegas menyatakan bahwa Papua merdeka adalah hak dasar orang Papua. Orang Papua minta merdeka bukan karena penderitaan, kelaparan, dan kemiskinan, tapi mau lepas karena ideologi yang harus kita fahami (link : http://tabloiddjubi.com/2014/01/30/wandikbo-kalau-bicara-hukuman-mati-apakah-perjuangan-papua-merdeka-itu-teroris).
Hal itu mengingatkan pada peristiwa pelepasan Timor Timur dimana di sana ada peran gereja dan Uskup belo. Menurut mantan KasumTNI Letjen (Purn) Johannes Suryo Prabowo, apa yang terjadi di Tolikara persis seperti yang terjadi sebelum Timor Timur lepas dari Indonesia. Jika terjadi aksi balasan, akan ada cerita pada dunia bahwa ada penganiayaan dan penindasan di Papua. Aksi kekerasan selanjutnya dapat menjadi alasan bagi Negara lain untuk masuk ke Papua (Tempo.co,24/7/2015).
Adanya intoleransi, keterlibatan asing, dan unsur separatisme sangat jelas terlihat di Tolikara. Karena itu umat Islam harus senantiasa waspada, terutama terhadap campur tangan asing dan konspirasi separatisme Papua. Tentu tragedi lepasnya Timtim tak boleh terulang lagi. Karena Allah SWT melarang keras pemisahan bagian negeri Islam yang akan menjadi jalan bagi kaum kafir menguasainya.
Wallahu a’lam bishawab.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H