Mohon tunggu...
Endang Pujiyati
Endang Pujiyati Mohon Tunggu... -

Ibu yang sedang belajar menjadi pendidik dan pengajar untuk putra-putrinya sendiri dan putra-putri dari rakyat Indonesia yang menitipkan pendidikan dan pengajarannya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Wajib Belajar, Pemerataan Pendidikan, dan Sekolah Tanpa UN

25 April 2013   15:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:37 1622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam kancah pendidikan Indonesia saat ini sedang terjadi kegegeran pelaksanaan ujian baik SMA maupun SMP dan sedang kita tunggu apakah juga terjadi di UN untuk SD.  Kekacauan terjadi karena banyak faktor yang melibatkan beberapa kementrian, wilayah Indonesia yang luas dari Sabang sampai Merauke, sampai proyek yang diminati banyak pengusaha abal-abal alias hanya mengandalkan koneksi dan upeti.  Semoga ini bukan tuduhan yang tidak berdasar. Saya tidak ingin membahas kejadian yang sedang menimpa Indonesia ini.  Saya hanya ingin membagi sedikit pengalaman saya dengan dunia sekolah di luar Indonesia,  hasil pengalaman pribadi, bincang-bincang dengan teman yang sudah lama tinggal di tempat saya saat ini tinggal, bincang-bincang dengan guru anak-anak saya di sini. Jepang, pasti anda semua tahu, inilah negara yang disebut sebagai salah satu negara maju, termasuk dalam kelompok G8, yang merajai industri mobil dan motor sejagat, di sinilah saat ini saya menimba ilmu.  Tempat dimana saat saya masih SMP pernah terpercik keinginan, bila saya bisa sekolah di luar negeri saya ingin ke Jepang. Saat pertama saya datang, saya mengira Jepang dan seluruh wilayahnya glamour sepertinya halnya kota-kota besar yang pernah saya liat di televisi.  Ternyata dugaan saya salah, tidak semua tempat glamour .  Kebetulan karena tempat saya adalah di kota Nagasaki, kota kecil yang tidak glamor tetapi terkenal karena pernah di bom atom oleh Amerika.  Tetapi kota ini masih lebih ramai daripada tempat teman lain yang lebih kecil, yang transportasinya agak lebih sulit dibandingkan Nagasaki, sehingga mau tak mau mereka mencari mobil untuk transportasi pribadi.  Perbedaan kota kecil di Indonesia dan di Jepang adalah system pemerintahan dengan segala aspeknya sangat teratur, termasuk urusan pendidikan untuk anak usia sekolah. Apanya yang menarik dengan sistem pendidikan negeri ini sehingga bisa menjadikan negara ini salah satu negara maju?  Hal ini yang ingin saya ceritakan. 1.   WAJIB BELAJAR Seperti pernah saya tulis sebelumnya, wajib belajar di Jepang baru 9 tahun, maksudnya tingkat SD sampai SMP. Saya menyebutkan baru 9 tahun, karena PM Jepang yang sekarang berkuasa sedang berusaha mewujudkan agar wajib belajar bisa sampai 12 tahun (sampai tingkat SMA), sehingga sampai saat ini pemerintah Jepang baru bertanggungjawab bagi pendidikan seluruh penduduk (WN Jepang & WNA yg menetap di Jepang) untuk pendidikan tingkat SD sampai SMP. Maksud dari tanggungjawab ini adalah bahwa pemerintah Jepang menyediakan sekolah bagi semua penduduknya di semua tempat sampai tempat-tempat terpencil/ pulau-pulau kecil dalam wilayah Jepang, sehingga tiap satu kelurahan ada satu SD dan satu SMP.  Setiap orang tua/ wali anak yg sudah mencapai umur 6 tahun per 1 April (berdasarkan data penduduk) akan mendapat panggilan dari pemerintah kota untuk masuk sekolah di sekolah yg paling dekat dengan lokasi tempat tinggalnya.  Data ini diperoleh krn sejak ibu hamil sdh harus melaporkan kehamilannya ke kantor walikota setempat untuk mendapatkan bermacam-macam fasilitas penunjang (akan dibahas dlm tulisan lain), sehingga tdk ada anak yg terlewatkan.  Orang tua bisa memasukkan ke sekolah milik pemerintah (sekolah negeri) atau bila mau dengan biaya sendiri memasukkan ke sekolah swasta, tetapi tetap memberitahukan kpd pemerintah daerah bahwa anaknya akan masuk ke sekolah swasta. Perbedaan antara sekolah swasta dan pemerintah adalah pada fasilitas yg lebih baik, seperti komputer di sekolah swasta rasionya 1 : 1 ( 1 anak 1 komputer)sedangkan sekolah negeri lebih besar (saya tdk tahu angka pastinya), sedangkan mengenai kurikulum dan buku-buku pelajarannya semua sama dan disediakan pemerintah, karena semua harus merujuk pada kurikulum pemerintah pusat. Biaya di sekolah negeri gratis, hanya ada biaya makan siang dan pembelian beberapa buku tambahan yg hanya ada di sekolah kurang lebih sekitar Rp. 3.000.000 per tahun ( upah kerja paruh waktu di Nagasaki sekitar Rp. 120.000 /jam). Bila kita termasuk kategori tidak mampu, maka bisa mengajukan aplikasi beasiswa kpd pemerintah shg orang tua tidak perlu membayar apapun ke sekolah, sedangkan untuk sekolah swasta ditanggung sendiri seperti di Indonesia dimana tiap bulan harus membayar SPP (untuk bantuan pemerintah ke sekolah swasta saya tdk tahu persisnya). Untuk SD tdk ada seragam (kecuali SD swasta), sedangkan SMP semua berseragam (untuk SMP swasta biasanya mereka mempunyai emblem yg dijahitkan pada bajunya). [caption id="" align="aligncenter" width="280" caption="Seragam SMP"][/caption] Pemerintah menjamin ketersediaan sekolah untuk semua anak, bahkan ada satu SD di sebuah pulau yg hanya mempunyai 1 orang murid.  Demikian pula untuk anak-anak berkebutuhan khusus.  Mereka bila memungkinkan akan dimasukkan di sekolah-sekolah umum, tetapi bila tidak mungkin karena keterbatasan kemampuan berfikir sehingga perlu guru khusus, maka anak tersebut akan dimasukkan ke sekolah-sekolah yang mempunyai kelas-kelas khusus.  Bila sekolah itu jauh dari lokasi tempat tinggal orangtua sang anak, maka pemerintah akan menyediakan asrama bagi anak tersebut selama anak tersebut bersekolah (9 tahun) dan semuanya gratis. Untuk tingkat SMA sampai saat ini belum menjadi tanggung jawab pemerintah dan sedang diusahakan, kemungkinan berkaitan dengan ketersediaan dana dan fasilitas pendukungnya, baik gedung maupun guru-gurunya.  Meskipun belum sampai tingkat SMA, tetapi pemerintah Jepang tetap menyediakan SMA negeri, tetapi tidak gratis seperti SD dan SMP.  Orang tua murid masih harus membayar seperti kita di Indonesia harus membayar SPP, tetapi tetap lebih murah dibandingkan SMA swasta .  Jadi semua penduduk Jepang yang berumur 15 tahun ke atas minimal berpendidikan SMP.  Kewajiban belajar ini berdasarkan umur, sehingga ketika si anak sudah mencapai umur tertentu maka ia harus sudah ada pada jenjang kelas tertentu, baik target pembelajaran sudah tercapai atau belum (seperti anak dengan kemampuan belajar kurang dari rata-rata) karena di Jepang tidak mungkin anak tidak naik kelas. Kewajiban belajar berdasarkan umur ini tidak hanya diberikan kepada anak-anak penduduk asli saja alias pribumi saja tetapi semua anak yang pada masa usia sekolah tinggal di Jepang.  Seperti kami para mahasiswa yang membawa serta keluarga dan anak-anak usia wajib belajar, akan mendapat jatah tersebut juga.  Pada saat anak kita  memasuki usia wajib belajar maka kita akan mendapat panggilan untuk mendaftar  sekolah.  Pertama kita akan mendapat surat dari pemerintah kota kemudian kita mendaftar ke bagian pendidikan bahwa memang anak kita akan masuk sekolah dengan memperlihatkan paspor bahwa visa kita pada saat anak masuk sekolah masih berlaku.  Sesudah itu sekolah akan memasukkan daftar anak kita di SD terdekat dengan rumah kita, baru kemudian dari sekolah tersebut yang akan mengurus kita.  Kewajiban anak sekolah berdasarkan umur ini pulalah yang apabila anak WNA yang tinggal di Jepang masuk pada usia yang sudah mencapai kelas tertentu tetap dia masuk kelas tersebut, kemudian gurunya akan memberikan tambahan jam pelajaran setelah usai jam sekolah untuk mata pelajaran yang tertinggal terutama mata pelajaran menulis kanji. 2.  STANDARD PENDIDIKAN YANG SAMA Jepang meski negara yang hanya seluas pulau Jawa, tetapi tersebar dalam bentuk kepulauan, dengan empat pulau besar dan banyak kepulauan kecil.  Meskipun tersebar dalam kepualau yang kecil tetapi standard yang diterapkan dalam pendidikan baik fasilitas maupun kurikulum sama untuk seluruh Jepang.  Semua buku pelajaran di semua sekolah baik negeri maupun swasta sama (semacam buku paket) dan guru hanya mengajarkan materi dari buku-buku tersebut, tidak ada buku tambahan yg harus dibeli, kecuali orangtua murid mau membeli buku lain dan mengajarkannya sendiri kepada anaknya, sehingga semua materi sama untuk semua sekolah di Jepang. Apabila orangtua murid pindah ke kota lain di Jepang tidak akan menjadi beban buat orang tua maupun putra-putri mereka karena semua standar, fasilitas dan buku paket pun sama, jadi hanya perlu melapor untuk pindah baik di kota asal maupun di kota tujuan. Untuk sistem pendidikan dari SD sampai SMP mereka akan diajarkan sesuai dengan kurikulum dari pemerintah pusat untuk tiap tingkat sekolah. Tidak ada dalam sistem ini seorang anak yang tidak naik kelas karena tidak bisa mencapai target pembelajaran. Bagi anak-anak yang belum mencapai target pembelajaran maka gurunya punya kewajiban memberikan tambahan pelajaran bagi anak tersebut di luar jam pelajaran , artinya jika masih ada anak yang dinilai kurang mereka akan memberikan tambahan pelajaran kepada anak sepulang sekolah atau memberi mereka pekerjaan rumah lebih banyak pada bagian di mana dia kurang. Pada akhir tahun ajaran, apabila terdapat anak yang dinilai belum cukup menguasai pelajaran pada tahun ajaran sebelumnya, maka pada waktu libur kenaikan kelas, anak tersebut akan mendapatkan tambahan pelajaran untuk mengejar kekurangan tersebut, alias anak tersebut harus tetap masuk sekolah setiap hari pada jam-jam tertentu. Tugas guru di sini memang cukup berat, tak heran gaji dan penghargaan yang diberikan kepada mereka cukup tinggi, melebihi pekerja pada umumnya. Meskipun jam sekolah SD di Jepang hanya sampai jam 15.00, tapi guru SD baru bisa pulang ke rumah sekitar jam 20.00, karena setelah setelah jam pelajaran selesai mereka masih harus memeriksa pekerjaan murid-muridnya, maupun memberikan tambahan pelajaran bagi anak-anak yang membutuhkannya. Pemerataan standard pendidikan juga melibatkan rolling (perputaran) guru dalam satu wilayah perfekture atau propinsi.  Misalnya Nagasaki yang merupakan perfekture dengan daerah yang berada di mainland dan juga kepulauan. Setiap 6 tahun sekali seorang guru akan mengalami rotasi dari sekolah ke sekolah yang lain dalam perfekture tersebut, dan dia wajib harus mau di rotasi ke sekolah yang ada di wilayah kepulauan selama 4 tahun. Info ini saya dapatkan dari guru anak saya yang saat program kunjungan rumah datang ke rumah kami, dan ternyata beliau guru baru yang datang kemudian beliau cerita masalah rotasi ini.  Dalam pandangan pribadi saya rolling ini tentunya dimaksudkan agar guru tidak bosan berada di satu wilayah yang sama, guru harus merasakan wilayah lain yang jauh dari keramaian tidak melulu mengajar pada sekolah di kota saja tetapi seorang harus harus mau mengajar ke daerah yang terpencil, di pucuk gunung maupun di pulau terpencil.  Tentu saja program ini bagus karena semua guru akan mengajarkan pola yang sama jadi tidak ada guru di kota atau guru wilayah terpencil.  Hal ini berbeda sekali dengan negara kita di mana wilayah terpencil kekurangan guru.  Murid cuma sedikit sehingga  terpaksa si anak yang harus datang ke kota padahal istilah wajib belajarnya sama yaitu 9 tahun. Pemerataan pendidikan ini juga adanya standar pada fasilitas sekolah negeri baik d kota maupun wilayah terpencil.  Untuk sekolah dasar misalnya pasti mereka memiliki gedung sekolah, gedung untuk pertemuan dan olah raga, halaman belakang yang luas yang dipergunakan untuk kegiatan anak untuk olah raga out door dan bermain, serta kolam renang yang dipergunakan untuk olah raga renang saat musim panas. Fasilitas bermain yang juga sebagai fasilitas olah raga, sepeda roda satu selalu ada di setiap sekolah dasar. [caption id="" align="aligncenter" width="320" caption="SD Nishimachi"]

[/caption] Ruang belajar dengan model yang sama. [caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="Kelas 4 SD Nishimachi"]
Kelas 4 SD Nishimachi
Kelas 4 SD Nishimachi
[/caption]
Ruang olah raga
Ruang olah raga
Setiap sekolah pasti memiliki website yang digunakan sebagai tempat untuk menampilkan foto-foto kegitan sekolah dan anak-anak untuk tiap kelas, pemberitahuan kepada orang tua murid, jadwal, meski selalu ada print outnya. contoh yang bisa di buka di dua SD di Nagasaki. di sini dan disini.  Jadwal mereka ada pada tautan ini  . Sistem pengadaan sekolah maupun guru serta standarisasi buku dan pelajaran inilah menurut saya yang perlu kita terapkan di Indonesia sehingga kita segera dapat mengejar ketertinggalan kita dan seluruh wilayah Indonesia mempunyai standar pendidikan yang sama. Standarisasi sekolah tidak hanya untuk sekolah SD tetapi juga SMP dan SMA.  Meskipun tingkat  SMA belum masuk ranah wajib belajar, tetapi semua standar  sekolah negeri sama.  Sekolah setingkat SMA di Jepang juga memiliki sekolah umum dan sekolah kejuruan. Sekolah umum  merupakan sekolah yang anak-anaknya bertujuan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi untuk mencapai gelas sarjana.  Sedangkan sekolah yang peserta didiknya ingin langsung bekerja mereka akan memilih sekolah kejuruan . Sistem pendidikan di Jepang sangatlah berorientasi pada anak didik/murid.  Untuk tingkat SD dan SMP yang masih masuk program wajib belajar, maka anak  harus bersekolah di sekolah yang paling dekat dengan lokasi tempat tinggalnya dan tidak ada sistem ujian masuk maupun ujian kelulusan.  Jadi setelah menyelesaikan pendidikan dasar 6 tahun, orang tua murid akan diberikan pilihan bagi anaknya hendak melanjutkan ke SMP mana, sama prosesnya dengan awal masuk pendidikan dasar (SD), tinggal isi formulir yg sudah diberikan dari sekolah (SD), kembalikan ke sekolah, dan masuk ke SMP yang dituju.  Pada tingkat SMP menuju SMA agak sedikit berbeda karena untuk tingkat SMA belum termasuk dalam proses wajib belajar. 3. SEKOLAH TANPA UN (UJIAN NASIONAL) Meskipun ada tahap berjenjang dalan ptinkat pendidikan di Jepang tetapi, setelah mencapai kelas tertinggi pada jenjang terserbut, anak tidak dikhawatirkan akan lulus atau tidak.  Semua akan lulus.  dari SD ke SMP anak hanya mengikuti tes akhir catur wulan saja seperti halnya kenaikan kelas. Selanjutnya acar perpisahan karena harus meninggalkan bangku SD untuk melanjutkan ke jenjang SMP.  Demikina juga dengan SMP ke SMA.  Hanya saja pada akhir kelas 3 SMP murid-murid akan diberikan soal-soal ujian, sama seperti pada tiap-tiap kenaikan tingkat/kelas.  Perbedaannya hanyalah kalau pada tingkat-tingkat sebelumnya hasil ini digunakan untuk evaluasi kemampuan murid dan bila ada kekurangan maka guru harus memberikan pelajaran tambahan, tapi ujian pada akhir kelas 3 SMP ini bertujuan untuk membuat peringkat murid.  Maksudnya di sini adalah seperti hasil NEM di Indonesia pada awal-awal penerapannya.  Siswa pasti akan lulus, hanya hasil itu menentukan siswa tersebut berhak melanjutkan di sekolah mana. Untuk anak-anak yang kemampuan berfikirnya pas-pasan sehingga hasil akhirnya juga pas-pasan biasanya mereka melanjutkan ke Sekolah kejuruan yang lulusannya dapat langsung bekerja, sedangkan yang mempunyai kemampuan tinggi bisa memilih untuk melanjutkan ke SMA yang kemudian diteruskan ke Perguruan Tinggi, atau masuk ke Sekolah Kejuruan dan setelah itu langsung bekerja.  Semua itu tergantung pilihan masing-masing karena setelah tingkat SMP semua biaya ditanggung orangtua murid masing-masing, sehingga bila mereka memilih untuk melanjutkan ke SMA berarti mereka akan terus melanjutkan ke Perguruan tinggi dengan biaya sendiri, meskipun ada juga program pinjaman uang dari pemerintah untuk bersekolah di Perguruan Tinggi yang pengembaliannya dicicil setelah bekerja. Untuk tingkat SMA dan SMK sistem pendidikan juga tidak banyak berbeda. Tidak ada murid yang tinggal kelas, karena tiap tahun murid akan naik ke tingkat selanjutnya dan setelah 3 tahun mereka akan menamatkan pelajarannya.   Gurulah  yang bertanggungjawab mendidik murid sehingga murid tersebut mencapai standar kemampuan yang sudah ditetapkan pemerintah untuk tiap tingkatnya.  Apabila murid  kurang dapat menangkap pelajaran ataupun melakukan kesalahan tidak boleh ada guru menghukum murid secara fisik, paling hanya menasehati karena memarahi murid juga tidak boleh dengan kata-kata kasar yang bisa mengakibatkan guru tersebut dilaporkan ke Dinas Pendidikan yg bisa mempengaruhi karier guru tersebut.  Setiap orangtua murid sejak tingkat SD, pada akhir tahun ajaran akan diberikan sebuah quisoner mengenai guru yang mengajar anaknya pada tahun ajaran sebelumnya.  Quisoner itu berisi pertanyaan mengenai kebiasaan guru tersebut mengajar, apakah suka marah-marah, membentak, memukul, dll.  Quisoner itu dikirimkan ke dinas pendidikan setempat sebagai bahan evaluasi bagi guru yang bersangkutan, sehingga bisa dikatakan disini tidak ada guru galak, yang ada hanyalah  guru baik / ramah dan guru cerewet. Setelah sampai tingkat 3 SMA, murid-murid  dan juga guru juga tidak terbebani dengan ujian akhir, karena semua murid SMA maupun SMK pasti akan lulus.  Perbedaannya adalah untuk murid SMA setelah lulus mereka harus segera mempersiapkan diri untuk mengikuti Ujian masuk Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh masing-masing perguruan tinggi.  Murid-murid tersebut bertanggungjawab terhadap dirinya masing-masing dalam persiapan menghadapi ujian tersebut.  Biasanya anak-anak ini akan belajar tekun untuk dapat menembus ujian di perguruan tinggi idamannya.

Selama masa sekolah yang pada akhir tujuan adalah untuk bekerja, sertifikat ketrampilan menjadi penentu mudah tidaknya seseorang untuk mendapatkan pekerjaan.  Baik itu sertifikat di bidang olah raga, seni, tata boga dan lain-lain, akan menjadi incaran para peserta didik.  Sehingga semua peserta didik berlomba-lomba ikut kegiatan ekstrakurikuler yang di adakan di sekolahnya atau klub-klub yang ada di luar sekolah. Kegiatan ini biasanya di mulai dari SD, atau bahkan mulai dari TK, yang pada umumnya di dasarkan pada kesenangan anak terhadap kegiatan tersebut.  Brosur-brosur  mengenai kegiatan tempat dan harga per bulan untuk latihan disebarkan di semua sekolah.  Salah satu teman yang merupakan asisten laboratorium di kampus saya  mempunyai seorang anak perempuanyang mengikuti  3 kegiatan ekstrakuler sekaligus, yaitu, tari, bola dan bahasa Inggris, meskipun si ibu harus mengeluarkan biaya banyak untuk kegiatan tersebut, karena rata-rata per kegiatan standard bayarannya adalah Rp. 600.000 per bulan.   Tetapi demi masa depan anak sendiri juga maka mereka akan dengan senang hati mengelurkannya.  Semua jenis ketrampilan sangat di hargai di Jepang.  Tidak hanya pada saat pendidikan dasar saja mereka rajin ikut kegiatan ekstrakurikuler saja mereka aktiv, bahakn saat mahasiswa pun mereka aktiv seseuai bidang yang disenangi selama ini.  Selalu ada lomba untuk kegiatan tersebut, dan tentu saja semakin banyak kesempatan untuk mendapatkan sertifikat kejuaraan.  Kalau selama masa studi ini dia selalu berprestasi maka jika meminjam uang untuk sekolah di universitas maupun setingkat D3 maka bisa jadi hutang ini akan dihapus oleh pemerintah.  Wuih senengnya.  dan tentu saja pekerjaan akan dengan mudah diperoleh.    Hal inilah yang menyebabkan energi anak-anak di Jepang selalu tersalurkan ke sisi positif yaitu kegiatan ekstrakurikuler sehingga tak ada waktu lagi untuk tawuran seperti  yang marak di negara tercinta kita.

[caption id="" align="alignnone" width="1024" caption="Club Tari"]

[/caption]

Dengan sistem pendidikan semacam ini anak-anak selalu senang bersekolah, karena sekolah adalah tempat yang sangat menyenangkan dan tempat mereka berkumpul dengan teman-temannya.  Guru-gurupun juga bertugas sesuai fungsinya yaitu memastikan bahwa murid-murid tersebut sudah mencapai standar yang diharapkan.  Guru-gurupun juga mendapat penghargaan yang layak karena tugas mereka cukup berat, karena harus bisa mendidik anak  tanpa membuat anak tersebut tertekan dengan pelajaran yang diberikan.  Jadi untuk menjadi seorang guru diperlukan kemampuan berfikir yang baik serta kesabaran yang tinggi karena berhadapan dengan banyak sekali murid dengan karakter yang berbeda.  Penghasilan guru SD di Jepang sekitar Rp. 30.000.000 per bulan, hampir sama dengan penghasilan seorang ahli Teknik  (Engineer) dan dokter, hanya kalah dengan penghasilan seorang pemilik perusahaan. Melihat berita mengenai pelaksanaan UN di Indonesia tahun ini, saya berharap semoga cerita saya ini bisa dijadikan renungan.  Bila kita ingin anak-anak kita menjadi maju, buatlah suatu sistem yang berorientasi pada anak didik bukan pada hasil akhir yang sebenarnya adalah keinginan kita supaya kita (a.k.a  pemerintah) dinilai berhasil, tetapi buatlah suatu sistem yang membuat anak didik senang untuk bersekolah/ menempuh pendidikannya dan juga guru-guru bertugas sesuai dengan fungsinya.  Bila pemerintah tetap ingin menyelenggarakan UN sebaiknya  hasilnya tidak perlu diketahui oleh murid dan sekolah tetapi  hanya dipakai sebagai bahan acuan pemerintah untuk memperbaiki kualitas sekolah-sekolah yang ada. Dengan begitu pemerintah harus selalu memperbaiki mutu sekolah-sekolah di seluruh Indonesia dan hasil akhirnya diharapkan semua sekolah mempunyai standar yang sama dan   UN  tidak lagi menjadi momok yang menakutkan seperti yang terjadi selama ini dan kita akan menikmati pemerataan pendidikan di seluruh Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun