Anak-anak sekolah di Indonesia baru saja masuk tahun ajaran baru dan baru saja menerima raport kenaikan kelas dengan angka-angka yang tertera dalam raport mereka.  Teman-teman FB saya yang sudah punya anak SD membuat status yang berhubungan dengan ranking anak-anak mereka. Ada yang menuai kegembiraan tetapi ada juga yang bilang anaknya tidak dapat rangking tetapi nilainya lumayanlah kata mereka.
Hari ini saya baru saja menerima raport catur wulan pertama anak saya yang baru kelas satu SD di Jepang. Tahun ajaran baru di Jepang mulai bulan april, sehingga bulan ini adalah akhir masa catur wulan satu sebelum memasuki liburan musim panas akhir bulan Juli sampai bulan agustus.
Saat menerima raport pun tidak perlu di ambil orangtua murid, cukup diserahkan sama siswa langsung. Bentuk raport pun sangat sederhana, hanya berupa print-print-an pada selembar kertas yang agak tebal tetapi hanya di jepit dengan plastik untuk cover jilid seperti kita menjilid sederhana.
Isinya raportnya pun bukan berisi angka-angka yang menunjukkan nilai si anak dalam mata pelajaran tetapi berupa laporan kemampuan si anak mengikuti pelajaran yang di sampaikan guru di sekolah. Penilaiannya hanya pada kata "yoku dekiru, dekiru dan gambarou" yang artinya "baik, bisa dan harus lebih semangat". Ada banyak hal yang dinilai secara verbal dalam raport anak saya, tetapi berhubung saya tidak bisa membaca kanji saya tidak bisa menjelaskannya di sini, tetapi alhamdulillah anak saya penilaiannya "yoku dekiru" semua, meski saya kadang khawatir apakah anak saya bisa mengikuti pelajaran dengan bahasa asing yang jarang kami pergunakan di rumah, karena terus-terang saya dan suami tidak bisa banyak membantu dalam pelajaran mereka karena bahasa jepang kami juga cuma terbatas.
Dalam raport verbal ini tentu saja tidak pernah akan ditemui angka merah atau angka yang menurut orang tua akan di bawah rata-rata kelas. Tentu saja ini juga hal yang baik buat mental anak bahwa apa yang mereka lakukan di sekolah tetap saja berarti dalam penilaian mereka. Kalaupun ada hasil yang masih kurang menggembrikan dalam arti anak masih harus ganmbarou, maka ini adalah tugas guru juga di sekolah. Anak dengan ganbarou ini akan diberikan tambahan pelajaran untuk mengejar ketinggalan, setelah jam sekolah. Informasi ini saya dapatkan dari teman yang anaknya kata gurunya agak kurang karena waktu ke Jepang dia sudah harus duduk di kelas 2 SD.
Penanganan anak yang kurang mampu dalam pelajaran ini selain diberikan tambahan oleh guru, sekolah juga akan memantau kegiatan yang dilakukan anak di rumah melalui "iki-iki kado" kartu kegiatan anak di rumah, di mana salah satunya adalah jam untuk menonton TV atau main game dibatasi hanya 2 jam sehari. Dan juga adanya hari-hari konseling buat anak yang orang tuanya merasa perlu konseling dengan masalah anak mereka dirumah berkaitan dengan kegiatan belajar mereka di rumah. Serta program kunjungan guru ke rumah yang akan memantau langsung apa saja yang dilakukan anak dirumah. Kapan mereka main, bagaimana mereka mengerjakan PR dan lain-lain.
Jadi penilaian yang dilakukan disekolah yang dibahasakan dalam bentuk verbal ini sudah ditunjang dengan pantauan kegiatan yang mereka lakukan juga di rumah. Kalaupun masih memerlukan pelajaran tambahan orang tua tidak perlu bersusah payah memasukkan anaknya les tambahan diluar atau bimbingan belajar atau les tambahan disekolah tetapi harus membayar sejumlah uang kepada guru atau sekolah. Oleh karena itu di Jepang tidak dikenal adanya lembaga bimbingan belajar swasta seperti yang marak di Indonesia, tetapi semua dilakukan disekolah mereka dan oleh guru mereka free alias gratis. Bahkan sabtu mingu pun kalau ada kegiatan tambahan atau ujian yang perlu dilakukan ya mereka tetap masuk kesekolah dengan seragam mereka. Hal ini yang kadang membuat saya sering bertanya mengapa sabtu minggu ada anak SMP atau SMA berseragam ke sekolah? Apa mereka tidak libur? Ketika kami tanyakan pada teman saya yang kebetulan suaminya guru SMA jawabannya adalah ada ekskul, les atau ujian tambahan. Jadi memang layaklah kalau guru di Jepang di gaji tinggi karena jam kerja mereka yang kadang melewati jam kerja pegawai biasa.  Tetapi dari wajah-wajah siswa itu sendiri tak saya temukan rasa keberatan untuk sekolah di hari sabtu atau minggu.
Mungkin metode inilah yang perlu ditiru oleh sistem pendidikan di Indonesia. Penanganan anak, gaji guru, sistem raport verbal, serta pemacuan kreativitas anak dan keingin tahuan anak, bukan sekedar pemberian materi pelajaran yang perlu dihafalkan saja.
Mungkin juga perlu membaca ini
Semoga harapan saya bisa terlaksana suatu saat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H