Mohon tunggu...
Elis Maolida
Elis Maolida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Learn to write, write to learn.

Reflect, write.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tangan di Atas [Tidak Selalu] Lebih Baik

29 Juli 2012   22:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:27 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memberi tidak selamanya baik. Kita perlu melihat dulu kapan, apa, kepada siapa, dan dalam konteks apa kita memberi. Pertama, bisa jadi pemberian yang kita anggap sebagai suatu kebaikan membawa kemdharatan baik bagi si Tangan di Atas maupun si Tangan di Bawah. Menyuap, misalnya, dalam skala kecil terlihat seperti pemberi berbaik hati menambah uang jasa bagi yang disuap.

Bahkan, keuntungan menyuap dalam jangka pendek terasa menguntungkan kedua belah pihak: pemberi diuntungkan karena proses lancar dan dipercepat, yang diberi juga merasa diuntungkan karena dapat uang tambahan. Bisa jadi si pemberi ikhlas dan si penerima senang. Namun, ketika hal itu melebur dan larut dalam keseharian kita serta dianggap ‘baik-baik saja’, ya hasilnya seperti sekarang ini, budaya suap yang merembet ke budaya korupsi sudah mengurat nadi di kehidupan negara kita. Tapi masih ada kok orang-orang yang berani menolak menjadi ‘tangan di atas dan dibawah’ dalam hal suap. Di satu kantor kecamatan di daerah Bandung Timur, secara tidak sengaja saya pernah mellihat seorang petugas yang cekatan melayani konsumen dan beliau menolak ketika ada konsumen yang akan memberikan uang, sampai-sampai si konsumen terheran-heran dengan bertanya, “Tidak pakai uang administrasi pak?”

Memberi dengan bermaksud derma pun kadang menjadi abu-abu. Teman saya, pernah merasa iba karena ada seorang anak kecil lusuh mendekati angkot untuk menjajakan cireng di satu perempatan lampu merah di Bandung, “Kak, kami bukan pengemis, mohon dibeli cirengnya,”. Akhirnya teman saya berniat membeli cirengnya, hitung-hitung membantu anak kecil tersebut. “Berapa harganya?” tanya teman saya. “Lima ribu,” jawab anak kecil itu datar. Teman saya melotot tak percaya. Cireng sekecil itu lima ribu? Tapi, karena merasa iba akhirnya teman saya merogoh lima ribu disakunya dan memberikan uang itu kepada anak kecil tersebut tanpa mengambil cirengnya. Lupa mengucapkan terima kasih, anak kecil itu pergi dan memberikan uang tadi pada seorang ibu-ibu yang tersenyum sumringah di trotoar. Dan setelah diamati, ternyata lebih dari satu anak yeng menyetor! Teman saya merasa menyesal karena ternyata uang tadi malah jatuh ke seseorang yang tega memperkerjakan anak kecil sementara dia sendiri ongkang-ongkang kaki. Dengan memberikan uang itu, “Saya jadi menyemangati ibu tadi untuk terus memeras orang-orang dengan menjual rasa iba anak-anak kecil,” ujar teman saya kesal.

Saya sendiri sering bimbang setiap ada peminta-minta yang mendekati tapi di sekitar mulut dan dibajunya dipenuhi lem yang membuat saya berasumsi bahwa uang yang saya dermakan akan digunakan untuk ngelem (Mabuk dengan menggunkana lem). Papan himbauan dari dinas sosial di perempatan jalan yang mengingatkan agar masyarakat tidak mendermakan uang pada pengemis dan anak jalanan demi kebaikan, semakin menciutkan niat saya untuk memberi. Karena saya meyakini, memberikan sesuatu untuk keburukan tidaklah membuat tangan di atas lebih baik.Apalagi, ketika potensi keburukan itu jelas-jelas terlihat oleh mata kita sendiri. Tapi, bagaimana kalau saat itu, saat mereka meminta pada kita mereka benar-benar lapar dan butuh makan?

Akhirnya saya memilih satu jalan yang bagi saya cukup menentramkan. Saya memilih untuk memberikan makanan yang baik bagi para pengemis apakah itu sekedar wafer coklat, roti, atau kue. Saya tidak perlu khawatir mereka akan menggunakan uang yang diberikan untuk hal-hal buruk atau diberikan pada orang lain yang tidak berhak. Memang, harga makanan itu lebih mahal dibandingkan dengan uang recehan yang terkadang kita berikan pada pengemis dan anak jalanan. Tapi, bagi saya, memberi makanan jauh lebih menentramkan, berharap makanan tersebut bisa menjadi pengganjal perut dan jalan kebaikan untuk saya dan mereka.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun