Buat emak-emak kayak saya, selain untuk melatih diridan meningkatkan amalan ibadah, bulan puasa juga berarti hari-hari diisi dengan hunting makanan buat berbuka. Dan itu artinya silaturahmi dengan tukang sayur dan buah frekuansinya meninggi. Nah, interaksi dengan para penjual itu selalu menyisakan cerita yang biasa saya bagi dengan suami sambil berbuka. Seperti cerita dua hari yang lalu...
Targetan saya pagi itu adalah pisang Ambon Lumut yang akan saya buat untuk kolak. Ditemani pembantu saya yang baik hati, saya mulai hunting pisang di seputar blok komplek sekitar rumah, hasilnya nihil. Tadinya saya pikir tukang pisang pada cuti jualan karena pada puasa (kebayang mikul pisang seharian sambil berpuasa, cobaan yang benar benar tiada tara).
AKhirnya saya ke komplek sebelah dan hampir saja berteriak girang melihat salah seorang Abang sayur yang selalu menyertakan pisang ambon lumut sebagai salah satu varian jualannya. “Baaaangng! Biasaaa, ada nggak?”saya berteriak dari kejauhan, khawatir si Abang penjual keburu pergi. Dia menoleh dan tersenyum lebar, “Ya,buat si Ibu mah, ada aja atuh, ini tinggal satu lagi. Pisangnya manis, matang dari pohonnya” Pas ditengok, week! Pisangnya mungil-mungil dan belum matang sempurna. Tadinya mau protes, tapi dipikir-pikir, buat apa juga protes. Wong kalau mau ya beli, kalau nggak ya batalin.Lagian bulan puasa protes protes nggak jelas kayaknya mubadzir juga, kerongkongan jadi kering, pahala berkurang hehe,,,Akhirnya saya putuskan untuk membeli karena khawatir dia adalah penjual pisang Ambon terakhir hari itu.
Ketika tawar menawar terjadi, lewatlah tukang Pisang Ambon Lumut lain yang jauh lebih tua dari Abang penjual yang pertama. Kulirik dagangannya, masih menumpuk! Sepertinya malah belum ada yang beli sama sekali. Selain itu, pisangnya cantik-cantik dan tampak matang kekuningan.
Sempat terpikir untuk membatalkan pembelian dari si Abang penjual dan beralih ke si Kakek penjual. Tapi, nggak keren juga kali, saya sudah tawar menawar yang berarti saya memberikan harapan pada Abang penjual pertama. Masa saya ngasih harapan palsu? Setelah bimbang beberapa detik, akhirnya saya jadi juga membeli pisang dari si Abang penjual pertama dan berpikir, “Ini persoalan rezeki saja, cuma beda beberapa menit juga menentukan rezeki..”
Saya mencuri pandang ke Kakek penjual yang waktu itu langsung duduk kelelahan di samping Abang penjual pertama. Duh, hati kok nggak tega yah, lihat keringatnya mengucur dan lelah yang terlihat jelas. Apa beli lagi ya dari si Kakek, hitung-hitung nolong dia biar agak ringan punggungnya? Meski sudah renta, si Kakek tetap berusaha mencari uang dengan jualan pisang, tidak mengemis. Tapi, buat apa beli pisang banyak-banyak? Lagian kan, itu urusan rezeki, cobaaa kakek penjual datang pada menit yang sama, pasti saya beli dari dia.
“Bu, kasihan ya penjual yang satunya lagi yang udah kakek-kakek itu?” ujar pembantu saya saat kami berjalan pulang. “ Iya teh, tapi gimana lagi, lha wong dia datangnya telat” ujar saya sambil menghalau rasa tidak nyaman yang menyelinap. “Biasanya banyak yang beli pisang ya bu, tapi hari ini sepi, penjual yang tadi itu kayaknya belum ada yang beli.” Pembantu saya lagi-lagi mengungkapkan kegelisahannya yang sebetulnya kegelisahan saya juga. “Iya juga sih, tapi ibu sudah sering beli karena kasihan, singkong yang dirumah aja belum diolah,” tukas saya cepat. Setelah berujar seperti itu, saya menoleh ke belakang. Ya Tuhan! Penjual yang sedang kami bicarakan tampak berjalan terbungkuk-bungkuk pelan memikul tanggungan pisang. Bagaimana ini? Ketika saya menoleh lagi sebelum belok ke rumah, si penjual pisang tadi berhenti di depan pos ronda dan duduk sambil merebahkan badannya ke dinding. Duh!
Tiba di rumah, saya terus berpikir tentang kakek penjual pisang. Tiba-tiba saya ingat ibu saya di kampung yang seorang penjual pakaian keliling. Terbayang jelas ibu saya memikul tas berisi pakaian-pakain lebaran untuk dijajakan dari rumah ke rumah. Jleb! Ada perih yang menusuk di hati. Tiba-tiba saya berpikir” Kanapa saya terlalu pelit? Padahal harga pisang sekilo tidak sampai lima ribu. Kenapa saya terlalu berpikir pendek? Padahal pisang yang berlebih bisa dibuat kolak berlebih dan kolaknya bisa dibagikan untuk tajil di mesjid atau dibagikan pada para petani yang tinggal di gubuk dekat rumah saya?”
Akhirnya sigap saya mengambil dompet. “Ibu mau kemana lagi?” tanya pembantu saya. “Mau beli pisang lagi, mudah-mudahan penjualnya masih ada di pos ronda.” Sambil berjalan saya berdoa agar saya masih bisa membeli pisang dari si Kakek Penjual. Tapi ketika sampai disana, saya harus menelan ludah karena kecewa, ternyata si kakek penjual sudah tidak ada disana. Saya kembali tercenung, kenapa untuk berbuat kebaikan kecil saja saya harus rumit mengkalkulasi dan beralasan ini itu? Ini bukan pertama kalinya saya menunda untuk berbuat baik sampai akhirnya kesempatan itu hilang. “ Ya sudahlah, mungkin memang bukan rezeki si Kakek penjual” gumam saya menghibur diri sendiri.
Di depan gerbang rumah, pembantu saya yang sedang membersihkan halaman tersenyum kecil, “Sudah pergi kakek penjualnya ya bu?”, saya hanya mengangguk pelan. “Bu, ini ada sampah kardus, dibuang saja ke bak sampah?” Saya melirik sejenak, “Ya iyalah teh,daripada menuhin halaman.” Saya masuk ke rumah dan mengolah pisang yang sudah dipotong-potong oleh pembantu saya. Tiba-tiba, ting tong! Bel berbunyi. Ternyata di depan rumah ada suami saya. Tumben, kok awal banget pulang kerjanya?
“Nggak biasanya ayah pulang awal?” tanya saya sambil membuka pintu gerbang. “ Nggak, sebetulnya ayah ditugasin ke dinas oleh sekolah, tapi di jalan ingat sesuatu. Speaker yang ayah beli kemarin salah jenisnya, jadi harus ditukar. Ayah baru ingat, kalau kardusnya kemarin ayah simpan di teras depan.“ Kardus? Kardus yang tadi saya suruh buang ke bak sampah? Saya langsung lari ke bak sampah depan. Kosong. Kok bisa? Padahal tukang angkut sampah biasanya datang hari Selasa dan Jumat. Ini hari Kamis jadi harusnya timbunan di bak sampah masih ada. Tapi ini nyata, bak sampahnya kosong melompong.
“Maaf yah, tadi bunda suruh si teteh buat buangin kardusnya. Kirain bunda ngak terpake” sesal saya. Suami saya langsung terlihat kecewa, “Sayang banget bunda, kalau kardusnya hilang, speaker itu nggak bisa ditukar, mana harganya mahal.”
“Iya, maaf, bunda yang salah. Tapi bunda juga heran, padahal belum sampai lima belas menit kardus itu dibuang, kok sudah nggak ada” ujar saya.
“Yah, lewat beberapa menit juga, namanya bukan rezeki ya bukan rezeki” suami saya bergumam.
Saya mematung beberapa saat. Bukankah itu yang saya ucapkan pada kakek penjual pisang? Dan sekarang itu terjadi pada kami. Ya Tuhan, apakah hamba termasuk yang membatalkan rezeki yang merupakan hak si Kakek penjual pisang sehingga Engkau batalkan pula rezeki suami Hamba dengan raibnya kardus pembungkus speaker dalam beberapa menit? What goes around comes around. Terimakasih Tuhan, sudah diingatkan lewat caraMu yang unik…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H