Ibu, Sekolah Pertamaku
Terlahir sebagai anak pertama dari keluarga muda yang tinggal di desa yang sepi tetapi tenteram, jauh dari keramaian, yang terdengar hanya  suara tetangga kanan kiri dan aneka burung dan hewan ternak. Desa itu terletak di dusun Ponjen yang beribukota Kabupaten Ngawi. Penduduk desa kami pada umumnya bercocok tanam dengan menanam ketela pohon, jagung, padi, kedelai bahkan ada yang menanam tembakau. Selain bercocok tanam masyarakat juga memelihara hewan ternak seperti kambing, kerbau, sapi dan unggas. Setiap panen padi ada acara 'petik' dengan tasyakuran di sawah dan setelah panen dan padi dijemur setelah kering kami mengadakan acara pukul lesung berirama, indah sekali para Ibu yang memainkan lesung berirama tersebut. Sampai sekarang masih teringat lagunya; lesung jumengglung, sru imbal-imbalan, lesung jumengglung manengkeng manungkung, kumandhang ngebaki sajroning padesan, thok, thok, thek, thok, thok, gung, thok, thok, thek, thok, thek, thok, gung.
Masih ingat ketika saya mulai bisa berbicara waktu itu ada tetangga bertanya, nanti adiknya laki-laki apa perempuan? Saya menjawab lanang (artinya laki-laki). Hanya itu kalimat yang saya ingat waktu kecil. Menurut cerita Bapak, saya lahir jam 10 pagi, lancar dalam proses persalinan yang dibantu oleh dukun bayi. Kata Bapak lagi, waktu bayi nangis terus lalu disuapi pisang dan nasi yang dilembutkan, setelah makan baru bisa tidur. Alhamdulillah semua proses tahapan-tahapan mulai tengkurap, merangkak dan berjalan sesuai dengan tahapan-tahapan yang normal yaitu setahun sudah bisa berjalan. Sehari-harinya hanya bersama Ibu karena Bapak harus ke sawah dan pulangnya siang hari lalu mandi, istirahat baru sorenya bisa menggendong saya. Ibu yang mengajari saya berjalan dan berbicara, pernah suatu hari saya mulai bisa minta minum karena kalimat saya tidak jelas ditangkap Bapak dan Ibu sampai saya menangis lalu ibu mengajariku minta minum.
Ibu yang mengajariku mandi sendiri, makan sendiri bahkan mencuci bajuku sendiri. Karena saya sudah bertambah besar waktu itu menyuruh saya menjual kelapa tetapi tidak ditukar uang, hanya minta diganti dengan gula. Jadi saya memahaminya bahwa membeli gula dengan kelapa, betapa lucunya saya waktu itu. Entah apa istilahnya, waktu itu Ibu bilang; "Neng o Bulik Yati, kambil iki aturno, maturo Bulik niki klapa lintu uwos" (Pergilah ke Bulik Yati, kelapa ini berikan, bilang Bulik ini kelapa tukar beras). Selain itu Ibu juga yang mengajariku bernyanyi, lagu kesayangan yang masih saya ingat adalah Burung Kutilang, Sarinande, Suwe Ora Jamu, Dondong Opo Salak, Gambang Suling, Si Kancil, Ibu juga mengajakku ke surau jika selesai salam pak imam mimpin doa, disuruh menengadahkan kedua tangan dan bilang Aamiin, Aamiin.
Ibu mengajariku untuk nrimo ing pandum (menerima yang telah diberikan), aja melik duweke liyan (jangan iri kepunyaan orang lain), ngajeni wong sing luwih tuwa (menghormati orang yang lebih tua), aja lali shalat (jangan lupa shalat). Ibu tidak selalu sabar, jika saya tidak mau disuruh untuk bantu ambilkan kayu bakar, beliau marah, saya tidak mau ambil kayu bakar karena letaknya di belakang dekat kandang ayam, saya takut dengan induk ayam. Ibu juga mengajariku membaca dan menulis, masih ingat cara mengajarinya; b, a, ba, c, a, ca...baca. Meskipun Ibu bukan Guru tetapi Ibu adalah Sekolah pertamaku, Guru pertamaku, ibuku selalu ceria, kesukaannya sambel bawang dan tempe atau tahu goreng tidak lupa kulup daun singkong.
Terima kasih Ibu, semoga sehat selalu....*-sundarimpd-*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H