Apa yang ada di pikiran anda melihat bocah balita bingung, menangis dan merengek memanggil “mama..mama..” di kerumunan ramai di tempat-tempat umum seperti pasar atau rumah sakit. Ya, anak hilang. Sebagai orang tua, hati anda pasti terbersit rasa kasihan kepada sang anak. Juga rasa heran kepada orang tua si anak. Bagaimana mungkin orang tuanya begitu lalai hingga sang anak lepas dari pantauan dan jangkauan orang tua?
Hal itu pula yang saya pikirkan saat melihat bocah berumur 3 tahun kebingungan, menangis dan merengek memanggil “mama..mama..” menyusuri koridor rumah sakit tempat saya bekerja. Rasa simpati muncul melihat anak itu mengingatkan kepada anak saya yang ditinggal di rumah bersama pengasuhnya. Jika anak itu anak saya, duhai kasihan sekali. Saya tengok kiri kanan, depan belakang. Tampak tak ada orang yang peduli dan sepertinya mengenal bocah cilik itu.
Saya dekati dia dan saya tanya “adik, mamanya mana?”.
“Owh..owh..”hanya itu suara yang diucapkannya.
Oh, rupanya si adik tak bisa berkata-kata dengan jelas. Mungkin karena baru belajar berkata-kata atau masih bingung dengan kondisi ini.
Akhirnya saya elus kepalanya, saya peluk dan saya gendong si adik. Saya bertekad akan membawanya ke ruang informasi. Di sana akan diumumkan telah ditemukan anak hilang yang sedang mencari ibunya dengan ciri-ciri berumur kira-kira 3 tahun, memakai kaos angry bird kuning, celana hijau. Harapan saya sang ibu atau keluarganya segera menemui si anak di ruang informasi dan membawanya pulang.
Mengantispasi barangkali waktu menunggu kelurga si adik di ruang informasi memakan waktu yang lama. Sehingga bisa membuat si adik bosan dan rewel. Saya pun membawa si adik ke kantin membeli minuman. Belum jauh kaki ini melangkah, sekonyong-konyong saya melihat ada seorang ibu seperti sedang bingung mencari-cari anaknya.
Spontan saya tanya kepada si adik “Dik, itu mamanya bukan?”
“Ehh..ehh..” lagi-lagi suara tak jelas yang saya dengar. Dari raut muka si adik nampaknya dia tak begitu peduli pada sosok ibu yang kutunjuk dari jauh.
Selesai membeli susu kemasan yang ditunjuk si adik, saya keluar masih menggendongnya. Begitu keluar kantin, sosok si ibu yang tadi saya tunjuk dari arah belakang ternyata sedang berlari menuju ke arahku dengan wajah seperti habis mendapat hadiah. Otak saya langsung berpikir cepat, jangan-jangan ini memang ibunya. Mungkin si adik tadi kurang bisa mengenalnya karena melihat dari belakang dan dari jauh.
“Anda ibunya adik ini?” tanya saya to the point.