Aku takkan pernah lupa salah satu momen penting selama tahun 2012 itu. Saat itu aku berhasil menyapih anakku, Azza tepat di usianya yang ke-2 tahun lewat 9 hari. Meskipun awalnya ia sangat rewel, namun Alhamdulillah akhirnya nurut juga ia kuputus ASInya. Semoga Azza tumbuh makin mandiri, cerdas dan sholeh. Kalau saja waktu itu Abah ( kakek Azza) tidak mengultimatum, mungkin saja Azza terus menyusu hingga usia SD. Itu yang dikatakan Emak padaku. Emak jugalah yang setengah memaksaku untuk segera menyapih Azza. Emak bilang batas akhir seorang menyusu pada ibunya adalah 2 tahun. Lewat dari itu maka ASInya sudah tidak bagus bahkan bisa menurunkan kecerdasan serta membuat anak menjadi manja dan tidak mandiri. Hal itu Emak percayai karena seperti itulah yang tertulis dalam Al Qur'an dan sebuah kitab kuning yang pernah dibacakan Abah kepada Emak. Beginilah bunyi ultimatum Abah, "Ndah, kamu kalau tidak menyapih Azza juga, besok dan seterusnya Abah gak mau nemenin Azza beradaptasi dengan pengasuh barunya. Abah cuma mau datang ke rumahmu untuk manasin mobil Abah aja!" Kepala saya langsung puyeng mendengarnya. Saya tak bisa membayangkan Azza kecil ditinggal hanya berdua dengan pengasuh baru yang baru saya terima seminggu yang lalu. Hati saya pun tak kalah perih mendengar nada marah dalam pengucapan ultimatum Abah itu. Saya semenjak menjadi orang tua jadi makin memahami psikologi seorang tua seperti Abah dan Emak. Saya langsung paham jika sapai orang tua mengeluarkan ultimatum atau marah, itu berarti saking keterlaluannya si anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H