Lalu ada beberapa lagi smsnya. Semua bernada seperti berbicara dalam keadaan galau. Terus terang saya sempat sebal. Ini orang sudah dinasehati kok masih saja galau? Kalau galau itu, jangan ngadu ke saya saja dong, ngadu juga ke Allah, biar tenang biar bisa berpikir. Itu pikiran saya saat itu.
Mungkin karena jarang ditanggapi, smsnya mulai jarang. Saat bertemu mukapun, dia tak seperti dulu selalu terbuka. Sekarang dia lebih banyak diam, dan membuat saya sedikit merasa tak enak hati karena merasa sering cuek padanya.
Baru saat saya punya kesempatan ke sebuah acara kunjungan bersama, kami sama-sama mendampingi anak masing-masing. Di situ, dalam mobil seorang teman kami kembali bercerita seperti dulu. Dan cerita itupun mengalir.
Sungguh, rasanya saya sangat bersalah. Saya bukanlah sahabat yang baik karena saat sahabat saya benar-benar memerlukan tempat untuk curhat, saya malah tak mempedulikannya. Saya menangis, menangis karena mendengar masalahnya yang rumit dan menangis karena merasa bersalah.
Ia tak dengan gamblang menceritakan sumber masalahnya. Tapi airmata di kedua pipinya, dengan kata-kata puitis penuh makna seperti sms-smsnya cukup memberitahu saya kalau ada masalah antara dirinya dengan keluarga suaminya yang sayangnya didukung oleh sang suami.
Namun, dengan cepat dia mengelus perutnya yang menginjak usia tujuh bulan februari kemarin dan senyumnya pun muncul. "Semoga kelak anak kami ini bisa mengembalikan kepercayaannya pada saya ya mba. Karena tanpa kepercayaan suami, bahkan untuk tersenyum saja seorang istri takkan sanggup."
Saya tak bisa berkata apa-apa. Karena di saat yang berbeda, seorang teman lain bilang kalau teman saya itu akan diceraikan oleh suaminya, dalam keadaan hamil.
Entah terbuat dari apa hati suaminya. Tapi saya sendiri tahu itu takkan mudah dilalui seorang perempuan yang sedang mengandung. Tak bisakah dia menunggu sampai istrinya melahirkan? Hanya karena sang Ibu Mertua tak menyukai menantu, maka istripun diceraikan.
Saya tak tahu bagaimana beritanya lagi setelah pertemuan kami terakhir itu. Saya memintanya bertawakal, tetap istiqomah dan tetap mengabari saya. Kali ini saya berjanji dalam hati, sms apapun akan saya tanggapi dengan baik.
Tapi.. dia tak pernah mengirim sms lagi selain memberitahu mengenai urusan anak saya. Hanya melalui putranya, saya tahu dia baik-baik saja. Melalui adiknya yang bekerja sebagai guru, saya tahu kalau dia pindah ke rumah ibunya. Hanya itu... sampai hari ini.
Tanpa sengaja adiknya memberitahu kalau dia sudah tiada. Ya, sahabat saya sudah tiada. Meninggal bersama bayinya karena pendarahan hebat. Ya Allah, temanku yang baik pergi...