Mohon tunggu...
Iin Ajid
Iin Ajid Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Mamanya Cindy, Reza dan Fira.... bundaiin.blogdetik.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[KCV] Di Balik Cemburu, Ada...

14 Februari 2012   00:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:41 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Penulis : Iin Ajid & Evi Yuniati (225)

Samar aku mencium aroma parfum asing yang tak biasa di kemeja kerja Mas Aldi. Aroma parfum khas wanita, lembut namun menggoda. Sudah kesekian kalinya aku mencium aroma ini. Duh, hujan yang turun di luar sana seakan tak mampu mengguyur panasnya hatiku. Rasa cemburu memenuhi rongga dada dan sulit sekali memadamkan api curiga itu, Mas Aldi pasti memiliki wanita lain.

Memang, aku tak punya banyak bukti. Tapi aroma parfum itu bukan satu-satunya, aku pernah mendapat sebuket mawar darinya namun nama yang tercantum bukanlah namaku. Setiap kali kutanya Mas Aldi selalu berhasil Pberkelit. Aku sudah berusaha memeriksa barang-barang pribadinya. Ponsel, Blackberry, dompet bahkan rekening kartu kreditnya. Semuanya bersih dan masih seperti biasa. Tapi tetap saja tak bisa mengenyahkan perasaan curiga itu.

“Kalau kangen sama Papa, ya langsung cium orangnya saja jangan bajunya dong!” goda Mas Aldi membuyarkan lamunanku dari ambang pintu.

Aku mendengus. Kumasukkan kembali pakaian kotornya dan berjalan melewati Mas Aldi tak peduli. “Memangnya Papa masih mau cium Mama? Kenapa tidak cium cewek di luar sana aja? Huh!”

Terdengar kekeh Mas Aldi masih membahana saat aku meninggalkan dapur menuju kamar. Seharusnya kalau memang dia merasa tidak melakukannya, dia pasti mengelak tapi ini malah tertawa seperti itu. Mungkinkah dugaanku ini benar? Aku menggeram. Awas dia kalau berani!!

****

Hehehehe...Makin senang aku menggoda Nia, istriku. Ternyata ide  Sari lumayan juga. Nia mulai terpancing untuk mulai curiga terhadap wangi parfum yang disemprotkan Sari ke bajuku.

"Ma, di kantor lagi ada masalah nih tentang orderan-ku yang gagal shipment. Jadi, sabtu besok pak Dirja minta tim-ku meeting di kantor."

"Yah papa... Kita kan sudah janji mau nengokin mba Raya yang baru melahirkan." Nia sudah mulai pasang wajah merajuk.

"Kita kan bisa pergi hari Minggu-nya, ma. Lagian mba Raya pasti mengerti kondisi aku."

Mba Raya itu kakak iparku yang baru saja melahirkan anak keduanya. Aku memang sudah menjanjikan pada Nia dari kemarin untuk mengunjungi mba Raya di rumah sakit sabtu besok. Tapi, demi rencana yang sudah aku susun, aku terpaksa mengorbankan janjiku pada Nia. Maafkan aku ya sayang, aku akan mengganti janji yang sudah kulanggar ini.

Dengan muka masih setengah kesal, Nia menyiapkan teh manis hangat untuk menemaniku membaca buku di ruang tengah. Memang cocok hujan-hujan begini menyeruput teh manis.

Handphone berdering. Aku mendengar bunyinya tapi, belum sempat kuangkat, Nia sudah meraih handphone-ku. Ku dengar Nia ber-halo halo tapi, sepertinya tidak ada jawaban. Aku jadi deg-degan sendiri, jangan-jangan Sari lagi yang telepon.

"Pa, tadi ada yang telepon kamu, aku halo-halo ga disahutin. Siapa sih pa?"

"Ya... Mana aku tahu. Lagian kalau memang dia butuh penting denganku, nanti juga telepon lagi. Kalo ga, ya berarti salah sambung." Aku mencoba menjawab dengan nada biasa saja. Sepertinya Nia tidak puas dengan jawabanku.

Setelah Nia berlalu, aku coba mengecek siapa yang tadi meneleponku. Benar, ternyata Sari. Untung aku tidak menyimpan nomor Sari. Fiuhhh...

Kukirimkan pesan singkat pada Sari. Ternyata, Sari hanya menanyakan kepastianku bahwa sabtu besok aku akan pergi ke travel untuk mencari informasi untuk rencanaku di hari yang spesial.

***

Lagi-lagi telepon misterius. Aku membanting sendok bekas mengaduk teh mas Aldi tadi ke bak cucian piring. Hatiku makin panas melihat tingkah mas Aldi yang semakin lama justru semakin membuatku curiga.

Aku beranjak mengambil handphoneku. Mencari nomor mbak Raya untuk membatalkan janjiku padanya. Meskipun besar keinginanku melihat keponakan baruku dan juga rindu pada kakakku itu, tapi kalau tak bersama Mas Aldi rasanya malas ke sana sendirian.

Untunglah mbak Raya mau mengerti. Dia malah mengingatkan hari ulang tahun pernikahanku yang jatuh di hari yang sama. Namun, hal itu malah membuatku berurai airmata dan kekesalan yang tadi pagi bertumpuk-tumpuk di hatiku seketika tumpah.

“Looh, Nia kenapa? Kenapa menangis?” tanya Mbak Raya bingung.

Sambil berusaha berhenti menangis, kuceritakan kecurigaanku pada Mas Aldi. Teka-teki aroma parfum, telepon misterius dan buket bunga salah nama.

“Nia, jangan berpikir negatif dulu tentang suamimu. Mungkin saja dia memang benar-benar sedang sibuk. Siapa tahu aroma parfum itu hanyalah dari para rekan kerjanya, atau telepon itu mungkin benar-benar dari orang yang salah sambung. Banyak kebetulan yang bisa menimbulkan kecurigaan. Tapi menyimpan kecurigaan tanpa alasan, bisa membuatmu benar-benar kehilangan, sayang.”

Isakanku mereda. “Lalu Nia harus gimana dong, mbak?” tanyaku bingung.

“Bertanyalah, ingat ya pakai cara baik-baik. Jangan pake acara marah duluan!” jawab Mbak Raya. “De, dulu Aldi begitu keras memperjuangkan cinta kalian. Mbak ingat betapa putus asanya dia saat kau menolak cintanya berkali-kali, tapi dia gak pernah nyerah kan? Mbak yakin Aldi gak mungkin menyia-nyiakan kamu begitu saja.”

Ketenangan begitu terasa di hatiku setelah menutup telepon. Mbak Raya benar, aku harus bicara dengan mas Aldi. Yang terburuk semua dugaanku benar, dan aku harus berusaha keras menyelamatkan pernikahanku.

Aku mencari-cari Mas Aldi di ruang tengah. Tak ada. Loh tadi kulihat dia di sana. Sayup-sayup aku mendengar suara seseorang sedang bercakap-cakap. Kulihat mas Aldi sedang berdiri di teras menelepon seseorang. Ia tak sadar aku sudah berada di belakangnya.

“Tenang saja, hari sabtu ini saya gak ada kesibukan... oh iya, Nia, dia pasti nunggu di rumah. Nggak, pasti.. pasti... pokoknya beres. Semuanya siap sabtu ini.”

Eh, bukannya tadi dia bilang mau ke kantor? Satu lagi kebohongannya padaku. Hatiku yang tadi sudah tenang, kembali memanas.

***

"Eh Mama.. Udah lama di situ?", tanyaku sambil senyum-senyum. Tanpa menjawab pertanyaanku Nia langsung balik badan meninggalkanku dengan wajah kesal.Jangan-jangan Nia sempat mendengar percakapanku dengan Sari tadi. Kususul Nia ke dalam.

Kudekati istriku dan bertanya ada apa. Nia malah menjawab sambil terisak. “Aku ga masalah kita ga jadi nengokin mba Raya asal kamu jujur sama aku.

Aku terdiam, tak tega rasanya melihat Nia seperti itu. Ini pertama kali aku berbohong padanya. Tapi kalau kuceritakan semua sekarang, takkan ada lagi kejutan untuk Nia. Maafkan aku, Nia.

“Sudah, sudah, jangan sedih begitu. Hari minggu nanti bisa menengok Mbak Raya. Masak hanya karena itu sampai menangis begitu." Aku berusaha merengkuh pundak Nia untuk memeluknya, tapi ditepiskannya tanganku.

***

Esok paginya, aku tak menemukan Nia saat bangun. Kukira ia berada di dapur atau di ruang tamu, namun aku malah menemukan selembar kertas di atas meja makan. Surat dari Nia. Dengan panik, aku membaca surat itu tergesa-gesa. Nia pergi?

Tak kusangka kejutan yang ingin kuberikan malah berbuah masalah serius seperti ini. Secepat mungkin aku menelepon Sari. “Sari, Nia pergi dari rumah!” ujarku bingung.

"Tenang Di, jangan panik gitu. Aku yakin Nia pergi ga mungkin tanpa tujuan."

"Iya, tapi kemana? Aku ga mau ada sesuatu terjadi sama Nia. Kamu tahu kan Sar, aku sayang banget sama Nia."

"Kalau kamu panik, ya ga akan ketemu jawabannya. Tarik napas dulu pelan-pelan. Coba ingat siapa orang terdekatnya?" tanya Sari

Pikiranku langsung tertuju pada Mbak Raya, kakak perempuan Nia. Saat ini dialah yang paling dekat dengan Nia. Mbak Raya masih di rumah sakit, berarti disanalah kemungkinan Nia berada.

“Sebaiknya kita terangkan saja semuanya, Di. Aku jadi tak enak sama istrimu. Aku tahu rasanya dibohongi.”

“Aku pikir juga begitu, Sar. Mm... semuanya sudah siap kan?” tanyaku memastikan. Terdengar jawaban ya dari seberang telepon dan kamipun memutuskan hubungan telepon.

Sebelum ke rumah sakit, aku mampir ke kantor travel tempat kerja Sari. Untunglah sahabat baikku itu tidak berkata apapun, dengan tergesa dibantunya aku menyelesaikan semua urusan administrasi dan tiket. Lalu sembari memberikan semuanya dalam amplop tertutup, dia berkata, “Beruntungnya Nia mendapatkan suami seperti kamu, Di. Suamiku tak seromantis kamu.

"Bagaimanapun sifat dia, kamu harus bisa menerima apa adanya Sar. Sama seperti dia bisa nerima kamu apa adanya. Trims banget ya Sar, kamu udah banyak bantu aku," ujarku sambil tersenyum ke arah Sari.

***

“Assalamualaikum!!” suara mas Aldi saat memasuki kamar mbak Raya membuatku mendongak. Senyum yang tadi kulemparkan untuk bayi kecil di box itu, langsung kuganti dengan rengutan.

“Buat apa ke sini?” Aku berusaha tak mempedulikan kehadiran mas Aldi.

“Nia! Sama suami kok kasar begitu?” bisik Mbak Raya mengingatkan. Aku diam. Baru menyadari kalau Mbak Raya ada bersama kami.

Mas Aldi tersenyum hormat pada mbak Raya. “Maafkan saya, mbak. Mungkin Nia sedang salah paham dengan saya. Bisa saya minta izin untuk bicara sebentar sama dia?”

Mbak Raya tersenyum dan mengangguk. Aku tetap berusaha tidak mempedulikan kehadiran Mas Aldi. Hatiku masih terlalu panas saat ini, bahkan rasanya tak mau aku melihat mukanya.

“Ini! Ambillah kalau istriku yang cantik ini mau tahu apa yang terjadi sebenarnya.” Mas Aldi menyodorkan secarik amplop coklat. Kulemparkan tanda tanya pada Mas Aldi. Senyumnya mengembang.

Kuambil amplop itu dengan ragu. Saat melihat isinya, hatiku terkejut tak menyangka.

“Selamat ulang tahun pernikahan, sayang. Itu hadiah untukmu. Hadiah yang kusiapkan dibantu oleh Sari. Aroma parfum, telepon misterius dan bunga salah nama itu semua adalah idenya. Walaupun masih dua hari lagi, tapi melihatmu marah seperti ini aku tak sanggup menyembunyikan lagi. Maafkan aku!”

Selama hidupku, baru kali ini aku tak bisa berkata apa-apa. Hadiah ulang tahun dari mas Aldi yang tak kusangka-sangka. Malu rasanya berpikir yang tidak-tidak padanya, sampai aku sendiri lupa memberinya kado.

“Jadi? Begitu ya cara membalas kado semahal itu, dipelototin doang! Bahkan pelukan buat suami tersayang saja tak ada?” goda Mbak Raya.

Aku tersipu malu, lalu kusongsong suamiku dan memeluknya hangat sambil berbisik. “Terima kasih, sayang. Maafkan aku karena  sudah curiga padamu.” Dan Mas Aldipun membalas pelukan hangatku dengan tawa gembira.

****

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Cinta Fiksi

Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun