Haji adalah muktamar Akbar yang dihadiri oleh jutaan manusia dari seluruh penjuru bumi. Termasuk dari Indonesia. Setidaknya, satu per mil dari penduduk Indonesia menghadiri muktamar akbar itu setiap tahunnya. Angka yang cukup fantastis dibandingkan “delegasi” dari negara-negara lain. Maka tak heran jika di setiap sudut Masjidil Haram kita menjumpai jamaah haji Indonesia.
Keberadaan jamaah haji Indonesia di Masjidil Haram dapat dikenali dengan adanya seragam nasional. Seragam itu, meski ada yang berbentuk jaket, jas, baju koko dan sebagainya, namun menggunakan warna yang sama. Biru telur asin.
Berbeda dengan beberapa tahun yang lalu. Sebelum diberlakukannya seragam haji nasional, identitas jamaah haji Indonesia bisa dibilang tidak ada. Setiap rombongan mempunyai seragam dengan corak ragam yang berbeda-beda. Tidak ada yang mencirikan ke-Indonesia-annya.
Dalam pemberlakuan seragam nasional ini, Departemen Agama mempunyai beberapa aturan antara lain tidak ada embel-embel di seragam itu kecuali emblem yang tertera nama negara dan nama propinsi tempat jamaah berasal. Untuk membuat identifikasi berdasarkan rombongan/kelompok, jamaah diperbolehkan menggunakan slayer atau sejenisnya yang terlepas dari seragam haji tersebut.
Ketika masih di tanah suci bulan Nopember kemarin, saya mendapatkan info bahwa mulai tahun 2010, seragam haji nasional yang berwarna biru telur asin akan diganti. Seragam haji yang sudah berjalan sejak musim haji 1427 H tersebut dinilai “kurang galak”. Untuk itu, ada upaya untuk mengubah seragam haji itu dengan batik.
Ada beberapa alasan mengapa batik yang menjadi usulan untuk dijadikan seragam nasional. Salah satunya karena batik merupakan warisan leluhur bangsa yang harus dilestarikan. Jika seluruh jamaah haji mengenakan batik saat di tanah suci, maka, secara tidak langsung, ke-207.000 delegasi dari Indonesia itu telah memperkenalkan batik di muktamar tahunan tersebut.
Saya menyambut baik usulan ini. Pasalnya, dengan dijadikannya batik sebagai seragam haji Indonesia, maka, trend menggunakan batik yang note bene sudah ditetapkan oleh UNESCO sebagai budaya asli Indonesia tidak lagi sekedar euforia sesaat. Setidaknya, ratusan ribu tamu-tamu Allah yang berasal dari Indonesia, tiap tahunnya turut melestarikan warisan leluhur tersebut.
Akan tetapi, ada sebuah harapan dari saya sebagai orang yang berkecimpung dalam membimbing jamaah haji, bahwa jika pemerintah menetapkan batik sebagai seragam haji Indonesia, sejatinya sudah didahului dengan perencanaan yang matang. Kalau perlu diadakan penelitian yang menyeluruh. Sehingga, keputusan tersebut betul-betul diambil berdasarkan kebutuhan, bukan berdasarkan kekuasaan.
*Tidak seperti yang kita hafal selama ini bahwa setiap ganti kepemimpinan, maka ganti juga kebijakan.*
(Saya kurang tahu apakah sudah ada yang pernah menulis tentang ini atau belum. Soalnya saya baru gabung di sini. Salam kenal tuk semua, yaaaa. ^_^)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H