Tapak jejak yang kita lalui bersama
Adalah lukisan kisah cinta yang tak berujung
Sebagaimana kita saling melepasnya
Dalam petikan gitar dan lagu Camelia
Adalah hal yang terindah bisa bersamamu dalam merangkai tali kasih yang berawal dari persahabatan. Dalam canda kita selalu bilang,” Ahhh pasti nggak ada yang mau!” Tapi denganmu adalah hal yang berbeda, mungkin Tuhan mempertemukan kemayuanmu (seharusnya kamu menjadi perempuan cocok sekali) dan ketomboyan yang aku miliki. Masih membekas dalam otak, saat bola mataku tertegun melihat jemari lentikmu mempermainkan senar gitar serta lagu-lagu yang terlalu melow buatku tapi tidak untukmu. Suaramu membisikan rasa ditelingaku, seakan aku merasakan tebaran cinta. “Plakkk,” menyadarkan diriku sendiri.
Kebersamaan itu tercipta lewat senar gitarmu, membuat kita menjadi lebih dekat dengan ruang lingkup persahabatan. Hari-hati pun tak terlewatkan begitu saja kebersamaan itu mengikat kita pada rantai yang semakin kuat. Petikan gitar terus terdengar di setiap ruang-ruang hampa dan menjadikannya penuh kebahagiaan. Bersamamu adalah indah, keindahan yang terpancar pada sorotan matamu nan sayu. Dalam kata kau bilang aku Camellia kecilmu yang selalu setia menemani dalam setiap petikan gitar dan lantunan lagu kesayangan.
Hari ini kita sama-sama menghabiskan waktu kita duduk di atas sampan menyeberangi sungai Musi. Ada rasa takut menyelinap diam-diam dalam pori kulit hingga menyentuh jantung. Namun kau mampu menenangkan dengan lagu-lagumu. Satu ketukan nada, satu tatapan yang selalu membuat aku tak mampu berkata. Andai kau kekasihku mungkin aku telah berbaring dipangkuanmu menikmati sang bayu dan menunggu senja menawarkan jingganya. Ahhh… rasa itu terlalu berlebihan aku harus mampu mengikatnya karena ku tahu, bukan orang yang tepat menjadi kekasihmu.
Setahun sudah perjalanan kita menjalin tali persahabatan. Merangkainya menjadi indah dan membuatnya menjadi sebuah cerita. Saat Klimatologi, ya saat itu penuh dengan cahaya purnama, bintang pun tak ingin merasa terkalahkan, menari-nari di hamparan awan nan berarak. Petikan gitarmu membuatku terkesima padahal tiap hari aku menyaksikannya dan setiap saat pula mata ini tak dapat terlepas dalam lentik jemarimu. Saat malam menjelma sosok matamu tak terlepas dari menatapku. Andai bukan malam mungkin kau akan melihat merona pipi cabyku. Ternyata malam telah berpihak padaku tapi tidak pagi ini. Saat kau menarik tangan dan mengajak aku duduk di taman belakang. Ingin mulutku berteriak tapi tenggorokanku tercekal pada tatapanmu yang semakin membuat aku ingin bersamamu selalu.
Duduk berdua denganmu di taman Klimatologi, ada yang aneh saat aku duduk disampingmu, entah apa itu. Apakah ini yang di namakan cinta? Ah tak mungkin persahabatan yang kita jalin selama ini tak mungkin rasanya ternodai dengan kata cinta. Sembari membainkan jemari, aku mencoba menentramkan hati. Tak ingin menjadikan semua ini ketidakberdayaan akan ungkapan yang belum pasti. Kau memegang jemariku, sembari menatap, penuh dengan ketidaksanggupan untuk mengungkapkan semua itu. Tapi aku melihat jauh dalam matamu penuh cinta untukku. Ya Allah jangan kau jadikan aku dalam ketiadayaan di depan orang yang diam-diam aku cintai. Katamu meluncur dengan manis, ungkapan begitu terbuyai, rangkulan tanganmu dipundakku membuat semakin tak berdaya.
Tanpa ungkapan kata cinta, kita menjalani hubungan kita, penuh dengan keceriaan. Menghabiskan senja berdua di pinggiran sungai Musi. Mengukir nama kita di setiap pohon dan ranting, tak ubahnya lagu Camelia yang selalu kita nyanyikan bersama. Di saat cintaku begitu memasuki pori-pori relung kalbu, kenapa? Dan kenapa? Kau dustai kesetiaanku! Apa salahku padamu pujangga. Salahkah aku bila selalu menjaga hubungan kita dengan baik dan pikiran yang baik pula? Di ruang itu aku menyaksikan segalanya, mataku tak sanggup melihat kedustaanmu, inikah yang kau katakana cinta? Apa arti kita ukir nama kita? Pertanyaan yang tak pernah kau jawab karena aku memilih untuk mengakhirinya dan meninggalkan cinta kita.
Sakit, tak ada yang tak merasa sakit akan perpisahan ini, tapi dalam diamku, aku berusaha untuk selalu membesarkan hati akan apa yang aku pilih adalah hal yang terbaik.
Perpisahan itu membuat kita saling menjauh dan tak sekali pun bertemu walau kita dalam satu atap yang sama. Belasan tahun pertemuan itu kembali terkuak, perjumpaan kita di reuni, menjadikan kita saling menyapa. Pujanggaku biarkan kau tetap dengan gitarmu dan aku tetap dengan lagu Camelia. Adakah rasa rindu itu kembali menyeruak kedalam hatimu? Tersekat pada satu tabir yang tak dapat kita pungkiri. Sebuah kenyataan bahwa kita tak pernah akan bersama. Membiarkannya menjadi kenangan adalah hal yang terindah seperti sapamu malam itu. “Selamat tidur Camelia kecilku, mimpi indahlah,” dan “Selamat malam pujanggaku.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H