Sepanjang Sungai Musi
Sepanjang sungai Musi
Menyeruak aroma cinta
Yang perlahan membelai
Menghempas dan terhempas
Kesetiaan akan sebuah persahabatan pun merupakan alasanku untuk pergi dari tanah kelahiran. Perihnya perjalanan cinta membuat aku bertekat untuk berlalu dari segala yang pernah bersama melewati jingga kala sore tiba. Melukai diri sendiri, ya melukai diri sendiri demi sahabat, karena kasih sayang dan cinta ini tak bisa kusandarkan di pundak mereka yang selama ini menjadi sahabat sedari kecil.
Seribu alasan membuat aku meninggalkan semua kenangan yang terindah dan menyakitkan di kota kecil ini. Berharap di kota yang baru aku mendapatkan apa yang aku cari dan aku inginkan selama ini. Mengejar cita dan cinta yang sempat kutinggalkan. Cinta pertama, yah... cinta pertama saat aku mengenal kata cinta walau tanpa isyarat. Semua memberikan arti dari segala petualanganku selama ini.
Aroma Sungai Musi menusuk hidung. Menandakan perjalanan kaki kali ini terhenti di pelataran sungai Musi. Berharap ada cinta yang kutemukan. Menghilangkan lara di hati dan kegalauan atas apa yang terjadi di masa lalu. Keinginan untuk menanggalkan predikat play girl yang tersandang di pundak sejak duduk di bangku SMP. Jujur, semua hanya kesenangan semata dan sebagai bahan taruhan antara sahabat hanya dengan semangkok bakso, yahh semangkok bakso, begitu murahnya menahlukkan hati laki-laki. Tapi ini hanya permainan anak-anak yang beranjak dewasa yang masih mencari jati dirinya. Terkadang mengenangnya memberikan arti bahkan mampu mengulas senyum.
Membuangnya di pelataran sungai Musi, berharap apa yang melekat di masa lalu tak berulang lagi. Mengejar dan menemukan cinta seutuhnya. Berharap ini adalah pilihan terakhir dari langkah yang telah diayunkan menjauh dari masa lalu.
Apa yang menjadi impian ternyata tak sesuai dengan mimpi dan harapan. Cintaku pun berlalu, beranjak menjauh dan akhirnya menghilang. Mengubur keinginan dan impian, melupakan bahwa dia pernah ada. Rasa perih ketika ia berlalu telah mengubah keinginan untuk tetap berada pada lingkaran cinta yang seutuhnya.
Siang ini, untuk terakhirnya mataku menatapmu. Pergi mengejar impianmu melebihi besar impian yang pernah terucap dari bibirmu. Mengikhlaskan segalanya demi masa depanmu, walau terasa perih.
Membuka Lembaran Baru Dan Menutupinya Kembali
Tanpamu, aku mencoba menapakan kaki di kota ini, sendiri ada rasa yang tak mampu diungkapkan kala kesendirian menyelinap di pori-pori. Tiada sandaran hati. Ahhh, keluhan panjang terus keluar dari rongga,, tak mungkin bertahan seperti ini terus. Impianku bukan hanya satu, beribu impian yang kubawa ke kota Musi ini. Bangkit kembali memenuhi rongga-rongga dengan mimpi-mimpi akan masa depan.
Memantapkan hati, kembali menjadi gadis tomboy, berlagak kuat, enjoy dengan semua keadaan, tanpa mengeluh. Satu tujuan menahlukkan Kampus Biru untuk mencapai cita-cita. Sendiri itu tak mengenakan tapi tetap dijalani apapun itu.
Di Kampus Biru aku mengenal dua orang yang begitu baik dan menemani kesendirianku. Akhirnya mereka menjadi sahabat di kampus biru pertama kali. Warna baru dari persahabatan ini memberikan aroma semangat dalam meniti asa yang tertinggal. Persahabatan ini begitu indah, seperti aku duduk di bangku SMP dulu, satu perempuan dua laki-laki. Persahabatan yang berulang serta aroma cinta pun berulang.
Tiada hari yang tak kita lewati bersama, bernyanyi bersama diiring petikan gitar si jemari lentik, bersampan menyeberangi sungai Musi. Semua kebersamaan mampu melupakan lara di hati sejak kepergianmu. Hari penuh dengan tawa dan canda, hingga mampu melewatkan duka. Kehidupan baru saja di mulai tanpamu, bersama sahabat-sahabat menapakan kaki berjejak serta meujudkan segala impian.
Setahun sudah berlalu kepergianmu, khabar pun tak kudengar. Lupakah engkau dengan diriku? Entalah aku sendiri tak mengerti. Hingga rona cinta membelai kesendirian selama ini. Persahabatan selama ini memercikkan kata cinta dan rindu. Tapi tak mungkin aku menjalani semua ini, Ahhhhh, kisah masa SMP berulang, masa yang aku tinggalkan karena persahabatan. Meredam rasa cinta demi sebuah persahabatan. Dan sekarang berulang, haruskah aku meredamnya kembali demi sebuah persahabatan atau sebaliknya.
Meredam! Berapa lama aku harus meredamnya? Semakin meredamnya semakin menyiksa hati. Ternyata tak bertepuk sebelah tangan, diam-diam dia pun menyukai dan mencintaiku. Akankah cinta ini berujud atau sebaliknya? Tanya itu terus menghantui, hingga akhirnya tanya pun berjawab.
Saat itu dia ungkapkan rasa yang terpendam selama ini,
“Maukah menjadi kekasihku,”
Kaget bercampur bahagia, apa yang mesti kujawab. Terimakah atau bilang tidak demi sebuah persahabatan. Rasa ini tak mampu terhapuskan. Tanpa terjawab dalam diam ku membiarkanmu merangkul hingga memberikan kecupan sayang. Kebersamaan itu telah mengubah aroma dalam persahabat dan mengubahnya menjadi cinta. Tak mampu mengelak bahwa hati ini pun menginginkannya sebagai sahabat sekaligus pacar. Temaram senja dan jingganya telah menjawab sebuah kebersamaan yang diinginkan bersama. Andai rembulan menyinari kita saat itu, mungkin dia akan melihat rona merah dari pipi ini saat semua menyapa.
Hari bertambah indah, tiada yang terlewatkan. Walau kita berdua pacaran saat itu, sahabat satunya selalu setia bersama. Menemani perjalanan cinta kita. Bahkan memberikan warna baru dalam nuansa persahabatan.
Dalam rongga jiwa, kuberharap ini adalah cinta terakhirku. Tempat sandaran hati serta jiwaku di kala lelah. Harapan tinggalah harapan. Perjumpaan dan kebersamaan mulai berkurang. Tersita waktu atau hanya pura-pura menyibukan diri, entahlah aku sendiri tak memahami bukankah hubungan ini baru sejenak. Lebih baik mengenang kebersamaan, saat kita mengayuh sampan dan duduk di pelatana sungai Musi sembari mengukir nama kita berdua. Ada rasa takut saat berada di tengah sungai Musi namun rasa itu sekejap terhilangkan saat tatapan sayu dan nyanyianmu mampu menyentuh jiwa.
Aku ingin setia, menanggalkan semua pridikat dan masa lalu. Tapi ini ujian dan karma bagiku. Kesalahan masa lalu dibayar dengan masa sekarang. Mencoba untuk memahami dari segala alur yang kita jalani. Aku rindu saat kita masih bersahabat, kita bisa bebas memahat segala apa yang kita inginkan, bahkan berjalan bergandengan pun membuat kita tak risih. Persahabatan itu indah, memberikan aroma kehidupan yang membangkitkan semangat untuk meraih.
Sayang semua berubah, malu untuk bersama lebih lekat. Aku kehilangan kebersamaan itu, kehilangan tawa dan canda yang ringan tanpa beban. Kehilangan pujangga di setiap petikan gitar serta nyanyian merdu. Haruskah ini berakhir? Sejenak yah baru sejenak. Langkah kebersamaan ini. Pertahankan walau terasa hambar! Memedam rasa walau ingin bersama!
Aku ingin marah! Tapi tak mampu karena kutahu ini sebuah kesalahan masa lalu yang pernah kulakukan. Begini rasanya dikecewakan, dilukai dan dianggap tak ada. Lama kuterdiam, merenungi apa yang telah terjadi. Berusaha untuk menerima sikap kekakuan ini. Namun apa yang aku lihat di ruang Mapala, membuat rasa kecewa yang teramat dalam. Di saat aku benar-benar ingin menyayangi dan mencintai sepenuh hati.
Setelah hati ini tenang dan mengikhlaskan bahwa ini adalah hukum karma bagiku, aku ingin mengajak dia untuk bicara berdua. Di taman Fakultas Hukum, aku menunggu kehadirannya. Ya Allah berikan kekuatan bagiku untuk bicara padanya tanpa mengeluarkan setitik pun air mata.
Sayup ku dengar panggilan
“Camelia”
Aku menoleh, ternyata dia. Terdiam tanpa bicara, kita berdua asik memainkan jemari. Mencoba membuka obrolan, namun terkesan kaku. Kemana keceriaan? Tawa dan canda kita dahulu?. Ahh, aku rindu nyanyian kita berdua. Tapi aku tak ingin semua ini berlarut, mungkin aku wanita yang tak pantas untuk menjadi pendamping dan semua ini harus kuakhiri.
“Maafkan Camelia, tak mungkin rasanya kita melanjutkan semua ini. Semua ini akan menyakitkan hati kita berdua. Lebih baik kita seperti dulu bersahabat, toh menjadi sahabat kita tak punya beban dan rasa cemburu.”
Dia hanya terdiam. Kutunggu dia menjawab semua dengan menahan genangan air mata. Tak ingin menangis dihadapannya bukankah aku wanita yang kuat, tegar dan tak cengeng. Masa sih wanita yang di gelar tomboy bisa menangis!
Suara itu terlaruh pelan, tak terdengar namun sayup-sayup ku memahaminya
“Baiklah Camelia kalau itu pintamu, untuk mengakhiri semua ini. Aku menerima semuanya. Yah lebih baik kita bersahabat seperti dulu.”
Balik aku yang terdiam, secepat itukah dia menjawabnya, padahal aku berharap kau berkata lain dan aku ingin dia mengatakan.
“Camelia, maafkan aku, aku akan memperbaiki semua ini, tak ingin membuatmu terluka lagi, beri kesempatan sekali lagi untuk kesungguhan hatiku.”
Harapan hanya tinggal harapan, jabat tangan ini pertanda semua telah berakhir. Aku berjalan membelakangi dia, begitu pula sebaliknya. Dan itu hari terakhir kita bersama. Merajut asa yang tak mampu terajut. Terpurukkah aku? Aku terpuruk tanpa dia namun aku berusaha untuk menjalani semua ini walau terasa hampa.
Menghabiskan waktu dipelataran masjid membuat aku kembali tersadar, lama aku tak kerumah ini. Keindahan dunia telah melupakan rumah yang penuh kedamaian. Di sini kupecahkan tangis, meminta sebuah kekuatan dan keikhlasan akan segala rasa ini.. Hingga seseorang menepuk pundaku dan berkata
“Lepaskan semua rasa, agar kekosongan hatimu menjadikanmu sebuah keikhlasan, ambil sebuah hikma dibalik semua ini. Bangkitlah masih ada hari untuk hal yang lebih berguna.”
Sejak saat itu aku rutin ke rumah yang penuh kedamain dan sejuk untuk menenangkan diri. Tanpa terasa kesendirian itu pun telah berlalu cukup lama. Hingga akhirnya seseorang kembali hadir dan menawarkan kedahagaan dan janji yang pernah terucap untuk ia tepati kembali. Ya Allah ini jawab dari lelahku, Kau berikan aku jodoh yang terbaik bagiku dan Kau pun mempertemukan kembali pada cinta yang sempat berlalu.
Hingga akhirnya aku memberanikan diri untuk mengubah segala yang pernah melat dalam diriku, meninggalkan semua pakaian yang hanya membawa dosa. Aku berhijab setelah masa jahiliyah telah memenuhi ruang. Walau cemoohan tak lepas namun ini niat hati dari tahajut malamku. Sejak perpisahan itu bahkan ketika aku memutuskan untuk menikah aku tak pernah bertemu dengan dia lagi.
Sepanjang sungai Musi, aroma cinta, duka dan lara masih terus menusuk hidung. Tak akan terlupakan di pelataran sungai Musi ku mengenal cinta dan kesungguhan hati dan di sana pula kumerasakan rasa sakit ditinggal dan dikhianati dan di pelataran itu pula kumenemukan labuhan hati, sandaran jiwa. Sungai Musi saksi bisu perjalanan tertapak dan berbaur menjadi pusaran yang suatu saat akan tertumpahkan.
Kubuat kisa ini, agar dia mengingat bahwa ada seseorang yang pernah menyayanginya dengan setulus hati, tapi bukan untuk memaksa untuk termiliki. Semoga dia pun mendapatkan pendamping yang lebih baik dari diriku...
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H