Mohon tunggu...
Israwaty Samad
Israwaty Samad Mohon Tunggu... -

Perempuan yang menyukai hujan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

"Rumah Putih, Antologi Puisi Serumah" Buku Sastra Terunik 2014?

18 Februari 2014   14:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:43 834
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buku antologi puisi “Rumah Putih, Antologi Puisi Serumah” masih disebut-sebut oleh beberapa kalangan di Indonesia sebagai buku antologi puisi terunik di dunia atau buku sastra terunik 2014.  Kami: saya dengan suami, empat adik perempuan, seorang kemenakan dan ayah kami sebagai tujuh penulis buku itu tentunya sangat berterimakasih jika ada anggapan seperti itu. Kami hargai sebagai bentuk apresiasi sekaligus “beban” bagi kami. Alhamdulillah, buku Rumah Putih menuai banyak rasa penasaran sekaligus peningkatan penjualan (terutama melalui pemesanan online) pasca launching di Makassar, 15 Desember 2014 dan Bedah Buku di Fajar Graha Pena Makassar, 12 Januari 2014 yang menghadirkan maestro puisi nasional sebagai pembedah: Zawawi Imron.

Salah seorang di antara mereka yang mengatakan hal yang sama adalah Muhammad Aldy Jabir, seorang pelajar dan penikmat kerja-kerja seni yang bermukim di Maros. Ulasannya di Harian Fajar Makassar, Rubrik Budaya, Apresiasi Sastra dimuat pada edisi Ahad 16 Februari 2014. Berikut tulisannya dalam bentuk resensi.

“Rumah Putih, Antologi Puisi Terunik Di Dunia”

Oleh: Muhammad Aldy Jabir

Judul buku: Rumah Putih, Antologi Puisi Serumah

Penulis: Israwaty Samad (Bunda Ibonk), Fatimah, Sri Ulfanita, Nila Karmilawati, Nurlaisa Kamislisyai, Abdul Samad Rauf, dan Ivan Kavalera (Alfian Nawawi) Penerbit: Ombak Yogyakarta Tebal: xii+166 hlm.;14x21 cm

ISBN: 978-602-258-118-5

Tahun Terbit: 2013 (Cetakan Pertama)

Pada hari ini di dataran ide, inilah yang “tergila” sepanjang sejarah sastra Indonesia bahkan dunia. Tujuh orang penulis dari satu keluarga dan serumah di Bulukumba bersepakat mengabadikan puluhan karyanya ke dalam satu buku antologi puisi.

Sebuah hal unik lantaran di tempat lain di seantero dunia, biasanya antologi puisi ditulis secara kolektif oleh suatu komunitas ataupun lembaga seni. Hal penting lainnya yang menjadikannya patut dicatat sebagai buku sastra yang fenomenal adalah bahwa terdapat tiga generasi penulis Rumah Putih. Dimulai dari sang ayah, empat orang putri, seorang cucu, dan seorang menantu.

Israwaty Samad, Fatimah, dan Nila Karmilawati rupanya mewakili generasi sajak romantis. Yang menjadikannya berbeda dengan puisi cinta kebanyakan adalah terletak pada metafora-metafora yang dijejalkan secara dinamis. Itupun ternyata tidak luput menekankan unsur “bunyi” yang jamak dalam dunia puisi. Namun setiap lekuknya dipenuhi misteri dan kerap mendebarkan.

Secara keseluruhan puisi-puisi ketiganya terbungkus gairah cinta anak muda dan harmoni keluarga. Israwaty Samad misalnya, kita temukan salah satu gairah diksi dalam “Bersenggama Dengan Ikhlas”: ”….bagaimana cara bercakap dengan purnama/pagi-pagi kau mendampingi lagi dengan senyum/sarapan bagi lelaki dari perempuan.” Bagaimana Fatimah misalnya menjelaskan seperti apa keluarganya dalam sajak berjudul “Rumah Putih Adalah”: Rumah putih adalah kita yang bepergian/dan bermukim dalam cinta/Jendela, angin sore, lumut hijau dan bebungaan/itu bukan bait terakhir/Kita di pintunya selalu membuka pagi/dan berhamburan/sambil minum teh/menyeruput segala awal mula puisi.

Sajak-sajak berbau Islami diusung secara dominan oleh Sri Ulfanita. Konsistensi puisi-puisinya menggambarkan bahwa dia sungguh datang dari haluan religi dan aroma alam. Dua tema khas ini yang tampaknya memang banyak dipilih oleh para penyair muda sejak penghujung 1990-an. Gayanya sedikit berbeda, tapi tetap cair dan renyah. Dia telah berhasil menemukan kekuatan pada unsur-unsur repetisi dan retoris.

Terdapat dua sosok unik dalam Rumah Putih. Pada bagian ini kita diajak mengembara kembali ke masa-masa emas puisi jenis “pantun”dalam dunia sastra Indonesia dan puisi polos kanak-kanak. Abdul Samad Rauf mewakili generasi ini. Syair-syair dan pantun-pantunnya berhasil menggelitik ruang kenangan kita terhadap jenis puisi lama Indonesia.

Nyatanya, pantun dan syair memang masih sangat digemari oleh banyak orang sampai kini. Sosok unik kedua adalah anak perempuan berbakat bernama Nurlaisa Kamislisyai alias Chaca. Puisi-puisinya meruapkan kekaguman dan harapan, betapa Indonesia layak terinspirasi oleh seorang bocah perempuan yang sudah menulis puisi pada umur empat tahun. Eksplorasi keduanya terhadap Tuhan, alam dan kehidupan tertuang jelas secara sederhana namun dengan elaborasi yang begitu mendalam.

Bab yang memuat rentetan sajak-sajak Ivan Kavalera akhirnya memperkuat kesimpulan bahwa “Rumah Putih, Antologi Puisi Serumah” merupakan buku sastra yang layak mengisi koleksi buku-buku keluarga Indonesia.

Dari sisi metaforis, Ivan nampaknya berhasil menemukan cara ungkap yang manis. Sekilas puisi-puisinya agak rumit namun menantang untuk selalu mendalami lebih jauh sumur imajinasinya. Beberapa puisinya yang bergaya prosaikmerupakan salah satu keberanian tersendiri menantang arus puisi pada umumnya. Cinta, sketsa sosial dan aroma kampung halaman menjadi kekuatan tematiknya yang dibungkus dalam diksi-diksi tak terduga.

Buku kumpulan sajak tujuh penulis dari Bulukumba “Kota Seribu Penyair” ini juga berupaya memperlihatkan kepada pembacanya bagaimana hubungan-hubungan antar manusia itu bertumbuh dan berkembang dalam sebuah keluarga. Gambaran jelasnya dapat ditemui pada beberapa puisi yang sengaja ditulis buat sesama anggota keluarga lainnya. Semisal Fatimah dalam “Sekerat Sajak Ulangtahun” buat Papi Asmar (Abdul Samad Rauf), Sri Ulfanita dalam “Sepotong Puisi Untuk Penjaga Mawar” buat Kak Ivan Kavalera, dan Ivan Kavalera sendiri dalam “Chaca Kembali Ultah” buat Nurlaisa Kamislisyai.

Terlepas dari tipografi seluruh puisi yang cukup aneh-sengaja badan puisi dibentuk seragam-akan terpampang betapa makna-makna selalu berjalan berdampingan dengan misterinya, hubungan harmonis yang timbal balik dalam sebuah keluarga, cinta dan kehidupan yang ajaib. Partikel-partikel penting itu telah tertanam dalam-dalam di Rumah Putih. Kita bisa menjenguk semua itu melalui buku ini, antologi puisi terunik di dunia. (*)

(Muhammad Aldy Jabir, seorang pelajar dan penikmat kerja-kerja seni, bermukim di Maros Sulawesi Selatan.)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun