Amplop...sebuah benda kecil terbuat dr kertas yg banyak manfaatnya. Ada yg polos putih, polos warna, ada juga yg bermotif atau tekstur. Ukurannya pun bermacam2 mulai dr ukuran besar sampai yg kecil imut yg biasa dipakai utk tempat 'angpao'.
Amplop yg terkait dgn angpao ini pun bervariasi. Ada angpao yg diberikan pada saat hari raya keagamaan misalnya ldul Fitri atau Imlek, biasanya dr orang tua kepada anak2 saudara yg masih kecil atau blm memiliki penghasilan sendiri. Ada pula angpao resmi misalnya THR dari perusahaan kepada karyawan.
Namun ada juga lhoo..angpao non resmi..dan ini ternyata bentuknya bermacam-macam.
Sdh menjadi rahasia umum ketika seseorang membutuhkan pelayanan yg cepat di suatu instansi harus menyelipkan amplop di bawah tangan sebagai pelicin. Atau ada juga yg terang-terangan memberikan amplop sebagai tanda terima kasih karena 'jasa' yg diberikan seseorang dalam pekerjaannya. Misalnya dalam pengurusan administrasi kepegawaian, kenaikan pangkat dan sebagainya. Hal seperti ini dianggap wajar.
Yg saya temui di lapangan lebih parah lagi. Ini terjadi di dunia pendidikan. Bahwa setiap ada utusan dari instansi yg lbh tinggi melakukan kunjungan ke sekolah2 misalnya, mk biasanya sekolah tsb menyelipkan amplop sebagai bekal ketika pulang. Dan ini kembali lg dianggap sebagai kewajaran... dgn alasan toh sekolah2 ini mendapat bantuan dr instansi mereka.
Nah....sbtulnya bgmna hukumnya dgn amplop2 itu sendiri? Saya teringat sebuah kisah di jaman Rasul Muhammad SAW. Rasul SAW mengangkat salah seorang dari suku Azad sebagai petugas yang mengambil zakat Bani Sulaim. Orang memanggilnya dengan 'Ibnul Lutbiah. Ketika datang, Rasul SAW mengaudit hasil zakat yang dikumpulkannya.
Orang tersebut berkata,"Ini harta kalian, dan ini hadiah,"
Kemudian Rasulullah SAW berkata kepadanya: "Kalau engkau benar, mengapa engkau tidak duduk saja di rumah ayah atau ibumu, sampai hadiah itu mendatangimu?"
Lalu beliau berkhutbah, memanjatkan pujian kepada Allah azza wa jalla , Lalu beliau bersabda : "Aku telah tugaskan seseorang dari kalian sebuah pekerjaan yang Allah azza wa Jalla telah pertanggungjawakan kepadaku, Lalu ia datang dan berkata "yang ini harta kalian, sedangkan yang ini hadiah untukku". Jika dia benar, mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya, kalau benar hadiah itu mendatanginya. Demi Allah , tidak boleh salah seorang kalian mengambilnya tanpa hak, kecuali dia bertemu dengan Allah dengan membawa unta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik," lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya hingga nampak ketiaknya, dan berkata: "Ya Allah, telah aku sampaikan," (rawi berkata),"Aku Lihat langsung dengan kedua mataku, dan aku dengar dengan kedua telingaku." [HR Bukhari dan Muslim)
Dari kisah ini bisa kita ambil pelajaran bahwa seseorang yg menerima 'hadiah' karena pekerjaan yg sdh menjadi tanggung jawabnya hukumnya terlarang. Krn hadiah itu tdk mungkin diberikan kalau seseorang tdk melakukan pekerjaan tsb.
Namun kembali lagi karena hal tsb sudah dianggap kewajaran, maka orang yg menolak utk menerimanya justru dianggap aneh.