Gegap gempita, salah satu pesta demokrasi di negeri ini telah usai, pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, menyisakan peresmian pengumuman oleh KPUD sebagai empu penyelenggaran pemilu pilkada tersebut.
Walaupun hasil resminya belum diumumkan, tapi sudah bisa diketahui pemenangnya berdasarkan perhitungan cepat (quick count) yang di adakan tepat setelah penghitungan suara di TPS-TPS.
Bagi saya, siapa pun pemenang pilkada tersebut, itu adalah kenyataan yang harus kita terima. Saya bukan pendukung Jokowi-Ahok, sebagaimana saya pun bukan pendukung Foke-Nara. Yang pertama karena saya bukan warga DKI Jakarta, yang kedua karena menurut saya, kedua pasangan tersebut sama-sama ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Jadi saya tidak memilih keduanya.
Ada beberapa hal yang menjadi catatan saya dari proses pilkada DKI itu.
1. Menurut saya sebetulnya Jokowi bukanlah sosok pemimpin luar biasa. Tapiii, karena di negeri ini sosok pemimpin seperti Jokowi sangat jarang, kalau boleh dikatakan hampir tidak ada (atau saya saja ya yang belum nemu :D), maka sosoknya itu kelihatan fenomenal bagi banyak orang. Prestasi besarnya antara lain adalah relokasi pasar-pasar tradisional yang jauh dari hingar bingar kerusuhan karena pendekatannya yang humanis. Nanti setelah resmi menjadi Gubernur DKI Jakarta, ia pun dituntut untuk menunjukkan kerja nyatanya sesuai janji-janji yang diucapkan pada kampanye yang lalu.
Masyarakat negeri ini lebih butuh bukti konkret. Kerja nyata yang hasilnya bisa dirasakan oleh masyaraat luas. Sebagai pejabat publik dan mempunyai posisi decision maker, Jokowi-Ahok bertanggung jawab untuk membuktikan ucapan dan janji-janji kampanyenya .
2. Kita sebagai masyarakat punya hak dan kewajiban untuk mengawasi jalannya pemerintahan di negeri ini. Karena baik buruknya suatu bangsa bukan sekadar tergantung siapa pemimpinnya, tapi lebih utama adalah yang dipimpinnya. Kita dituntut untuk proaktif untuk kemajuan bersama.
3. Pendukung Foke-Nara, bisa mengambil posisi sebagai oposisi yang kritis terhadap kebijakan yang diambil oleh Jokowi-Ahok nantinya. Tentu saja, oposisi dalam arti yang positif dan membangun. Karena sejatinya oposisi itu harusnya adalah mitra yang sedang berkuasa. Oposisi yang baik akan membuat penguasa selalu berhati-hati dalam bertindak dan mengeluarkan kebijakan.
Pilkada DKI Jakarta sudah berakhir, tapi bukan berarti langkah kita pun berhenti sampai di titik ini. Banyak pekerjaan besar menanti di hadapan. Gubernur boleh berganti, tapi kita akan selalu bersemangat untuk memberikan karya terbaik kita. Bukan karena gubernur atau siapapun, tapi memang karena itulah tugas masing-masing kita, apapun posisi kita.
Semoga Gubernur yang baru terpilih bisa menjadi pemimpin yang amanah, bisa memberikan bukti bahwa ia adalah sosok yang memang layak untuk dipilih oleh warga Jakarta, bisa menjadi pemimpin yang bersih dari segala bentuk KKN, Aamiin Yaa Rabbal ‘Alamiin..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H