Anker sejati? Ya, kalau mau dibilang anker, ya saya salah satu rombongan anker, anak kereta. Sebutan kaum urban di era 90-2000an awal yang hobi dan cinta mati sama kereta sebagai sarana transportasi harian menuju tempat kerja, berdagang, sekolah, kuliah, belanja, dsb. Rutin naik tiap pagi dan sore, bahkan saat weekend bersama keluarga.
Pada era itu, commuter line Jabodetabek belum lah senyaman 10 tahun terakhir yang bersih, sejuk, dan terkadang wangi.
Cerita Commuter di Era 90an
Kereta commuter jabodetabek di era 90an, masih KRD dengan lokomotif di bagian kepala depannya. Pintunya sering tidak dapat ditutup dengan benar, jendelanya terbuka lebar dan banyak yang retak, penyejuk ruangan sering tak berfungsi.
Banyak pedagang kaki lima mondar mandir dalam gerbong yang padat penumpang, menjajakan dagangan, buah, sayur, nasi, kue-kue, gorengan, hingga aneka asesoris. Kadang penumpang berbaur dengan aneka ternak, ayam, bebek, kambing 😂.
Hoo, tapi jangan salah, bagi pecintanya, saya 🖐️, kereta KRD jalur Tanahabang - Rangkas/Merak merupakan moda transportasi andalan menuju pusat kota. Bagi kami yang tinggal di wilayah sub urban, penyangga ibukota, ga masalah berdesak-desakan, bersimbah keringat, mencium berbagai aroma "syedap", dan kadang sulit menjejakkan kaki 😂.
Bahkan di jaman itu, kereta yang jadwalnya sangat jarang (dulu 30-40 menit sekali udah rekor terdekat), banyak yang terpaksa naik di atap, nyempil di jendela, atau bahkan berdiri di lokomotif saking penuhnya.
Kenapa ga menunggu jadwal berikutnya?
Hoo, jangan bayangkan commuter masa kini yang gerbongnya lebih banyak, dan jadwalnya tiap 10-15 menit sekali. Pada era 90an, kami harus menunggu 1-2 jam baru ada kereta berikutnya, jalur rel masih single track. Kereta bergantian satu rangkaian berjalan sampai ke stasiun berikutnya, baru rangkaian arah sebaliknya boleh berjalan, supaya tidak tabrakan, pun hanya ada 5-6 gerbong dalam satu rangkaian kereta! Bandingkan dengan sekarang yang saat rush hour bisa 12 gerbong.
Dengan kondisi gerbong terbatas, dan jadwal kereta yang lumayan jauh jaraknya, 1-2 jam, apakah rela menunggu jadwal berikutnya?
Membayangkan naik moda transportasi lain bakal jauh lebih lama, sementara menunggu hingga 1 jam jadwal kereta berikutnya sudah pasti terlambat! Ga heran jika banyak yang memaksakan diri masuk, terpaksa mendorong, memaksa nyempil walau hanya mampu menjejakkan satu kaki, naik ke atap, dsb.