Mohon tunggu...
Maya Siswadi
Maya Siswadi Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer, Mom

Ibu 3 anak, lecturer; blogger

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Menuju Net Zero Emission, Akankah Migas Tetap Dibutuhkan?

18 Juli 2023   16:50 Diperbarui: 18 Juli 2023   16:51 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pak Nanang Untung, team ahli kementrian ESDM dalam IPA meets blogger 11/07/2023 - dok. pribadi

Suatu kali, saya ngobrol-ngobrol sama suami saat melihat berita tentang upaya pemerintah yang terus menggenjot penggunaan kendaraan listrik sampai memberikan subsidi

"Mas, sekarang kan kendaraan listrik makin marak. Lama-lama kan makin banyak nih yang pakai kendaraan listrik karena irit, ntar kendaraan kita (BBM) ga laku lagi dong"

"Ohooo, ga semudah itu. Walau kendaraan listrik terus didorong pemerintah, tapi ga akan semudah dan secepat itu juga. Tetap butuh waktu"

Ah iya juga sih, penggunaan energi terbarukan semacam kendaraan listrik itu memang angin segar bagi bumi, ramah lingkungan plus irit. Tapi, proses transisi dari penggunaan energi fosil (migas) menuju energi terbarukan, green energy semacam surya panel, listrik, dsb juga ga mudah. Pasti butuh waktu bertahun-tahun, bahkan bisa puluhan tahun lagi.

Sektor migas hingga hari ini masih dibutuhkan bukan hanya untuk keperluan bahan bakar, tapi juga untuk berbagai kegiatan industri. Kebutuhan industri seperti Petrokimia ya ga bisa juga diabaikan.

Rasanya, Indonesia tidak bisa lepas sama sekali dari penggunaan migas sih. Proyeksi pemerintah, jika target Net Zero Emission (NZE) tercapai, kebutuhan energi fosil berupa migas tetap meningkat secara alami, ya walau dengan proporsi yang menurun ya, dari total bauran energinya.

Jika menilik Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pada tahun 2050 nanti, diperkirakan kebutuhan minyak meningkat 139% dan kebutuhan gas meningkat 298%. Pada saat itu nanti kebutuhan energi secara nasional diperkirakan sekitar 1.000 MTOE (Million tonnes of oil equivalent) , 44% berasal dari minyak dan gas, sehingga ada sekitar 440 MTOE yang harus dipenuhi. 

Hal ini disebabkan adanya kebutuhan migas dari berbagai sektor yang belum bisa sepenuhnya digantikan Energi Baru Terbarukan (EBT). Proyeksi ini juga diperbolehkan, dengan catatan, emisi karbon yang dihasilkan kegiatan migas ini harus ditangkap dan disimpan melalui teknologi atau penanaman pohon sebagai penyerap karbon. Tujuannya tentu saja supaya tercapai ketahanan energi dari bauran energi yang dipunyai Indonesia, seperti batu bara, minyak, gas dan EBT, dan pada saat bersamaan tercapai juga komitmen NZE.

Menurut pak Nanang Untung, Tenaga Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Integrasi, Koordinasi dan Interface Migas, kebutuhan yang cukup fundamental terhadap upaya pemanfaatan potensi migas dalam negeri adalah keberadaan investor yang memiliki sumber daya pendanaan maupun teknologi untuk mencari potensi migas.

"Kita masih sangat butuh investor. Energy transition kita maksimalkan, nggak mungkin kita hidup tanpa fosil sampai nanti suatu saat full dipenuhi, baterai masih mahal dan kita masih tergantung sama cuaca sampai ada teknologi itu mungkin kita masih butuh fosil. Prediksi semua pihak masih ada peran fossil fuel sampai 2050," kata pak Nanang dalam diskusi Indonesia Petroleum Association (IPA) meets Blogger, di Jakarta, Selasa (11/7/2023).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun