Tentang
KH Muhammad Hasyim Asy`ari adalah  pahlawan nasional dan  pendiri Nawallatul Ulama dan ulama besar dengan gelar Rais Akbar (pemimpin tertinggi pertama). Ia dijuluki Hadratussyaikh, yang berarti Guru, dan  Kutubus Sittah (riwayat 6 Hadis) dan gelar Syekh Masyayikh  berarti Guru dari Guru. Ia adalah anak dari pasangan KH. Pesantren Asy'ari dan Nyai Harima lahir di desa Tamba Klejo di Jombang, Jawa Timur, dan dikaruniai satu orang anak bernama KH.  Wahid Hashim, salah satu pahlawan nasional yang menyusun Piagam Jakarta, dan cucunya  KH. Abdurrahman Wahid, merupakan Presiden RI ke-4.
Kiai Hasyim Asy'ari telah tinggal di lingkungan Pesantren sejak kecil, dan ayahnya adalah pendiri Pesantren yang masih populer, Pesantren Keras, Diwek dan Jombang. Sedangkan kakek dari pihak ibu (Kiai Utsman) dikenal sebagai pendiri Pondok Pesantren Gedan, dan kakek dari pihak ibu Kiai Shihah dikenal luas sebagai pendiri dan pengurus Pondok Pesantren Bahrul Ulum di Tambak Beras, Jombang. selesai.
Pada usia lima tahun, Kiai Hasyim pindah dari Gedan ke desa Keras, Â selatan Jombang, mengikuti ayah dan ibunya yang mendirikan Pesantren baru. Di sini Kiai Hasyim akhirnya meninggalkan Keras setelah menghabiskan masa kecilnya hingga usia 15 tahun, Â menjelajahi berbagai pesantren yang dikenal di Mekkah pada saat itu. Kiai Hasyim menikah dengan Nyai Nafisah, salah satu putri Kiai Ya'qub (Siwalanpanji, Buduran, Sidoarjo) pada tahun 1892. Tak lama kemudian, Kiai Hasyim berangkat ke Mekkah bersama istri dan menantunya untuk menunaikan ibadah haji Bersama Nyai Nafisa, Kiai Hasim tetap tinggal di Mekkah untuk menuntut ilmu. Tujuh bulan kemudian, Nyai Nafisah meninggal setelah melahirkan seorang putra bernama Abdullah, dan 40 hari kemudian, Abdullah mengambil alih ibunya ke rahmatullah. Kematian dua orang yang sangat dicintainya itu membuat Kiai Hasyim sangat sedih. Kiai Hasyim akhirnya memutuskan untuk tidak tinggal di tempat suci dan kembali ke Indonesia setahun kemudian.
Setelah menduda, Kiai Hasyim menikah lagi dengan seorang gadis putri Kiai Romli di desa Karangkates, Mojo, Kediri bernama Nyai Khadijah. Pernikahannya berlangsung setelah kembali dari Mekah pada tahun 1899. Pernikahan dengan istri keduanya tidak berlangsung lama, karena Njai Kadijah meninggal dua tahun kemudian (1901).
 Kiai Hasyim menikah lagi dengan seorang wanita bernama Nyai Nafiqah, putra Kiai Ilyas, dan merupakan pengasuh Pondok Pesantren Sewulan, Dagangan dan Madiun, dan dikaruniai 10 orang anak: Hana, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid dan Abdul Hakim, Abdul Karim, Ubaidillah, Mashurah, dan Muhammad Yusuf. Sejak Nyai nafisa meninggal pada tahun 1920, pernikahan antara Kiai Hasyim dan Nyai Nafiqa berakhir sebelum waktunya.
Sepeninggal Nyai Nafiqah, Kiai Hasyim memutuskan untuk menikah lagi dengan Nyai Masrurah, putri Kiai Hasan yang juga pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo di Pagu, Kediri. Dari pernikahan keempat ini, Kiai Hasyim memiliki empat  anak: Abdul Qadir, Fatima, Khadijah, dan Muhammad Yakub. Pernikahan dengan Nyai Masrurah ini merupakan pernikahan terakhir  hingga akhir hayat Kiai Hsyim.
Pendidikan
KH Hasyim Asy'ari dikenal sebagai orang yang haus akan ilmu pengetahuan tentang Islam. Sejak kecil, Kiai Hasyim bersekolah di berbagai  pesantren ternama di Jawa Timur saat itu. Selain itu, Kiai Hasyim juga banyak menghabiskan waktunya untuk mempelajari Islam di tempat-tempat suci (Mekah dan Madinah).
 Karena karir pesantrennya, Kiai Hasyim  dididik dengan sungguh-sungguh dan dibimbing untuk memperdalam ilmu agama Islam sejak kecil hingga berusia 15 tahun oleh ayahnya sendiri. Melalui ayahnya, Kiyai Hsyim sadar dan mulai mempelajari hadits, tauhid, tafsir, hadits, bahasa Arab, dan studi keislaman lainnya. Di bawah bimbingan ayahnya, kecerdasan Kiai Hasyim sangat menonjol. Meski Kiai Hasyim belum berusia 13 tahun, ia telah  menguasai berbagai disiplin ilmu studi Islam dan dipercaya membantu ayahnya mengajar murid-murid yang lebih tua.
Belum puas dengan ilmu yang didapat dari ayahnya, Kiai Hasyim mulai belajar di beberapa Pesantren. Pertama, Kiai Hasyim belajar di Pesantren Wonokoyo di Probolinggo. Kemudian diantar ke Pondok Pesantren Langitan Tuban. Merasa belum cukup, Kiai Hasyim melanjutkan pengembaraan akademiknya di Pondok Pesantren Tengiris Surabaya sebelum pindah ke Pondok Pesantren Kademangan di Bancaran yang diasuh oleh Kiai Kholil saat itu. Setelah Kiai Kholil dari pesantren, Kiai Hasyim melanjutkan ke Pesantren Siwalanpanji di Buduran, Sidoarjo, di bawah bimbingan Kiai Ya'qub. Kiai Hasyim telah menghabiskan tiga tahun meneliti berbagai disiplin ilmu keislaman, terutama tata bahasa Arab, sastra, fikh, tasawuf kepada Kiai Kholil. Di bawah bimbingan Kiai Ya'qub, ia berhasil mempelajari ilmu tauhid, fiqih, adab, tafsir, dan hadits.