32. Pantas Saja
Turun dari bus, Hesty langsung menyeberangi jalan utama. Kebetulan sedang lampu merah. Setengah berlari ia menuju gedung berlantai enam itu. Setelah menunggu beberapa detik, ia memasuki ruang lift menuju lantai empat. Ia melirik arlojinya yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, waktu baru menunjukkan pukul sembilan pagi lewat delapan menit.
       Orang-orang berseliweran lalu lalang, namun bersikap tak peduli antara yang satu dengan yang lainnya. Sekedar tersenyum saja sudah sangat langka, gambaran singkat model manusia modern masa kini. Hesty menuju gedung ini, memang bukan  untuk bersenyum-senyum. Tapi untuk memenuhi keinginan suaminya, agar rumah mereka tidak terjual.
       Tadi malam, Hesty tentukan keputusannya, setelah sejumlah harian ibukota ditelusurinya dengan seksama, mencari lowongan pekerjaan. Beberapa hari sebelumnya, paling tidak sudah lima perusahaan garmen dikunjunginya. Dari sekian perusahaan yang tergolong besar itu, tak satu pun yang sudi menerimanya, baik paruh waktu maupun full time. Semua perusahaan menolak Hesty, dengan alasan yang sama, bahwa mereka belum mampu menambah karyawan. Sedangkan yang ada saja, demikian menurut menejer perusahaan-perusahaan itu, tinggal menunggu waktunya saja akan dikurangi, lebih tepatnya di-PHK.
       Hesty tidak tahu persis, apakah memang benar perusahaan-perusahaan yang telah dikunjunginya itu sudah kepenuhan. Jangan-jangan hanya alasan perusahaan untuk membatasi penerimaan karyawan, dengan maksud untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Tidak sedikit perusahaan-perusahaan itu memosisikan karyawannya hanya sebagai pekerja belaka, yang setiap waktu harus siap ditendangkeluar, dengan berbagai alasan termasuk yang paling populer;: pailit. Para pekerja tidak diposisikan sebagai bagian yang tak terpisahkan demi eksistensi perusahaan. Dasar kapitalis! Bisik Hesty dalam hati.
       Hesty menghela napas panjang. Tadi malam ketika ia online, ia banyak menemukan lowongan pekerjaan di berbagai media massa cetak dan elektronik, tapi itu bukan bidangnya. Setidaknya ia baca ada tujuh belas perusahaan yang memerlukan tenaga-tenaga profesional di bidangnya, seperti editor, reporter, desain grafis, programmer, menejer keuangan, dan banyak lagi yang berkaitan dengan media massa tersebut. Semua lowongan itu bukan bidang Hesty.
       Ia menyesal, mengapa dulu ia tidak kuliah di bidang jurnalistik saja! Padahal sahabat akrabnya dulu saat ia masih di SMA,  Raka namanya, pernah berkali-kali mengajaknya untuk mendaftar di jurusan jurnalistik. Ia jadi teringat dengan pria pemalu tapi cerdas itu. Hesty tahu, bahwa Raka menyukainya lebih dari seorang teman. Berulang kali Raka sengaja berkunjung ke rumahnya dengan membawa oleh-oleh kesukaan Hesty.
       Namun ia selalu menghindar dari obrolan dan suasana melankolik dunia remaja. Ia sejak dulu sudah sangat hati-hati menjaga harkat kewanitaannya di hadapan kaum pria. Hesty jadi geli mengenang kecanggungan Raka, ketika Raka mengirim surat untuknya melalui teman sekelasnya, padahal setiap hari mereka bertemu. Tapi anehnya, tatkala ia mengomfirmasi langsung perihal kiriman suratnya itu, Raka tertunduk malu, mukanya merah padam. Tak sanggup menatap wajah Hesty yang sebenarnya masih penasaran itu.
       Setelah kejadian itu, anehnya, Raka bukan semakin dekat dengannya, tapi malah menjauh. Hesty, lalu, mengambil sikap biasa-biasa saja, seperti tidak ada sesuatu yang terjadi, dengan harapan agar Raka juga tidak canggung jika berpapasan dengannya di sekolah. Waktu itu Raka kelas tiga IPA 1, dan Hesty duduk di kelas tiga IPA2. Akhirnya mereka ujian dan lulus dari sekolah. Semenjak  kelulusan itu, sampai kini Hesty dan Raka tidak pernah bertemu. Hesty tersenyum geli mengenang  kisah singkat itu.
       Kemaren, sambil menunggu bus di halte untuk pulang, di tengah kerumunan orang, ia teringat masa lalunya yang penuh warna-warni, yang tidak mungkin akan terulang kembali. Waktu ia masih di SMA, berlanjut masa kuliah. Semuanya dilalui dengan penuh keceriaan. Bagaimana ibunya sering memanjakannya, dengan kata-kata ceria menyemangatinya untuk meraih prestasi belajarnya. Seringkali ibunya memanggilnya dengan terlebi dahulu menyebut kata ‘dokter’.
       Lalu, ia ingat pula ketidak-setujuan ibunya dengan Edo, yang kini jadi suaminya, sekaligus jadi sumber masalahnya yang paling pelik.