Mohon tunggu...
Deddy Daryan
Deddy Daryan Mohon Tunggu... Guru - Pemerhati pendidikan, menulis fiksi

HIdup ini singkat, wariskan yang terbaik demi anak-cucu.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Grevillea (13)

7 Juni 2016   08:25 Diperbarui: 7 Juni 2016   08:39 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

13. Nana

             

              “Bagaimana hasilnya, Mas?” tanya Hesty ketika mereka usai makan malam, sambil nonton tivi. Ditanya seperti itu, seketika wajah Edo berkerut.

              “Aku ketemu Budiono tadi, kita tunggu jawabannya sehari – dua hari ini,“ jawabnya penuh dengan keragu-raguan.

              “Seandainya itu nggak berhasil?“ Hesty ingin tahu lebih jauh.

              “Maksudmu aku akan menyerah, lalu usulmu?“ Edo balik bertanya.

              “Bukan begitu maksudku, Mas! Boleh kan aku berandai-andai? Semua orang tahu, Mas, kalau sekarang susah cari kerjaan. Sekalipun setumpuk ijazah kesarjanaan telah kita raih. Maksudku, alternatif apa yang akan kita ambil. Toh, aku berhak tahu, Mas . . ! bukankah untuk kepentingan bersama? Jika Mas gagal, aku juga ikut gagal. Begitu pula bila Mas berhasil, toh aku akan lebih bahagia.”

              “Aku akan coba di tempat lain. Kukira Tuhan memberi kebebasan bagi setiap orang untuk mencari kehidupan, dan sekaligus memilihnya. Kekhawatiranmu boleh saja, tapi jangan keterlaluan,“ ujar Edo  tajam. Hesty menundukkan pandangannya. Ia tak mengira, suaminya bakal tersinggung.

              Jika keadaan sudah begini, Hesty lebih baik memilih diam. Menghindari pertengkaran yang akan menjurus ke salah pengertian. Bisa fatal.

              Jika saja Hesty boleh bekerja, ia tidak akan sesulit Edo mencarinya. Perusahaan pakaian jadi ratusan jumlahnya di ibukota ini. Atau bisa saja ia bergabung dengan Nana, yang kini semakin pesat perkembangannya. Bukankah Nana pernah menawarinya dulu. Dan kapan pun ia mau, pasti diterima.

              Hesty menggigit bibirnya. Matanya tak lagi menyaksikan acara tivi. Ia bangkit dari duduknya, Edo tetap terpaku, matanya ke layar kaca itu. Ada ‘talk show’ tentang mafia peradilan. Sang pembicara yakin sekali dengan argumennya, bahwa pelaku kejahatan; siapa pun orangnya, dan apa pun bentuk kejahatannya, harus diambil tindakan tegas. Jika perlu potong jari tangannya, kata si pembicara yang juga praktisi hukum terkenal itu.  Sang pewawancara nampak mengerutkan dahinya sejenak, lalu tersenyum ke arah kamera.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun