Kita beruntung, bahwa kita menjadi seorang muslim sejak dari buaian, bahkan sejak dalam kandungan sang ibu. Kita tidak perlu bersusah hati dan bersusah payah, ketika kita beranjak remaja terus jadi orang dewasa (aqil baligh) sampai usia tua untuk menentukan dan memutuskan agama apa yang mesti kita peluk. Kita terima bersih. Kita terima beres, bahwa kita sampai mati, insyaallah menjadi seorang muslim.
Tidak seperti mereka, para kaum mu'alaf yang semakin hari jumlahnya semakin bejibun di seantero bumi ini ...alhamdulillah. Mereka berupaya sekuatnya dengan 'pencarian' total mereka untuk menuju keputusan final.Â
Mereka perlu banyak waktu dan energi, juga biaya, dan tantangan kultural-spiritual dari orang-orang terdekat mereka, untuk mencari dan menemukan hidayah Rabbul 'alamin, hingga mereka memutuskan, dengan ikrar kalimahsyahadatain, yang merupakan entripoint paling penting dalam kehidupan mereka, baik di dunia ini, maupun untuk lebih-lebih kehidupan di akherat kelak, yang durasi waktunya tanpa batas.
Allah Ta'ala berfirman dalam Surat Al-An'am ayat 125, yang artinya; "Barangsiapa dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan membukakan dadanya untuk (menerima) islam.Â
Dan barangsiapa dikehendakiNYA menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit. Demikianlah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman."
Ketika kaum mu'alaf ini sudah berada dalam zona baru/islam, perjuangan mereka belum berakhir, bahkan sebaliknya baru dimulai. Tidak sedikit dari mereka ini memeroleh hidayah Allah Ta'ala dikarenakan rasa penasaran dan keingintahuan yang besar terhadap islam. Pada waktu peristiwa serangan 11 September 2001 di New York, ribuan mua'alaf bermunculan di Amerika itu sendiri, dan terus menjalar di daratan Eropa.
Pada saat aku menulis ini, dunia sedang dilanda Pandemi Global Covid 19 (pertengahan Maret 2020), salah satu efeknya adalah kumandang azan di negeri-negeri yang tadinya tidak diperbolehkan, kini bergema nyaring nyaris dua puluh empat jam nonstop, salah satu contohnya adalah di Belanda.
Saudaraku seiman, karena kebanyakan kita berpredikat terima beres dan bersih, maka format beragama kita seala-kadarnya. Kita hanya belajar agama di sekolah formal 2 x 40 menit dalam seminggu.Â
Kalau gurunya izin sakit, keperluan keluarga, ngurus naik pangkat, plus melahirkan, plus menunggu istri melahirkan, dst...dst...tinggal berapa waktu dan materi lagi yang mampu kita serap selama kita sekolah. Belum kita biacara tentang seperti apa dan bagaimana guru agama kita menyajikan pelajaran itu kepada kita.Â
Belum lagi perhatian agama yang amat minim dalam rumah dan lingkungan kita tinggal. Memperparah pegetahuan/ilmu agama kita tidak tumbuh dan berkembang sesuai dengan kewajiban kita untuk menuntut ilmu (islam). Salahkah kita?
Maka jangan heran, kuantitas dan kualitas perhatian kita terhadap ilmu dan amalan agama amat jauh jika dibandingkan dengan kaum mu'alaf. Melalui pengamatan di medsos; youtube, ig, akun web, fb, twitter, dlsb mereka sangat intens nan serius memelajari agama, mulai dari hal yang pokok sampai pada cabang-cabangnya.Â