Mohon tunggu...
Deddy Daryan
Deddy Daryan Mohon Tunggu... Guru - Pemerhati pendidikan, menulis fiksi

HIdup ini singkat, wariskan yang terbaik demi anak-cucu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Grevillea (15)

9 Juni 2016   09:09 Diperbarui: 9 Juni 2016   09:24 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

15.  Bayang-bayang

Panas mentari siang itu sungguh sangat menyengat. Tampak jelas jalan aspal  seolah sedang mendidih, dan menguap menampakkan bayang-bayang yang meliuk-liuk, serupa minyak yang mengkilap, mengepul-ngepul sekitar satu meter di atasnya. Jubelan Orang-orang dan berbagai jenis kendaraan lalu lalang, dan tak ada yang peduli dengan itu. Karena mereka senantiasa dilanda segepok kepentingan demi mempertahankan eksistensinya. Sebuah pemandangan sehari-hari di ibukota.

              Di suatu perempatan, ketika lampu traffic light merah menyala, Edo menyeka keringat. Ia ingin menyeberang bersama kerumunan penyeberang lainnya. Dengan mengepit sebuah map yang berisi seperangkat berkas lamaran kerja, ia kunjungi sejumlah perusahaan di kota metropolitan ini.

              Tiba-tiba dari sebuah mobil sedan terkini, seorang wanita muda memanggilnya. Wanita itu berparas cantik, berkacamata trendy, dan mengesankan sosok perempuan modern. Tingkahnya persis seperti selebriti melayu, artis penyanyi yang sedang naik daun. Lincah dan aduhai!

              “Edo!! Mau kemana kau? wanita kece itu menyeru dari jarak kurang-lebih lima meter. Pada mulanya Edo ragu, karena wanita itu memakai kacamata hitam, tak berlebihan sepintas mirip puteri Monaco, Stefanny muda yang elegan itu. Rambutnya yang sebatas bahu, hitam-pekat, sengaja tergerai, dibiarkan antara basah dan kering, menambah seksi penampilan wanita itu.

              “Hai!” jawab Edo agak kaku seraya mendekat, memandangi wanita itu dari balik kaca, ingin tahu lebih jelas. Ia agak kaget, setelah tahu siapa wanita itu.

              “Ikut yuk!“ ajak wanita itu lagi. Tanpa berpikir panjang, Edo membuka pintu sedan itu, duduk nyaman di samping wanita itu dan terus meluncur.

              Edo amat mengenal wanita yang sedang menyetir ini. Mery namanya, mantan pacarnya dulu sewaktu masih kuliah memasuki semester tiga, tapi berlainan kampus. Percakapan mereka pun tanpa basa-basi, tepatnya langsung saja pada sasaran.

              “Mana suamimu, Mer?“ Edo membuka pembicaraan. Mery tampak tenang, ekspresi wajahnya senang bertemu dengan Edo.

              “Mana istrimu?“ Mery bukannya menjawab, malah balik bertanya.

              “Jawab dulu pertanyaanku!“ desak Edo seraya memandangi raut wajah Mery, yang sejak dulu dikaguminya . Betapa tidak, kecantikan Mery begitu sempurna; matanya, bibirnya, tinggi semampai, rambutnya, putih kulitnya, dan hairyhand– begitu sempurna, Tuhan Sang Maha Pencipta memberi banyak kelebihan pada Mery. Selebihnya, wanita ini cerdas, dan masuk dalam kategori golongan sosial yang mapan. Setidaknya di mata Edo.

              “Kami pisah, Ed!” jawab Mery, ada ekspresi sedih di wajahnya. Edo menggeser tubuhnya, sedikit mendekati Mery. Namun Mery tidak bereaksi. Tatapan mata Mery tetap ke depan, jari-jari mungilnya memainkan setir. Tampak Edo semakin mengagumi Mery. Namun mereka tidak seperti apa yang diucapkan oleh Charles Dickens; “A man is lucky if he is the first love of a woman. A woman is lucky if she is the last love of a man.” Hanya sedikit orang yang bias mempertahankan cinta pertamanya, hingga memasuki gerbang perkawinan. Karena itu, mereka tidak beruntung.

              “Itulah kalau jodoh ditentukan oleh orang tua,” papar Mery- masih tetap tanpa ekspresi. Dan sang anak harus nurut sama kemauan orang tua, sambung Edo spontan.

              Mery  memang dijodohkan dengan Herman. Ayah Mery berambisi benar waktu itu agar ia mau menikah dengan putera partnerbisnisnya. Sebuah alasan klasik, dibalik itu. Agar hubungan dagang mereka tetap langgeng, karena diikat oleh sebuah tali primordial perkawinan, yang tak selamanya permanen. Kultur ini masih dianut oleh kedua pihak para pedagang yang bermental ortodok tradisional itu. Bukan aspek profesionalisme yang mereka tonjolkan.

              Akhirnya, singkat kata Mery kawin dengan Herman Pradipto, demikian nama lengkap pria itu, yang sebelas tahun lebih tua dari usiannya. Sebenarnya Herman tergolong pemuda dewasa, polos dan simpatik. Jika hubungan mereka didasari oleh perasaan cinta yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam, maka perceraian boleh jadi tidak akan terjadi. Atau seandainya perkawinan itu dilandasi ibadah karena Pesan Tuhan, ada jaminan maghligai rumah tangga akan awet sepanjang usia.

              Mery selalu merasa kesepian, karena Herman selalu sibuk mengurusi perusahaan ayahnya. Mery seperti anak pingitan di rumah, walau dalam sangkar emas, akhirnya ia tak tahan  juga. Waktu Edo belum menikah, Mery masih sesekali menghubungi mantan pacarnya itu. Mery masih berharap Edo kembali ke pangkuannya. Namun Edo tahu diri, ia merasa tidak mungkin memiliki Mery dengan alasan yang sulit ia jelaskan, ketika mereka masih sama-sama berstatus single. Tapi akhirnya terkuak juga. Waktu ia berkunjung ke rumah orangtua Mery. Orang tua Mery tidak ingin punya seorang menantu dari kelas bawah. Waktu itu Edo sadar siapa dirinya. Ia langsung memutuskan hubungan spesialnya dengan Mery. Dalam hati, Mery tetap tak melepaskan simpatinya pada Edo.

              Ketika perusahaan ayah Herman membuka cabang di Amerika, maka Hermanlah yang ditunjuk selaku menejernya. Sejak itu Mery diboyong ke sana. Komunikasi gelap Mery dengan Edo otomatis terputus. Lima tahun Mery di Amerika, benar-benar seperti dalam belantara asing dan sunyi, di tengah pusaran peradaban dunia, yang dirasakannya asing dan aneh. Ia selalu berontak terhadap suaminya agar segera kembali ke Jakarta.

              “Jadi, anakmu sekarang ikut siapa?“

              “Semula sih ikut Herman, tapi sebelas bulan ini ikut aku. Naluri seorang anak lebih dekat sama ibu, rupanya,“ ujar Mery datar.

              “Kamu masih cantik, Mer “ desis Edo setengah berbisik.

              “Rupanya, kau masih gombal juga!“ Mery mencubit lengan Edo. Wanita mana yang tak suka dipuji.

              Sedan mungil berwarna merah metalik itu berbelok, memasuki halaman   sebuah bangunan megah, yang di atasnya bertuliskan tea house. Sebuah tempat ngobrol yang amat mementingkan privacy. Sekaligus berkelas.

              “Kita minum dulu, Ed! Kau tentu haus, bukan?“

              Mereka memilih duduk di pojok ruangan. Mereka dapat menikmati taman mungil yang ditata apik  di halaman dalam dari kaca jendela yang besar. Menambah akrabnya pertemuan mereka kali ini. Tak lama kemudian pesanan mereka telah tersaji di atas meja. Para pengunjung lain, antara kedengaran dan tidak, asyik ngobrol dengan pasangan masing-masing. Mereka mengunyah makanan sesuai dengan anjuran sang dokter, dan menikmati suasana dengan khusu’nya.

              “Sekarang giliranku bertanya. Siapa istrimu dan sudah berapa anakmu?” tanya Mery seperti menteror. Edo merasa sedikit terintimidasi.

              “Tak ada pertanyaan yang lebih relevan?“ Edo tak suka dengan pertanyaan Mery. Ke sekian kalinya ia menyedot jus alvokad. Suasana seperti ini sering mereka lalui bersama waktu mereka masih kuliah dulu. Bahkan mereka pernah membuat semacam komitmen. Posisi Edo agaknya memang di atas angin. Tipikal Mery tidak memedulikan soal status sosial seorang pria yang disukainya. Berbeda jauh dengan prinsip kedua orangtuanya, yang memang terlahir sebagai keluarga beraroma keningratan.   

              Edo ingin hubungannya dengan Mery sampai ke jenjang perkawinan. Namun ia sadar, tak  cukup hanya bermodalkan cinta rupanya. Edo sadar, status sosial-ekonomi Mery denganya amat jauh berbeda. Bak langit dan bumi. Dan inilah yang selalu dijadikan dalih oleh kedua orang tua Mery untuk tidak menyetujui hubungan mereka. Hal ini diungkapkan Mamanya Mery langsung pada Edo, di suatu sore yang kelabu ketika ia berkunjung ke rumah Mery di kawasan elit.

              Seandainya Mery tidak terpaksa menikah dengan pilihan orang tuanya, mereka sudah sama-sama mau nekad, yaitu kawin lari. Namun Mery masih takut dengan    ancaman orang tuanya. Ia akan diasingkan di suatu tempat sampai benar-benar mau menuruti kemauan orangtuanya itu.

              Kepergian Mery ke Amerika bersama suaminya cukup  berat bagi Edo. Namun, ia rela. Lantas, ia kubur dalam-dalam kenangannya bersama Mery.  Sejak itu, ia tak  pernah lagi berkomunikasi  dengan Mery. Di tengah kekosongan itulah ia bertemu dengan Hesty. Pertemuannya dengan Hesty pun, sebenarnya dalam bayang-bayang Mery. Begitu banyak kemiripan Hesty dengan Mery. Baik secara fisikal maupun sifat dan gaya penampilannya. Hal ini mengobati luka hatinya ditinggalkan Mery. Hubungan Edo dan Hesty akhirnya sampai ke jenjang perkawinan, didasari  rasa cinta yang subur di dalam hati mereka masing-masing, sekalipun dengan cara nekad pula; kawin lari atas kemauan Hesty.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun