Mohon tunggu...
Deddy Daryan
Deddy Daryan Mohon Tunggu... Guru - Pemerhati pendidikan, menulis fiksi

HIdup ini singkat, wariskan yang terbaik demi anak-cucu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Grevillea (15)

9 Juni 2016   09:09 Diperbarui: 9 Juni 2016   09:24 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

              “Kita minum dulu, Ed! Kau tentu haus, bukan?“

              Mereka memilih duduk di pojok ruangan. Mereka dapat menikmati taman mungil yang ditata apik  di halaman dalam dari kaca jendela yang besar. Menambah akrabnya pertemuan mereka kali ini. Tak lama kemudian pesanan mereka telah tersaji di atas meja. Para pengunjung lain, antara kedengaran dan tidak, asyik ngobrol dengan pasangan masing-masing. Mereka mengunyah makanan sesuai dengan anjuran sang dokter, dan menikmati suasana dengan khusu’nya.

              “Sekarang giliranku bertanya. Siapa istrimu dan sudah berapa anakmu?” tanya Mery seperti menteror. Edo merasa sedikit terintimidasi.

              “Tak ada pertanyaan yang lebih relevan?“ Edo tak suka dengan pertanyaan Mery. Ke sekian kalinya ia menyedot jus alvokad. Suasana seperti ini sering mereka lalui bersama waktu mereka masih kuliah dulu. Bahkan mereka pernah membuat semacam komitmen. Posisi Edo agaknya memang di atas angin. Tipikal Mery tidak memedulikan soal status sosial seorang pria yang disukainya. Berbeda jauh dengan prinsip kedua orangtuanya, yang memang terlahir sebagai keluarga beraroma keningratan.   

              Edo ingin hubungannya dengan Mery sampai ke jenjang perkawinan. Namun ia sadar, tak  cukup hanya bermodalkan cinta rupanya. Edo sadar, status sosial-ekonomi Mery denganya amat jauh berbeda. Bak langit dan bumi. Dan inilah yang selalu dijadikan dalih oleh kedua orang tua Mery untuk tidak menyetujui hubungan mereka. Hal ini diungkapkan Mamanya Mery langsung pada Edo, di suatu sore yang kelabu ketika ia berkunjung ke rumah Mery di kawasan elit.

              Seandainya Mery tidak terpaksa menikah dengan pilihan orang tuanya, mereka sudah sama-sama mau nekad, yaitu kawin lari. Namun Mery masih takut dengan    ancaman orang tuanya. Ia akan diasingkan di suatu tempat sampai benar-benar mau menuruti kemauan orangtuanya itu.

              Kepergian Mery ke Amerika bersama suaminya cukup  berat bagi Edo. Namun, ia rela. Lantas, ia kubur dalam-dalam kenangannya bersama Mery.  Sejak itu, ia tak  pernah lagi berkomunikasi  dengan Mery. Di tengah kekosongan itulah ia bertemu dengan Hesty. Pertemuannya dengan Hesty pun, sebenarnya dalam bayang-bayang Mery. Begitu banyak kemiripan Hesty dengan Mery. Baik secara fisikal maupun sifat dan gaya penampilannya. Hal ini mengobati luka hatinya ditinggalkan Mery. Hubungan Edo dan Hesty akhirnya sampai ke jenjang perkawinan, didasari  rasa cinta yang subur di dalam hati mereka masing-masing, sekalipun dengan cara nekad pula; kawin lari atas kemauan Hesty.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun