Mohon tunggu...
Deddy Daryan
Deddy Daryan Mohon Tunggu... Guru - Pemerhati pendidikan, menulis fiksi

HIdup ini singkat, wariskan yang terbaik demi anak-cucu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Grevillea (15)

9 Juni 2016   09:09 Diperbarui: 9 Juni 2016   09:24 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

              “Kami pisah, Ed!” jawab Mery, ada ekspresi sedih di wajahnya. Edo menggeser tubuhnya, sedikit mendekati Mery. Namun Mery tidak bereaksi. Tatapan mata Mery tetap ke depan, jari-jari mungilnya memainkan setir. Tampak Edo semakin mengagumi Mery. Namun mereka tidak seperti apa yang diucapkan oleh Charles Dickens; “A man is lucky if he is the first love of a woman. A woman is lucky if she is the last love of a man.” Hanya sedikit orang yang bias mempertahankan cinta pertamanya, hingga memasuki gerbang perkawinan. Karena itu, mereka tidak beruntung.

              “Itulah kalau jodoh ditentukan oleh orang tua,” papar Mery- masih tetap tanpa ekspresi. Dan sang anak harus nurut sama kemauan orang tua, sambung Edo spontan.

              Mery  memang dijodohkan dengan Herman. Ayah Mery berambisi benar waktu itu agar ia mau menikah dengan putera partnerbisnisnya. Sebuah alasan klasik, dibalik itu. Agar hubungan dagang mereka tetap langgeng, karena diikat oleh sebuah tali primordial perkawinan, yang tak selamanya permanen. Kultur ini masih dianut oleh kedua pihak para pedagang yang bermental ortodok tradisional itu. Bukan aspek profesionalisme yang mereka tonjolkan.

              Akhirnya, singkat kata Mery kawin dengan Herman Pradipto, demikian nama lengkap pria itu, yang sebelas tahun lebih tua dari usiannya. Sebenarnya Herman tergolong pemuda dewasa, polos dan simpatik. Jika hubungan mereka didasari oleh perasaan cinta yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam, maka perceraian boleh jadi tidak akan terjadi. Atau seandainya perkawinan itu dilandasi ibadah karena Pesan Tuhan, ada jaminan maghligai rumah tangga akan awet sepanjang usia.

              Mery selalu merasa kesepian, karena Herman selalu sibuk mengurusi perusahaan ayahnya. Mery seperti anak pingitan di rumah, walau dalam sangkar emas, akhirnya ia tak tahan  juga. Waktu Edo belum menikah, Mery masih sesekali menghubungi mantan pacarnya itu. Mery masih berharap Edo kembali ke pangkuannya. Namun Edo tahu diri, ia merasa tidak mungkin memiliki Mery dengan alasan yang sulit ia jelaskan, ketika mereka masih sama-sama berstatus single. Tapi akhirnya terkuak juga. Waktu ia berkunjung ke rumah orangtua Mery. Orang tua Mery tidak ingin punya seorang menantu dari kelas bawah. Waktu itu Edo sadar siapa dirinya. Ia langsung memutuskan hubungan spesialnya dengan Mery. Dalam hati, Mery tetap tak melepaskan simpatinya pada Edo.

              Ketika perusahaan ayah Herman membuka cabang di Amerika, maka Hermanlah yang ditunjuk selaku menejernya. Sejak itu Mery diboyong ke sana. Komunikasi gelap Mery dengan Edo otomatis terputus. Lima tahun Mery di Amerika, benar-benar seperti dalam belantara asing dan sunyi, di tengah pusaran peradaban dunia, yang dirasakannya asing dan aneh. Ia selalu berontak terhadap suaminya agar segera kembali ke Jakarta.

              “Jadi, anakmu sekarang ikut siapa?“

              “Semula sih ikut Herman, tapi sebelas bulan ini ikut aku. Naluri seorang anak lebih dekat sama ibu, rupanya,“ ujar Mery datar.

              “Kamu masih cantik, Mer “ desis Edo setengah berbisik.

              “Rupanya, kau masih gombal juga!“ Mery mencubit lengan Edo. Wanita mana yang tak suka dipuji.

              Sedan mungil berwarna merah metalik itu berbelok, memasuki halaman   sebuah bangunan megah, yang di atasnya bertuliskan tea house. Sebuah tempat ngobrol yang amat mementingkan privacy. Sekaligus berkelas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun