-----------------------------------------------
Indonesia merupakan negara yang memiliki bahasa daerah paling banyak di dunia. Tercatat ada 583 bahasa dan dialek dari 67 bahasa induk yang digunakan dari berbagai suku bangsa yang ada. Dan untuk menyatukan berbagai bahasa tersebut, sejak 28 Oktober 1928 Indonesia sepakat untuk menggunakan sebuah bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia.
Di lingkup mancanegara, bahasa Indonesia ternyata juga cukup diminati oleh berbagai negara. Menurut Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Kementrian Luar Negeri, saat ini ada 45 Negara yang telah mengajarkan bahasa Indonesia. Bahkan di Vietnam, pemerintah daerah Ho Chi Minh City telah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua.
Namun hal yang berbeda justru terjadi di dalam negeri. Beberapa tahun yang lalu, The New York Times mengeluarkan sebuah artikel yang ditulis oleh Norimitsu Onishi dengan judul “As English Spreads, Indonesians Fear for Their Language”. Artikel tersebut diawali dengan menceritakan tentang tiga anak Paulina Sugiarto di Jakarta yang amat fasih berbahasa Inggris. Tidak jarang kelancaran mereka berbahasa Inggris mencengangkan beberapa orang tua lain yang mendengarnya. Namun sayangnya, ketiga anak tersebut ternyata kurang bisa berbahasa Indonesia.
Hal ini tidak hanya terjadi di satu keluarga saja, tetapi juga terjadi di banyak keluarga lainnya. Sering kita menjumpai sebuah keluarga, terutama keluarga kelas menengah atas, yang menyekolahkan anaknya di sekolah internasional. Tentu saja bahasa pengantar di sekolah tersebut adalah bahasa Inggris. Hal inilah yang membuat anak-anak tersebut lebih lancar menuturkan bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia. Karena setiap hari mereka memang lebih akrab dengan bahasa Inggris. Ironisnya, para orang tua tersebut justru merasa sangat bangga karena anaknya bisa lancar berbahasa Inggris, namun sama sekali tidak malu jika anaknya tidak bisa berbahasa Indonesia. Mereka merasa menguasai bahasa Inggris dapat meningkatkan status sosial mereka. Sedangkan bahasa Indonesia, hanyalah menjadi bahasa kelas dua.
Selain dari artikel tersebut, salah satu bukti nyata tentang kurang bangganya seseorang terhadap bahasa Indonesia juga bisa kita lihat di media sosial. Pada tanggal 17 Agustus kemarin, banyak sekali orang yang mengucapkan selamat hari Kemerdekaan tetapi justru dengan menggunakan bahasa Inggris. Sangat disayangkan tentunya. Bagaimana bisa kita berdikari dalam berbahasa jika mengucapkan selamat hari Merdeka kepada negara kita sendiri saja malah menggunakan bahasa asing? Saya sepakat menguasai bahasa Inggris sangatlah penting, namun penggunaannya pun sebaiknya disesuaikan dengan konteks yang ada. Karena setahu saya, Soekarno saja memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Mungkin bagi sebagian orang, permasalahan ini terdengar sepele. Namun bagi saya, tidak. Saya tidak ingin jika nantinya kita mulai terbiasa dan mulai menganggapnya sebagai hal yang biasa. Karena jika mengaku cinta kepada Indonesia, maka kita juga harus cinta dan bangga kepada bahasa Indonesia. Apalagi bahasa Indonesia yang baik dan benar.
N.B: Tiga pertanyaan di awal tulisan ini tidaklah wajib untuk dijawab. Namun jika Anda bersedia, sila kirimkan jawaban ke surel saya bumiherarihlatu@yahoo.co.id atau mention twitter saya @bumihr. Saya akan sangat senang untuk menerima jawaban tersebut. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H