Mohon tunggu...
Bulus Sianipar
Bulus Sianipar Mohon Tunggu... -

"Aku kan tetap tersenyum menyongsong perubahan "\r\n\r\nAlumni Fisipol UGM

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Aha... Gagal ke Senayan, Mereka Bilang Akibat Dicurangi

30 April 2014   10:15 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:02 1914
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua Panwaslu Kabupaten Tasikmalaya, Bambang Lesmana, menunjukkan bukti uang dan sampel surat suara seorang caleg hasil penggerebekan di sebuah rumah Perum Cintaraja, Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, Selasa (8/4/2014). (KOMPAS.com/IRWAN NUGRAHA)

[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Ketua Panwaslu Kabupaten Tasikmalaya, Bambang Lesmana, menunjukkan bukti uang dan sampel surat suara seorang caleg hasil penggerebekan di sebuah rumah Perum Cintaraja, Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, Selasa (8/4/2014). (KOMPAS.com/IRWAN NUGRAHA)"][/caption]

Usai menyaksikan acara debat ILC di TV One kemarin malam (Selasa, 29 April 2014) yang bertajuk "Yang Tersingkir & Yang Kembali ke DPR, pikiran dan perasaan saya menjadi galau- selain karena insiden si Ruhut Sitompul yang memaki Prof. J.E Sahetapy, saya juga risau dengan pendapat beberapa panelis yang menurutku terlalu emosional sehingga tidak lagi merujuk pada kaidah-kaidah berpikir ilmiah.

Beberapa panelis, para caleg yang gagal ke Senayan (pascarapat pleno rekapitulasi perolehan suara di tingkat Provinsi) berpendapat bahwa mereka gagal karena dicurangi, bahkan Ruhut menambahkan bahwa gagalnya Partai Demokrat meraih suara yang signifikan adalah akibat partainya telah di-bully media. Lebih parah lagi, Prof. Cipta Lesmana, yang mengaku telah mewawancarai beberapa caleg yg "tersingkir", membuat kesimpulan bahwa "Pemilu Legislatif 2014 adalah yang paling buruk, dan para penyelenggaranya telah melakukan kecurangan secara masif, dan oleh karena itu Pemilu 2014 ini sepantasnya dianulir untuk diulang, atau setidaknya perhitungan suara harus diulang kembali".

Sayangnya, Karni Ilyas (TV One) tak mengundang penyelenggara di lapangan (KPPS, PPS atau PPK) dalam diskusi ini, agar kepada mereka semua dijelaskan bahwa kesimpulan mereka itu "bias'. Beruntung, bahwa Prof. J.E. Sahetapy akhirnya meluruskan kekeliruan logika berpikir mereka, yang berpendapat bahwa meskipun diduga ada kecurangan, membatalkan hasil pemilu saat ini tidaklah semudah mengucapkan.

Benarkah Ada Kecurangan yang Masif? Sebagai orang yang pernah jadi KPPS dan saat ini juga bertugas sebagai PPK di kota Pematangsiantar, saya tidak menampik jika ada di antara oknum penyelenggara dari level KPPS, PPS, PPK dan mungkin KPUD, ada telah terkontaminasi virus curang, tapi jumlahnya tidaklah signifikan, apalagi kalau sampai disimpulkan masif.

Sistem pengawasan terhadap hasil perolehan suara sekarang sangatlah ketat, karena rapat pleno di tingkat kelurahan (PPS) mensyaratkan bahwa form model C1 Plano yang mencatat secara tally perolehan suara di TPS wajib dibuka dan diperlihatkan kepada saksi. Dengan cara ini, sangat riskan bagi penyelenggara untuk melakukan kecurangan sebagaimana disinyalir berbagai pihak lewat media massa.

Selain itu, form C1 juga telah dikirimkan melalui PPK kepada KPU Kabupaten/Kota untuk sesegera mungkin dilakukan proses scan dan dikirimkan ke pusat data di KPU Pusat, sehingga bila mana ada tanggapan/sanggahan dari para caleg, data tersebut dapat digunakan sebagai pembanding.

Yang Terjadi Adalah Ketidakoptimalan Kinerja

Banyaknya protes, keluhan caleg di hampir semua daerah terkait perhitungan dan rekapitulasi perolehan suara, sesungguhnya lebih disebabkan kelemahan manajemen data, yaitu dalam hal penyusunan dan perbanyakan Berita Acara (Model C, C1; Model D,D1, dan model DA, DA1). Mengapa? Meski dalam PKPU No 26 Pasal 58 (1) dinyatakan bahwa Salinan Berita Acara di tingkat KPPS bisa berupa foto copy atau tulis tangan, dalam bimbingan teknis ternyata dengan tegas dikatakan bahwa KPPS memperbanyak salinan Berita Acara tersebut hanya dengan tulis tangan. Akibatnya, KPPS yang sudah kelelahan terpaksa harus mengerjakan salinan berita acara sebanyak 17 set untuk masing-masing kategori: DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

Ini sebuah pekerjaan yang tidak manusiawi, melelahkan dan sudah pasti akan mengandung banyak kesalahan. Demikian di tingkat pleno PPS dan PPK, kalau salinan Berita Acaranya ditulis tangan, tingkat kekeliruan pasti tinggi. Itulah yang terjadi, bukan kecurangan, oleh karena itu pada tahapan pleno PPS, PPK, dst.-nya, setiap kesalahan dapat dilakukan koreksi.

Usulan ke Depan: Tambah Tenaga Operator Komputer di TPS

Pemilu Presiden sudah di ambang mata, masihkah KPU akan mempertahankan pola manajemen data perolehan suara yang mengandung kelemahan tersebut? Usulan saya, KPU sebaiknya menambah personil tenaga komputer di tiap TPS, dan hasil perolehan suara langsung bisa di-print out sesuai perolehan suara yang tertera di lembar Plano Besar (Tally) dan setelah diperiksa para saksi, ditandatangani oleh semua pihak. Dengan cara ini, peluang kesalahan diperkecil, demikian juga peluang melakukan kecurangan nyaris tidak ada. Masalahnya, jika usul ini dijalankan, apakah KPU Pusat bersedia kehilangan proyek pengadaan formulir berita acara yang anggarannya sangat besar tersebut?

Indonesia yang Luas, Namun Teknis Pemilu Kok Jakarta Centris?

UU Pemilu ke depan hendaknya mengakomodasi luasnya Indonesia dan adanya disparitas, infrastruktur dan SDM. Bagi daerah-daerah terpencil (Papua, Nias Selatan, dan daerah lain yang tertinggal), model dan teknis pemilu seharusnyalah tidak diseragamkan, jangan memandang Indonesia ini hanya dari kacamata orang Jakarta saja. Mengapa kepada WNI di LN pola pemilu berbeda, sementara untuk warga di dalam negeri yang berbeda kondisinya dengan Jakarta tidak diakomodasi, ini juga salah satu bentuk diskriminasi.

Masih ada beberapa hal yang perlu disempurnakan terkait dengan organisasi dan manajemen pemilu kita, terutama terkait dengan politik anggaran pemilu. Namun, intinya adalah, harus ada komitmen yang kuat untuk mengubahnya, karena itu hanyalah sekedar persolan di hilir.

Politik Kita Sangat Liberal

Persoalan di hulu jauh lebih pelik. Sistem politik sudah terlanjur sangat liberal, sehingga parpol kita kini berubah menjadi "kartel" . Akibatnya persaingan antarparpol dan bahkan di internal parpol pun pada saat ini sangat ketat, hingga menghalalkan segala cara dalam upaya meraih suara terbanyak, termasuk memainkan politik uang.

Maka kepada caleg incumbent yang saat ini tersingkir, janganlah cengeng, legowo waelah, gak usah menyalahkan penyelenggara, karena UU Pemilu dan UU Politik yang ada sekarang adalah buah pemikiran Anda juga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun