Mohon tunggu...
Bulqia Mas'ud
Bulqia Mas'ud Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

"Menulislah pada saat awal dengan hati. Setelah itu, perbaiki tulisan Anda dengan pikiran. Kunci pertama dalam menulis adalah bukan berpikir, melainkan mengungkapkan apa saja yang dirasakan." - William Forrester -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memaknai Kecantikan

9 Februari 2014   21:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:00 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Keeksisan wanita sebagai agents of change perlu dipertanyakan. Benarkah mereka berperan penting atau justru hanya pemanis kalangan laki-laki? Demonstrasi dan tawuran yang begitu lekat di kalangan agents of change tak banyak memberikan tempat khusus bagi wanita. Namun, mempersoalkan sosok wanita selalu diposisikan pada kegiatan-kegiatan yang tak menguras banyak tenaga, tanpa kekerasan, dan anarkisme. Karena wanita punya dunianya sendiri, yaitu bagaimana ia terlihat mempesona di kalangan laki-laki. Inilah gambaran yang tersirat pada wanita sebagai agent of change. Bagaimana ia memoles tubuh untuk selalu terlihat cantik dalam pandangan laki-laki.

Ironis sekali menyinggung para wanita yang bergelut di dunia kampus, tanpa menyadari perannya sebagai social control. Mereka hanya sibuk mengurusi dandanannya, pacar-pacarnya, pakaian-pakaiannya, dan seabreg keduniaan lainnya. Wanitamemang tak sesigap laki-laki dalam menentang ketidakbenaran. Namun, bukan berarti seorang wanita yang dinobatkan sebagai agents of change buta sama sekali akan perannya. Apatis. Bahkan ketika ditanya mengenai isu yang hangat di negara kita, mereka masih sibuk dengan penampilan dan bagaimana ia tampil mempesona. Kasihan sekali jika para tonggak revolusi tak mau melek perubahan. Paling tidak mereka peduli akan nasib bangsanya. Dan juga siap untuk menjawab dan melawan tantangan intelektual.

Sejenak refleksi yang terkuak di tonggak revolusi ini. Fenomena yang tak asing lagi kita temukan. Kampus seakan menjadi ajang mempertontonkan hedonisme dan persaingan kecantikan. Tidak sedikit yang menganut aliran sesat “kecantikan” itu. Mereka menganggap bahwa cantik itu dinilai ketika banyak lelaki yang memuji, merayu, menggoda, bahkanmengungkapkan rasa suka. Cantik itu dinilai dari standar fisik. Berkulit putih-mulus, berambut lurus-hitam, tinggi-ramping dan seabreg paradigma sesat lainnya.

Kosep kecantikan yang pada dasarnya selalu mengutamakan segi lahiriah saja telah lama menodai masyarakat kampus. Sosok perempuan cantik diidentikkan dengan perempuan yang pandai merawat tubuhnya dan penampilannya. Pandai dalam memadupadankan busana dan tentu saja ia harus populer di kalangan laki-laki. Kecerdasan dan perilaku tidaklah menjamin jika wanita itu tidak proporsional secara fisik.

Lalu, siapakah yang menciptakan image cantik ini? pencitraan itu tak lain dan tak bukan ialah media. Media televisi menjadi kontributor utama menciptakan aliran sesat ini. Ketika media menayangkan gaya hidup selebritis, lokal maupun luar seakan menyihir para perempuan negeri ini untuk mengikuti trademark mereka. Agama tidak lagi menjadi pertimbangan.

Tengoklah pula iklan-iklan produk kecantikan yang kebanyakan mempromosikan kosmetik untuk mempercantik tubuh seperti sabun dan krim pemutih, lipstik, bedak. Lagi-lagi cantik memang selalu diteropong lewat tampilan luar. Bukankah itu semua adalah tipuan yang diciptakan oleh jaringan besar industri kecantikan yang disebarkan lewat media. Kecantikan yang telah dianggap sebagai industri oleh kalangan kapitalis untuk menyebarkan aliran sesat kecantikan di kalangan agents of change dan generasi muda kita.

Kehadiran acara semacam Miss Indonesia, Putri Indonesia sampai Miss World dan Miss Universe justru tambah memperparah paradigma tentang kecantikan yang ada di negeri ini. Sosok pemenang dalam kontes tersebut dianggap merupakan panutan yang paling tepat bagi perempuan untuk menggambarkan kecantikan yang sesungguhnya. Pemenang kontes tersebut mewakili bahwa seperti itulah kecantikan wanita Indonesia seharusnya.

Perlu diketahui citra yang ingin diraih oleh seorang wanita sebenarnya memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang wanita tersebut. Bagaimana ia menampilkan dirinya secara fisik itu tergantung dari pemahamannya dan pandangannya tentang kehidupan serta bagaimana ia menjalani hidup ini. Naomi Wolf dalam bukunya “The Beauty Myth” menulis, “Sifat-sifat yang dianggap sebagai ukuran kecantikan pada suatu zaman tertentu sesungguhnya hanya merupakan simbol-simbol perilaku perempuan yang diinginkan pada masa itu. Mitos kecantikan (yang dijadikan patokan oleh masyarakat) sebenarnya menentukan perilaku (yang diinginkan masyarakat dari seorang perempuan), bukan sekedar penampilannya.” Itulah yang melanda kebanyakan generasi muda pada masa sekarang ini dimana tertuju pada satu orientasi hidup yang salah.

Islam dan Konsep Kecantikan

Kehadiran islam selalu menawarkan konsep yang sesuai fitrah manusia, memuaskan akal dan batin manusia. Islam punya konsep kecantikan yang paripurna. Islam tidak memberikan standar kabur terhadap kecantikan. Dan, islam sendiri pun tidak menetukan secara pasti bagaimana kriteria “wanita cantik” itu sendiri. Dan juga tidak menentukan bagaimana seorang perempuan agar nampak kecantikannya. Bukan hawa nafsu dan mata lelaki yang menjadi standarisasi kecantikan itu. Tapi al-Qur’an dan as sunnahlah yang menjadi standar hakiki dalam islam. Bukan hanya dalam sisi kecantikan tapi seluruh aspek kehidupan.

Dalam islam, yang dimaksud dengan kecantikan adalah manakala seorang wanita mengikuti hukum-hukum Allah. Seorang wanita muslimah tidak boleh mengikuti kaidah kecantikan yang dibuat oleh manusia terlebih oleh kaum sekuler. Satu-satunya yang menjadi acuan adalah kecantikan di sisi Allah, yaitu akidah yang mantap, akhlak yang mulia dan ketakwaanlah yang menjadi pakaiannya.

Mekipun islam tidak memiliki konsep yang pasti mengenai kriteria mengenai wajah atau bentuk tubuh yang cantik. Namun bukan berarti seorang muslimah tidak boleh berdandan dan mempercantik diri. Berdandan dan mempercantik diri ditujukan semata-mata untuk suaminya kelak. Bukan memenuhi harapan-harapan masyarakat atau laki-laki non mahram.

Lalu bagaimana seharusnya wanita menilai dirinya? Kaum perempuan tidak semestinya menilai kepribadian mereka atas sesuatu yang sangat jahiliah yaitu kecantikan fisik. Kaum perempuan harusnya menyadari bahwa yang menjadi tolak ukur untuk menilai kepribadian dirinya bukanlah kecantikan, melainkan pemikiran dan perilakunya. Yaitu sejauh mana ketakwaannya dalam melakanakan perintah Sang Khaliq dan menjauhi larangan-Nya. Bagaimana ia memposisikan dirinya sebagai hamba yang taat dan mencari keridhaan-Nya.

Oleh karena itu perjuangan yang seharusnya dilakukan oleh kaum muslimah dalam hidup ini ialah untuk membangun kepribadian dan pemikiran islam seutuhnya, dan menerapkan hukum-hukum Allah dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, hingga negara. Karena Allah hanya menilai kecantikan itu berdasarkan ketakwaan seorang wanita kepada-Nya.

Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita (istri) yang shalihah” (HR Muslim)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun