Mohon tunggu...
Asep Bulkini
Asep Bulkini Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Numpang nulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Maritim, Jati Diri Bangsa Indonesia

16 November 2011   22:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:34 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

nenek moyangku orang pelaut
gemar mengarung luas samudra
menerjang ombak tiada takut
menempuh badai sudah biasa

…………….

Masih ingatkah dengan lirik sederhana itu? Ya, memang lirik yang sederhana. Tetapi tidak sesedehana makna yang terkandung di dalamnya.Bukan tanpa alasan pencipta membuat lagu tersebut yang syarat akan makna.

Baiklah, akan coba saya uraikan dalam pandangan saya sebagai mahasiswa perikanan dan ilmu kelautan.

Jauh sebelum penjajah mampir di nusatara ini lebih dari empat abad yang lalu, ternyata rakyat negeri ini bukanlah rakyat biasa. Negeri yang dua pertiga luasnya adalah lautan menjadikan rakyat nusantara tangguh dalam mengarungi samudera, menaklukan gelombang dan badai di lautan. Lihatlah, sejarah mencatat bahwa nenek moyang kita pernah berlayar sampai ke benua Afrika dan Amerika melewati Samudera Hindia dan Samudera Pasifik (sebelum kedua samudera itu mempunyai nama).

Empat abad yang lalu, tentunya bukan abad dimana teknologi apa pun termasuk teknologi kelautan berkembang pesat seperti saat ini. Maka bukankah hal yang sangat luar biasa jika nenek moyang kita sudah mampu berlayar sejauh itu. Luasnya lautan di negeri ini lah yang membentuk prinsip dalam diri mereka bahwa Maritim adalah Jati Diri Nusantara ini.

Tapi setelah para penjajah tiba di negeri ini, perlahan ketangguhan itu hilang seiring dengan semakin lamanya mereka merampas kekayaan nusantara ini. Terlebih saat penjajah melakukan “tanam paksa” kepada rakyat nusantara dengan tujuan melemahkan kekuatan nenek moyang kita saat itu. Karena dengan budaya maritim rakyat nusantara dapat memiliki pandangan yang luas, terbuka dan banyak berinteraksi dengan dunia luar. Sehingga nelayan pun di paksa untuk bercocok tanam.

Tiga setengah abad bukanlah waktu yang singkat, para penjajah sempurna menghilangkan mindset dari generasi ke generasi bahwa dulu bangsa ini adalah bangsa yang tangguh dengan ketangguhan para pelautnya. Sehingga terlihatlah bagaimana orientasi pembangunan pasca penjajahan, semua berorientasi pada pembangunan berbasis daratan. Padahal kekayaan laut nusantara tak pernah ternilai harganya. Tapi kekayaan itu belum termanfaatkn secara optimal dengan salah satu indikasi masih belum adanya prase semua nelayan menjadi kaya.

Ketahuilah bahwa negara yang maju adalah negara yang mengetahui jati diri bangsanya, dan ketahuilah bahwa selain Agraria, Maritim adalah Jati Diri Bangsa Indonesia. Mari kita lirik kembali potensi yang masih tersimpan bak harta karun dalam lautan nusantara ini. Pemerintah harus sudah mulai meratakan antara pembangunan yang berbasis daratan dengan pembangunan yang berbasis kelautan. Agar tak ada lagi istilah nelayan miskin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun