Bagi beberapa orang termasuk saya, berbicara di depan umum (public speaking) mungkin sesuatu yang sangat dihindari jika benar-benar tidak menjadi suatu keharusan. Bahkan ketika menjadi suatu keharusan pun akan cenderung untuk menghindarinya.
Banyak alasan seseorang enggan untuk berbicara di depan umum dalam hal apapun. Faktor yang paling berpengaruh adalah kepercayaan diri untuk melakukan hal tersebut. Lebih spesifik lagi, Ketidakpercayaan diri untuk berbicara di depan umum biasanya disebabkan oleh faktor pengalaman yang minim dan kurangnya wawasan akan hal yang dibicarakan (penguasaan topik pembicaraan). Dua alasan utama tersebut saling berhubungan dan saling mempengaruhi.
Baiklah akan coba saya uraikan sesuai dengan apa yang saya ketahui dan apa yang pernah saya rasakan. Seseorang tidak percaya diri untuk berbicara di depan umum karena ia merasa tidak memiliki pengetahuan dan wawasan yang cukup terkait masalah yang akan dibicarakan. Kalau pun ternyata ia diberi waktu yang cukup untuk mencari dan memahami topik yang akan disampaikan, ia akan mencarinya. Tetapi hanya akan mencari bahan yang akan disampaikan secukupnya. Karena sebenarnya pada saat itu ia merasa terpaksa untuk berbicara di depan umum, dan proses pencarian bahan topik tersebut hanya sebagai syarat agar ada sesuatu yang bisa disampaikan.
Dan kalau pun ternyata bahan topik yang akan disampaikan terkumpulkan cukup banyak, dalam arti seseorang itu cukup memahami topik yang akan disampaikan. Akan tetapi pengalaman public speaking-nya minim, maka topik yang ia kuasai kadang tidak tersampaikan secara sempurna. Hal ini disebabkan pada saat seseorang memahami topik tersebut dilakukan secara “tergesa-gesa”.
Lain public speaking, lain public writing. Meskipun sama-sama dalam konteks penyampaian pendapat kepada publik, akan tetapi keduanya meimiliki proses yang berbeda. Sifat public speaking yang spontan (hanya disampaikan dan didengar pada waktu tertentu saja) menyebabkan seseorang melakukan persiapan yang spontan juga (ala kadarnya).
Sedangkan public writing bersifat “abadi”, dapat tersampaikan kapan saja, dimana saja, dan kepada siapa saja yang membacanya selama tulisan tersebut masih ada. Sehingga seseorang yang menulis pun perlu menyampaikannya selengkap mungkin untuk kesempurnaan tulisannya, karena memungkinkan siapa saja dapat membacanya tanpa harus bersama dengan penulis dalam waktu dan tempat yang sama seperti public speaking. Sehingga untuk mencapai kesempurnaan tersebut maka seorang penulis akan mencari bahan selengkap mungkin, kemudian membacanya, menuliskannya kembali, membacanya kembali, dan bahkan terjadi secara berulang-ulang dalam proses penulisannya sampai tulisan yang dibuat dirasa pas untuk dipublikasikan.
Hal tersebut ternyata secara tidak sengaja membuat otak lebih lama menyimpannya karena proses pengulangan pembacaan (memahami) topik yang lebih sering pada saat menulis dibandingkan pada saat akan berbicara di depan publik.
Disadari atau tidak, saat kita telah banyak menulis tentang sesuatu, pemahaman dan wawasan kita akan hal-hal tersebut menjadi bertambah. Sehingga, ketika kita ingin berpendapat secara spontan (berbicara) kepada publik, kita akan lebih percaya diri. Karena sebelumnya kita pernah menyampaikannya kepada publik dalam bentuk tulisan. Terlebih ketika tulisan anda mendapat komentar dan saran perbaikan, maka mau tidak mau wawasan anda akan bertambah menjadi lebih baik dari sebelumnya. Dan anda dapat berbicara di depan publik dengan wawasan yang lebih luas dan leih percaya diri.
Tentunya ini hanya uraian singkat dari saya, semoga bermanfaat. Intinya dengan menulis mau tidak mau kita harus mencari bahan-bahan yang akan dijadikan topik, dan itu dapat menambah wawasan kita. Sehingga akan lebih percaya diri saat melakukan public speaking. Mari menulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H