Mohon tunggu...
Sisilia Herjanti
Sisilia Herjanti Mohon Tunggu... pegawai negeri -

asal itu ilmu 'katon' .. semua bisa dipelajari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mas Dik Gik

25 November 2013   21:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:41 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Posisi favorit di angkot. Iya di situ favoritku. Di paling belakang bisa memandang kendaraan yang ada di belakang, yang sedang berusaha menyusul, atau sedang mengantri bila macet. Bila naik angkot, sedapat mungkin aku duduk di situ. Kadang harus berpindah kalau sedang duduk di agak depan dan tidak bisa menggeser karena terhalang penumpang lain.

Di mulai sejak kecil dulu. Jaman belum ada angkot. Istilah angkot sih baru sekarang-sekarang saja disebut. Singkatan dari Angkutan Kota angkutan umum ini mengganti angkutan semacamnya yang disebut HONDA. Atau karena dulu merknya Honda? Atau singkatan juga? Entahlah pokoknya dulu HONDA dan sekarang ANGKOT.

Honda ini sama dengan angkot cuma pintunya jauh di belakang. Posisi duduk di belakang supir adalah posisi paling susah. Baik masuk maupun keluar. Dan aku sangat menghindari duduk di situ. Pengap. Suka mabuk darat juga. Daripada tumpah di dalam mending posisi paling belakang. Paling dekat pintu. Dan biasanya di situ jendelanya gampang dibuka atau ditutup. Gampang dapat ekstra oksigen, selain dari pintu belakang yang ngowos terbuka terus.

Sekarang sudah era Angkot, pintu masuk ditaruh di belakang jok depan. Posisi favorit itu sebetulnya susah masuk keluar juga, tapi kan jendela bisa mudah dibuka-tutup. Dan sekarang sudah besar, sudah tua, tidak mudah untuk mabuk darat. Entah kalau laut atau udara, semua belum pernah.

Sore itu, sudah masuk magrib. Sudah matang malah, sebentar lagi isya. Duduklah aku di posisi favorit itu. Aku naik sejak dekar dari terminal awal, sementara tujuanku dekat dengan terminal tujuan. Satu persatu penumpang naik lalu turun. Naik lagi penumpang lain, lalu turun. Begitu bergantian. Angkot kosong jadi penuh lalu kosong lagi kemudian agak penuh. Aku tetap tidak bergeser. Sudah enak.

Naiklah seorang pria. Duduk di posisi memimpin rapat. Itu kursi tambahan yang dia musti duduk memandang semua menumpang yang memandangnya he he.. Semua penumpang melihat ke depan, dan dia memandang seluruh isi angkot. Mirip di sebuah rapat bukan?

Pria itu mirip sekali dengan suami dari misannya suamiku. Sambil memperhatikan orang itu aku menghayal. Kulitnya putih mirip. Rambutnya agak merah mirip.  Misan suamiku itu namanya Sugiarto. Panggilannya Gik. Dia menikah dengan saudara sepupu dari suamiku. Karena adik sepupu dipanggil Dik Tuti, maka suaminya disebut Dik Gik. Dan aku, karena dia umurnya lebih tua dariku aku harus menyebutnya Mas. Ya Mas Dik Gik.

Mas Dik Gik jadi guru di SMA di kampung halaman kami. Lalu jadi kepala sekolah. Jadi tidak mungkin dia ada di sini. Naik angkot di komplek perumahan lagi. Untuk keperluan apa? Tidak ada judul atau tema. Tapi orang ini begitu mirip mas Dik Gik, perawakannya sampai tahi lalat di pelipisnya.

Orang itu menoleh ke sana ke sini lalu keluar. Merasa diperhatikan mungkin, dia meneliti penumpang satu persatu. Sampai mata kami bertemu.... dan... "Mbak Sisil!!!" Ha? Lalu aku juga berseru.. "Mas Dik Gik?!?!?!"

Ternyata dia memang Mas Dik Gik yang itu. Sedang pelatihan singkat di kotaku sekarang ini. Dia sedang terburu-buru mengejar  KA yang akan berangkat sebentar lagi.

Kaget belum habis, Mas Dik Gik sudah pergi lagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun