Mohon tunggu...
Bunda Lestari
Bunda Lestari Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Aku penguasa kehidupanku sendiri dan aku harus memegang kendali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Haruskah Aku Berbagi?

27 Desember 2013   16:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:26 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seperti biasanya, pagi-pagi setelah sholat subuh aku akan dengan riang gembira menuju dapur kesayanganku untuk membereskan apa yang menurutku belum beres dan sambil bersenandung lirih menyiapkan sarapan kegemaran Mas Ardi suamiku tercinta yang setelah segar dan wangi biasanya akan langsung menuju meja makan untuk sarapan bersama sambil berbincang ringan. Sekali-kali Mas Ardi akan menjentikkan tangannya ke hidungku sambil tertawa menggodaku. Rutinitas pagi hari itu biasanya ditutup dengan kecupan hangat suamiku dan setelah itu aku akan mengantarnya hingga ia masuk mobilnya yang akan mengantarkannya menuju tempatnya bekerja. Setelahnya aku menyibukkan diri merencanakan apa menu hari ini dan apa cemilan teman minum kopi sore ini, rutinitas harian yang membahagiakan.

Keadaan pagi ini sangat berlainan dengan kemarin-kemarin. Aku terbangun dengan kedua mata yang sembab karena hampir semalaman aku tak kuasa menghentikan air mata yang tumpah dan membasahi bantal putihku, mukaku pucat, pening karena kurang tidur. Suasana pagi terasa begitu dingin dan kaku. Aku tak kuasa memperdengarkan senandung pagi yang kerap menjadi bahan godaan suamiku... Seperti robot kujalankan semua rutinitas itu, tanpa perasaan. Bahkan sarapan kamipun berlalu dalam kebisuan tanpa ekspresi. Kutahan airmata sebisaku saat Mas Ardi mengecup keningku sebelum pergi dan segera melarikan diriku ke kamar tidur untuk menumpahkan sesak di dadaku dalam limpahan air mata.

Ya semalam Mas Ardi menyatakan keinginannya untuk menikah lagi....sepertinya suamiku telah lama menyimpan keinginannya dan entah apa yang mendorong keberaniannya untuk mengatakan hal yang sekalipun dikatakan dengan pelan dan hati-hati tetapi bagai halilintar bagi pendengaranku. Oh Gusti ....betapa menyakitkannya kejujuran itu...luluh lantak hatiku, lemah lunglai laksana tak ada lagi tulang yang menopang tubuhku. Kuambil wudhu dan kugelar sajadah, aku ingin mengadu pada Rabb ku....aku ingin menumpah segala keluh kesahku hanya padaNya. Aku tenggelam dalam dalam do'a dan Zikir panjang di Dhuhaku.

Telah lebih 9 tahun bahtera rumah tangga ini berjalan tetapi tak kunjung ada tangisan dan rengekan anak kecil di rumah mungil kami. Padahal ikhtiar telah kami jalankan, beberapa ginekolog terkemuka telah kami datangi bahkan dengan restu Mas Ardi aku rela melepaskan karir cemerlangku di sebuah Bank pemerintah demi mempercepat kehamilanku tetapi Allah belum berkehendak menitipkan amanahNya dirahimku.

"Sabar ya dik" entah untuk yang keberapa kalinya kalimat itu keluar dari mulut suamiku setiap tamu bulananku datang berkunjung dan setiap itu pula aku tenggelam dalam kecewaku. Begitu besarnya keinginan kami akan kehadiran buah cinta kami sementara banyak bayi-bayi lahir tanpa dikehendaki oleh orang tuanya...bayi-bayi malang tanpa dosa yang harus menderita dan meninggal dengan tragis karena dicampakkan orang tuanya di tong sampah atau di selokan atau kalau mereka agak punya hati akan ditinggalkan di teras rumah orang.

Aku masih belum mau untuk adopsi karena aku masih memiliki keyakinan kalau Alloh SWT akan memberikan aku anak kandung meskipun hanya seorang saja selain aku tidak siap untuk memelihara anak orang lain yang tidak aku ketahui asal usulnya.

Terngiang kembali ucapan suamiku "Dia seorang perempuan desa sederhana yang tidak akan menuntut macam-macam. Namanya panggilannya Sashi....Dia sudah tahu statusku yang suami orang bahkan dia rela untuk menikah siri jika dirimu menginginkan dik, dia akan menerimanya dengan ikhlas dan akan menghormatimu sebagai istri pertama"

Suamiku bertemu dengan Sashi dalam perjalanan dinasnya di suatu kabupaten di Jawa Tengah. Sashi adalah karyawati di kantor cabang instansi suamiku yang beberapa kali mendampingi suamiku selama berdinas di sana. Mas Ardi tidak hanya berdua Sashi tetapi bersama-sama dengan tim nya sekitar 4 orang... Sashi jatuh cinta pada suamiku atau tepatnya mereka saling jatuh cinta. Hatiku kembali berdarah....bagaimanapun baiknya Sashi seperti gambaran suamiku, hati ini sangat tidak rela untuk berbagi cinta dengannya. Hanya ada satu cinta Mas Ardi yaitu aku...

Untuk kesekian kalinya sajadahku basah oleh air mata di sepertiga malamku....entah sampai kapan do'a-do'aku mewujud menjadi kepasrahan, pasrah untuk menerima wanita lain memasuki kehidupan keluargaku, pasrah untuk mendengar kabar kehamilan Sashi kelak, pasrah dan rela bila suamiku sedang membagi waktu berkunjungnya dan pasrah menunggu amanahNya sampai kepadaku...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun