Beruntung, saya sempat merasakan hidup di jaman analog, peralihan, digital, hingga mobile photography. Saya bisa membandingkan kekurangan dan kelebihan masing-masing teknologi plus merasakan bagaimana sensasi penggunaan film saat memotret.Â
Tumbuh dan besar di era 80-90an, memilih film berdasarkan merk, ASA (sekarang ISO), dan jumlah frame 24 atau 36 adalah hal yang biasa. Andai "gagal" dalam memotret, tidak ada fasilitas delete seperti sekarang. Saat itu kita terbiasa menerima hasil baik atau buruk, oleh karena itu proses sebelum memotret lah yang harus maksimal.
Selain "ribetnya" proses pra-foto, kita pun harus siap dengan keribetan lanjutan pasca-foto. Proses cuci cetak awalnya harus menunggu beberapa hari, hingga kemudian teknologinya berkembang jadi beberapa menit saja, cuci cetak bisa ditunggu.
Di akhir tahun 90an, kemudian muncullah teknologi digital dalam fotografi, tetapi jangan bayangkan kondisinya seperti sekarang. Perangkat berteknologi digital di masa itu masih sangat mahal dan tidak terjangkau masyarakat umum. Saya sendiri hanya bisa menikmati berita dan update seputar fotografi digital yang begitu wah dan menjanjikan. Benak dipenuhi harapan dan keinginan untuk memiliki kamera digital, tapi entah kapan bisa terwujud.
Era peralihan ini turut disemarakkan pula oleh kehadiran telepon selular berkamera. Tentu saja hal ini jadi pusat perhatian dan daya tarik baru dimana ponsel tidak lagi berfungsi sebagai alat komunikasi dasar berbasis voice and text.Â
Kamera digital dan ponsel saat itu beresolusi rendah. Pembenaman kamera 2 megapiksel saja sudah sangat wah. Mulailah masyarakat menggandrungi kegiatan selfie atau swafoto.
Setiap dekade selalu membawa perubahan besar, begitupun di akhir tahun 2000an, teknologi terus berkembang dengan pesatnya, kualitas kamera semakin meningkat, harga gawai semakin terjangkau, pilihan merk semakin beragam, ditambah media sosial berbasis foto terus bermunculan. Salah satu yang bertahan hingga sekarang, sebut saja Instagram.
Di Instagram, semua bebas berkarya, semua bisa jadi fotografer. Tidak ada juri, tidak ada admin. Seleksi alamlah (baca: follower dan viewer) yang akan "menilai". Karya yang unik akan mencuat ke permukaan, tapi sebaliknya, foto yang biasa saja bakal tenggelam dengan sendirinya tanpa respon dari massa.
Sekarang, semua berhak mengklaim diri menjadi fotografer. Tak ada lagi batasan foto bagus itu harus begini lah, harus begitu lah. Teori dasar fotografi pun seolah menjadi usang di dunia digital. Kreatif adalah kunci dan "menjadi beda" merupakan nilai tambah untuk bisa mencuri perhatian netizen di jaman milenial seperti hari ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H