Kurang lebih setahun sudah gonjang-ganjing demo tanggal cantik berlangsung, dengan puncaknya di tanggal 2 Desember, 2 12, kemudian "disepakati" menjadi angka milik Wiro Sableng, 212.
Apa sebetulnya latar belakang "gerakan" ini, tidak ada yang persis tahu kecuali penggagasnya sendiri, yang jelas banyak persepsi berkembang di masyarakat, atau ekstrimnya kita sebut banyak yang sok tahu kalau 212 ini bermuatan politis karena momennya bertepatan dengan kasus Ahok. Jawabannya bisa iya bisa tidak. Saya sendiri tidak peduli, saya tidak mau terjerumus dalam pusaran kepentingan kelompok tertentu. Saya berhak menentukan titik dimana saya berdiri, seperti juga saya menghargai pilihan masing-masing orang sesuai keyakinan dan sudut pandang pribadinya.
Hanya saja, sebagai manusia berakal dan berpikir, tentu ada asumsi serta kesimpulan-kesimpulan yang dibuat dalam benak, sengaja atau tidak. Ada benang merah yang jelas terlihat diantara kusutnya benang lain. Ada pula kejadian yang akhirnya terkait satu sama lain sesuai apa yang terprediksikan sebelumnya.
Fenomena ini pun semakin membuka mata saya (yang tidak peduli ini), bahwa ternyata tokoh-tokoh yang awalnya saya respeki rupanya ada keterkaitan juga, punya misi juga, punya kepentingan juga. Ok, akhirnya saya stop untuk "percaya" 100% termasuk pada statement-statement religiusnya. Tidak ada yang salah, tetapi menurut sudut pandang saya, ketika kesucian ajaran Tuhan dicampuradukkan dengan tujuan tertentu, jiwa ini berontak tidak terima. Tak rela kalau sebuah kesucian digunakan untuk kepentingan pencapaian tujuan tertentu.
Apakah terjadi penurunan keimanan pada diri saya akibat peristiwa (politik?) ini? Biar hanya Tuhan yang menilai, yang jelas hubungan saya dengan Tuhan tidak pernah  berubah dan unsur-unsur kemanusiaan saya tidak pernah terdegradasi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H